Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Shaleh (7): Tangisan Anak Unta

in Studi Islam

Last updated on September 21st, 2019 01:28 pm

Melihat ibunya roboh, ia menangis sampai air matanya mengalir. Lalu ia mendekati Shaleh dan mendengkur satu kali, sekali lagi, lalu lagi. Shaleh berkata, “Setiap dengkuran menandakan satu hari. Nikmatilah dirimu di rumahmu selama tiga hari ini. Ini bukanlah janji palsu.”

Foto Ilustrasi: ahmad alomani/Flickr

Mari kita lanjutkan sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Jafar tentang Kaum Tsamud yang bagian awalnya telah dicantumkan pada seri artikel sebelum ini:  

Mendengar ini (untanya dilukai), dia (Shaleh) pergi kepada mereka (Kaum Tsamud), dan mereka keluar untuk menemuinya dan meminta pengampunan, dengan mengatakan, “Wahai Nabi Allah, hanya si fulan yang melukainya, jadi itu bukan dosa kami.”

Dia berkata, “Lihatlah, apakah kalian dapat menyelamatkan yang mudanya (anak unta jantan si unta betina yang dilukai)? Jika kalian menyelamatkannya, mungkin Allah akan membatalkan hukuman bagi kalian.”

Lalu mereka pergi mencarinya. Tetapi ketika unta muda itu melihat ibunya roboh, dia lari ke kaki gunung bernama al-Qarah dan mendakinya. Mereka pergi untuk menangkapnya, tetapi Allah memberi perintah kepada gunung itu, dan ia tumbuh sangat tinggi di langit, sehingga bahkan burung-burung pun tidak dapat mencapainya.

Shaleh memasuki kota, dan ketika unta muda itu melihatnya, ia menangis sampai air matanya mengalir. Lalu ia mendekati Shaleh dan mendengkur satu kali, sekali lagi, lalu lagi. Shaleh berkata, “Setiap dengkuran menandakan satu hari. Nikmatilah dirimu di rumahmu selama tiga hari ini. Ini bukanlah janji palsu. Tanda-tanda (datangnya) azab adalah bahwa pada hari pertama wajah kalian akan menjadi kuning di pagi hari, pada hari kedua itu akan menjadi merah, dan pada hari ketiga hitam.”

Ketika mereka bangun di pagi hari, wajah mereka berwarna kuning seolah dipulas dengan kunyit, (baik) tua maupun muda, (baik) pria maupun wanita. Ketika malam tiba, mereka semua berteriak, “Celakalah! Satu hari ketentuan telah berlalu dan hukuman telah datang menimpa kita.”

Ketika hari kedua tiba, wajah mereka memerah seolah telah dipulas dengan darah. Mereka berteriak dan histeris dan menangis, dan tahu bahwa ini adalah hukuman bagi mereka. Ketika senja datang, mereka semua berteriak bersama, “Dua hari ketentuan telah berlalu dan hukuman telah menimpa kita.”

Ketika mereka bangkit pada pagi hari ketiga, wajah mereka hitam seolah-olah telah dilukis dengan ter. Mereka semua berteriak, “Celakalah! Hukuman telah menimpa kita!” Mereka membungkus diri mereka dengan kain kafan dan membalsem diri mereka sendiri untuk kuburan. Balsem yang mereka gunakan terdiri dari gaharu dan asam, sementara kain kafan mereka adalah tikar kulit.

Kemudian mereka memasukkan diri mereka sendiri ke dalam tanah dan mulai melihat ke sana ke mari antara langit dan bumi, tanpa mengetahui dari mana azab akan datang kepada mereka – apakah dari atas mereka, dari langit, atau dari bawah kaki mereka, dari tanah, dihinakan dan diasingkan.

Ketika mereka bangun pada hari keempat, mereka mendengar suara gemuruh dari langit yang sekeras petir dan suara dari segala sesuatu di bumi yang menimbulkan suara beriringan. Jantung mereka berhenti berdetak di dada mereka dan mereka jatuh bersujud di tempat tinggal mereka.[1]

Terkait peristiwa di atas, Alquran berkata, “Lalu mereka memotong unta betina itu dan mereka melampaui batas terhadap perintah Tuhan mereka dan berkata: ‘Hai Shaleh, datangkanlah kepada kami apa yang engkau janjikan kepada kami kalau engkau termasuk kelompok yang diutus (Allah).’ Maka mereka ditimpa goncangan maka jadilah mereka bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (Q.S 7: 77-78)

Berikut ini adalah beberapa penjelasan tentang ayat di atas oleh Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Mishbah:

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa, mereka memotong unta itu; sedangkan di dalam QS. al-Qamar [54]: 29, dinyatakan bahwa, mereka memanggil kawannya yakni seorang terkemuka, yang perkasa di antara mereka lalu ia menangkap unta itu dan memotongnya.

Kedua ayat ini tidak bertentangan walaupun yang pertama menginformasikan bahwa yang menyembelihnya banyak (mereka memotongnya) dan yang kedua menyatakan hanya seorang saja. Ini karena orang banyak itu merestui perbuatan si penyembelih. Merekalah yang memanggil dan mendorong si penyembelih, bahkan boleh jadi ikut membantu menangkap unta itu sebelum disembelih.

Sejarawan Ibnu Ishaq mengemukakan bahwa ada yang melemparnya dengan anak panah, ada yang memotong kakinya dan ada juga yang menyembelih lehernya, dan ini agaknya menurut al-Biqa‘i sehingga ayat ini tidak menyatakan fanaharuha (menyembelihnya) tetapi faaqaruha yang dari segi bahasa digunakan dalam arti memotong dan yang biasanya bila dipahami dalam arti menyembelih, maka penyembelihan dimaksud bukan bertujuan sesuatu yang bermanfaat, tetapi untuk pengrusakan….

Kata ar-rajfah dari segi bahasa berarti goncangan yang sangat besar. Dalam QS. Hud [11]: 67, siksa yang menimpa mereka dilukiskan dengan ash-shaihat, yaitu suara teriakan yang sangat keras. Sedang dalam QS. Fushshilat [41]: 17 siksa tersebut dilukiskan dengan shaiqah/petiryang datangnya dari langit.

Sebenarnya ketiga hal itu kait berkait, petir dapat menimbulkan suara keras dan menggoncangkan bukan hanya hati yang mendengarnya tetapi juga bangunan bahkan bumi yang mengakibatkan terjadinya gempa.

Kata jatsimin adalah bentuk jamak dari kata jatsim yang bermakna tertelungkup dengan dadanya sambil melengkungkan betis sebagaimana halnya kelinci. Ini adalah gambaran dari ketiadaan gerak anggota tubuh, atau dengan kata lain ia menggambarkan kematian.

Demikian Ibnu Asyur. Asy-Syarawi memahami kata tersebut dalam arti keberadaan tanpa gerak sesuai keadaan masing-masing ketika datangnya siksa itu. Sehingga jika saat kedatangan siksa itu yang bersangkutan sedang berdiri, maka ia terus menerus (mati) berdiri, jika duduk ia terus menerus duduk, kalau tidur/berbaring ia berlanjut dalam tidurnya.

Siksaan yang mereka alami itu sejalan dengan kedurhakaan mereka. Goncangan disertai dengan rasa takut, sesuai dengan sikap mereka yang angkuh dan menampakkan keberanian demikian juga ketidakmampuan bergerak adalah siksaan yang sesuai dengan yang angkuh sambil melakukakan gerak gerik yang menggambarkan pelecehan terhadap ayat-ayat Allah.[2] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 44-45.

[2] Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 77-78 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 156-157.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*