Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Shaleh (9): Larangan Memasuki Rumah Kaum Tsamud

in Studi Islam

Kita mengetahui bahwa bangunan peninggalan kaum Tsamud masih ada sampai sekarang. Dalam suatu riwayat, ketika melewati kota Tsamud, Nabi Muhammad SAW berkata kepada para sahabatnya, “Janganlah ada di antara kalian yang memasuki kota atau minum dari air mereka.”

Demikianlah, akhirnya Kaum Tsamud dihancurkan karena kesombongan dan perilaku mereka yang melampaui batas. Setelah azab dijatuhkan, Nabi Shaleh berkata kepada kaum Tsamud, sebagaimana tercatat di dalam Alquran, “Maka dia meninggalkan mereka seraya berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepada kamu risalah Tuhanku dan aku telah menasihati kamu, tetapi kamu tidak menyukai para pemberi nasihat.’.” (Q.S 7: 79)

Terkait ayat di atas, Quraish Shihab menjelaskan, bahwa dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Shaleh meninggalkan negerinya sambil menangis bersama seratus sepuluh orang pengikutnya, padahal sebelum terjadinya gempa, terdapat 1500 rumah di desa itu.

Ucapannya itu walau beliau ucapkan di hadapan kaumnya yang selamat tetapi ditujukan dengan penuh penyesalan kepada mereka yang tersiksa. Memang tidak ada halangan bagi seseorang apalagi seorang nabi untuk menyampaikan sesuatu kepada yang telah meninggal dunia. Ini serupa dengan ucapan Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang kafir yang tewas dalam perang Badar.

Ketika itu Nabi SAW sambil memanggil nama mereka yang tewas — Wahai si Fulan, wahai si Anu “Apakah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan Allah kepada kalian, karena aku telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan dengan benar?”

Sahabat-sahabat Nabi SAW yang mendengar pertanyaan ini heran dan bertanya, “Apakah engkau wahai Rasul berbicara kepada mereka yang telah mati?”

Beliau menjawab, “Demi Allah, kamu tidak lebih mendengar apa yang aku ucapkan daripada mereka, hanya saja mereka tidak dapat menjawab.”[1]

Dalam riwayat lain, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Umar, bahwa ketika Nabi Muhammad SAW melewati rumah-rumah kaum Tsamud dalam perjalanannya ke pertempuran Tabuk, dia berhenti bersama dengan orang-orang di sana.

Orang-orang mengambil air dari sumur-sumur tempat orang-orang Tsamud biasa minum. Mereka menyiapkan adonan mereka (untuk dipanggang) dan mengisi kantung kulit air mereka dari itu (air dari sumur).

Rasulullah memerintahkan mereka untuk mengosongkan kantung kulit air dan memberikan adonan yang telah disiapkan untuk unta-unta. Kemudian dia pergi bersama mereka sampai mereka berhenti di sumur tempat unta (milik Shaleh) minum.

Dia memperingatkan mereka agar tidak memasuki (tempat) di mana kaum itu telah diazab, dengan mengatakan, “Aku khawatir kalian akan terkena dampak oleh apa yang menimpa mereka, jadi jangan memasuki (tempat) di mana mereka (terkena azab).”[2]

Bangunan-bangunan peninggalan Kaum Tsamud di al-Hijr (Madain Saleh) pada masa kini. Foto: Ko Hon Chiu Vincent/UNESCO
Foto: Jean-Jacques Gelbart/UNESCO
Foto: Ko Hon Chiu Vincent/UNESCO
Foto: Ko Hon Chiu Vincent/UNESCO

Sementara itu, Ibnu Juraij meriwayatkan:

Aku telah diberitahu bahwa ketika suara yang sangat keras menimpa mereka, Allah menghancurkan mereka semua di antara matahari terbit dan terbenam. Dia hanya menyisakan satu orang yang berada di tempat suci Allah, yang mana tempat suci tersebut dilindungi dari hukuman Allah.

Seseorang bertanya, “Siapakah dia, wahai Rasulullah?”

Dia (Nabi Muhammad) menjawab, “Abu Righal.”

Ketika dia datang ke kota Tsamud, Rasulullah berkata kepada para sahabatnya, “Janganlah ada di antara kalian yang memasuki kota atau minum dari air mereka.” Dan dia menunjukkan kepada mereka tempat di mana unta muda itu lari ke (gunung) al-Qarah (ketika ibunya dibunuh).[3]

Riwayat serupa lainnya disampaikan oleh Ibnu Imran:

Ketika Nabi datang ke kota Tsamud, dia berkata, “Sesungguhnya, janganlah mengunjungi orang-orang yang dihukum ini kecuali (jika) kalian (ingin) menangis. Jika kalian tidak (ingin) menangis maka janganlah pergi ke mereka, jangan sampai apa yang terjadi kepada mereka terjadi kepada kalian.”[4]

Al-Tabari mengatakan, menurut para Ahli Kitab Taurat, kisah Kaum Ad dan Kaum Tsamud, maupun Nabi Hud dan Nabi Shaleh tidak ada di dalam Kitab Taurat. Namun bagi orang-orang Arab, baik di masa Jahiliyah maupun di masa Islam, kisah tentang mereka dikenal luas, sebagaimana kisah tentang Nabi Ibrahim dan umatnya.

Beberapa orang bijak (al-Tabari tidak menyebutkan siapa nama orang-orang bijak yang dimaksud) mengatakan bahwa Nabi Shaleh kemudian wafat di Makkah ketika dia berusia lima puluh delapan tahun, dan bahwa dia (setelah peristiwa penghancuran Kaum Tsamud) tetap bersama pengikutnya yang beriman selama dua puluh tahun.[5] (PH)

Seri Kisah Nabi Shaleh selesai.

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Tafsir Surat Surat Al-A’raf Ayat 79 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 157-158.

[2] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Salih.

[3] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 45.

[4] Ibid., hlm 45-46.

[5] Ibid., hlm 46-47.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*