“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan yang di atasnya ke bawahnya dan Kami hujani mereka dengan (batu) sijjil” (Q.S al-Hijr [15]: 73-74)
Peristiwa diazabnya umat Nabi Luth di kota Sodom diabadikan di dalam ayat Alquran yang berbunyi:
“Dan Kami hujani atas mereka hujan (batu), maka lihatlah bagaimana kesudahan para pendurhaka.’’ (Q.S al-Araf [7]: 84)
Adapun Quraish Shihab menjelaskan, bahwa sementara ulama memahami dari penggunaan bentuk nakirah/indefinite terhadap kata matharan (hujan) di dalam ayat di atas adalah sebagai isyarat bahwa hujan yang dimaksud adalah sesuatu yang luar biasa dan ajaib.
Hujan tersebut juga dijelaskan dalam Q.S Hud [11]: 82-83 yang berbunyi:
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan (negeri kaum Luth itu) yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (Q.S Hud [11]: 82-83)[1]
Di dalam ayat lainnya, juga dijelaskan:
“Demi umurmu! Sesungguhnya mereka di dalam kemabukan mereka terombang-ambing.” Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan yang di atasnya ke bawahnya dan Kami hujani mereka dengan (batu) sijjil. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. Dan sesungguhnya ia benar-benar terletak di jalan yang masih tetap. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang mukmin.” (Q.S al-Hijr [15]: 72-77)
Kata “Demi umurmu!” dalam ayat di atas ditujukan untuk Nabi Muhammad SAW. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata tersebut mengandung makna memakmurkan, yang merupakan lawan dari membinasakan. Sementara ulama memahami kata tersebut sebagai sumpah menyangkut kehadiran Nabi Muhammad di pentas bumi ini.
Umur adalah masa yang dilalui jasmani dalam rangka memakmurkan hidup. Karena itu, ia berbeda dengan keberadaan pada masa tertentu, sebab tidak selalu keberadaan sesuatu menghasilkan kemakmuran hidup.
Kata yang digunakan ayat ini mengandung makna sumpah, dan karena sumpah biasanya menggunakan kata yang menunjukkan keagungan, maka kata tersebut bagaikan menyatakan demi keagungan yang dianugerahkan Allah kepadamu, wahai Nabi Muhammad. Begitulah menurut pendapat Ibnu Asyur.
Tidak seorang pun yang disebut umurnya sebagai sumpah oleh Allah kecuali Nabi Muhammad. Ini mengisyaratkan betapa tinggi kedudukan beliau di sisi Allah, sekaligus menunjukkan bahwa masa yang dilalui beliau benar-benar beliau isi dengan aktivitas yang memakmurkan jiwa, baik jiwa beliau sendiri maupun jiwa umat manusia.
Terkait penggambaran azab dalam ayat di atas, Quraish Shihab mengatakan, jangan duga apa yang diuraikan ini tanpa dasar atau kisah khayal. Peristiwanya benar-benar terjadi dan masih segar dalam ingatan masyarakat dan sesungguhnya ia, yakni pemukiman kaum Luth itu, benar-benar terletak di jalan umum yang masih tetap sehingga dapat dilalui dan dilihat bekas-bekas kehancurannya oleh para pejalan.
Firman-Nya faja alna alaiha safilaha (Kami jadikan yang di atasnya ke bawahnya), di samping memberi gambaran tentang kehancuran total, juga mengesankan persamaan sanksi itu dengan kedurhakaan mereka. Bukankah mereka juga memutarbalikkan fitrah?
Seharusnya pelampiasan syahwat dilakukan dengan lawan seks, tetapi mereka membaliknya menjadi homoseks. Seharusnya ia dilakukan dengan penuh kesucian, tetapi mereka menjungkirbalikkan dengan melakukannya penuh kekotoran dan kekejian.
Seharusnya ia tidak dibicarakan secara terbuka, tidak dilakukan di tempat umum, tetapi mereka menjungkirbalikkannya dengan membicarakan di tempat-tempat terbuka dan melakukannya di tempat umum. Demikian sanksi yang diberikan sesuai dengan kesalahan yang mereka buat.
Sedangkan kata sijjil dalam ayat di atas,menurut al-Biqai mengandung makna ketinggian. Atas dasar itu, ulama ini memahami batu-batu tersebut dilemparkan dari tempat yang tinggi. Sementara itu Thabathabai, ulama yang berasal dari Persia, Iran, mendukung pendapat yang menyatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Persia yang mengandung makna batu dan tanah yang basah.
Boleh jadi apa yang menimpa kaum Luth itu – demikian juga peristiwa-peristiwa lainnya di dalam Alquran — merupakan gempa bumi atau letusan gunung merapi yang ditetapkan Allah bertepatan dengan kedurhakaan para pembangkang.
Persesuaian waktu itu adalah untuk menyelaraskan antara ilmu-Nya yang Qadim dengan setiap kasus seperti kasus Nabi Luth ini. Boleh jadi juga ia adalah pengaturan khusus dari Allah dalam rangka untuk membinasakan kaum Luth. Demikianlah lebih kurang komentar dari Sayyid Quthub.[2]
Mengenai bekas-bekas kehancuran setelah turunnya azab, ayat lain berkata:
“Dan sesungguhnya Kami tinggalkan darinya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S al-Ankabut [29]: 35)
Kata min pada firman-Nya: tarakna minha (Kami tinggalkan darinya) di dalam ayat di atas, dapat juga berarti sebagian, sehingga penggalan ayat itu bermakna: “Kami tinggalkan pada sebagian negeri itu bukti yang jelas yang menunjukkan Kuasa Kami.”
Apapun maknanya, yang jelas di Sodom yang terletak di sebelah selatan Laut Mati Yordania, terdapat bukti tentang kebinasaan kaum Luth itu. Bukti dimaksud menurut Ibnu Asyur adalah apa yang di temukan di “Danau Luth” berupa bekas-bekas negeri itu serta sisa belerang dan benda-benda yang digunakan menghujani mereka dengan siksa dari langit itu.
Menurut al-Biqai, warna air di sana sangat hitam, berbeda dengan warna di tempat lain. Thabathabai yang hidup di masa kontemporer ini berpendapat bahwa kini kita tidak lagi mengetahui tempatnya tidak juga bekas-bekasnya, tetapi ayat ini menyatakan bahwa tanda itu jelas dikenal paling tidak pada masa turunnya Alquran.[3] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Alquran Surat al-Araf Ayat 84 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 5 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 165-166.
[2] Tafsir Alquran Surat al-Hijr Ayat 72-77 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 7 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 151-155.
[3] Tafsir Alquran Surat al-Ankabut Ayat 33-35 dalam Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 10 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 487-490.
sudah 4 hari menunggu kelanjutan kisah ini…..kapan yaaa di lanjut…:)
Sudah ada kelanjutannya, silakan tinggal diklik link kelanjutannya 🙂