Banyak ilmuwan Islam yang menjustifikasi sikap mereka dengan mengatakan bahwa sains modern adalah semata-mata perkembangan lebih lanjut dari apa yang berkembang dalam peradaban Islam.
Oleh Zainal Abidin Bagir[1]
Ada beberapa tipologi yang menggambarkan ragam tanggapan Muslim terhadap sains modern.[2] Di sini saya tak ingin membahasnya secara spesifik, namun sekadar secara sederhana mencoba memetakan empat kecenderungan utama dalam wacana Islam dan sains yang mudah kita kenali, untuk kemudian mencari posisi Muthahhari. Keempat kecenderungan utama itu sebagai berikut:
(1) Ada sekelompok pemikir dan ilmuwan Muslim yang menganggap sains sebagai aktifitas yang sepenuhnya bebas nilai. Fokus mereka adalah keharusan Muslim untuk mengejar keterbelakangan dalam bidang sains dan teknologi. Kalau ada kritik mereka terhadap sains, biasanya itu terutama menyangkut penerapannya, yang harus disesuaikan dengan nilai-nilai etika Islam.
Banyak di antara yang menganut pandangan ini menjustifikasi sikap mereka dengan mengatakan bahwa sains modern adalah semata-mata perkembangan lebih lanjut dari apa yang berkembang dalam peradaban Islam. Ayat-ayat Alquran yang menyarankan pengamatan fenomena alam segera digunakan sebagai alasan untuk mengejar perkembangan sains modern.
(2) Kelompok lainnya ingin menegaskan keunggulan Islam—dibanding dengan agama lain—dengan memberikan tafsiran ayat-ayat tertentu dalam Alquran sedemikian sehingga tampak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir sains. Ini kemudian disebut sebagai “mukjizat ilmiah” yang dianggap membuktikan kebenaran Alquran.
(3) Kelompok ketiga mengkritik keras dua kelompok lainnya, karena secara langsung atau tak langsung menerima sains modern. Bagi kelompok ini sains tak bebas nilai; nilai-nilai yang dikandungnya secara umum adalah nilai-nilai sekular Barat, karena itu Muslim tak dapat serta merta menerimanya.
Dengan satu atau lain cara, nilai-nilai Islami harus berperan dalam sains. Hasil gagasan ini dapat disebut “sains Islam” atau “islamisasi sains”. Penting dicatat di sini bahwa meskipun ada cukup banyak pemikir Muslim yang membela gagasan ini, tak ada kesepakatan tentang apa yang disebut “islamisasi” atau “sains Islam”.
Karenanya tak mengherankan jika para pendukung gagasan ini saling mengkritik dengan keras satu dengan lainnya. Misalnya, dua perangkat nilai yang bisa diidentifikasi dalam sains terkait dengan epistemologi dan ontologi sains; para penganjur gagasan itu pun ada yang lebih menekankan kritik epistemologis, ada yang menekankan aspek ontologisnya.[3]
(4) Belum lama ini, muncul kelompok lain yang berkembang amat pesat, dipimpin oleh Harun Yahya. Fokusnya adalah kritik atas teori evolusi (neo-) Darwinian. Sementara itu, secara umum mereka menerima kosmologi Big Bang. Mereka melihat, sementara dalam evolusi Tuhan dipinggirkan oleh teori yang mereka anggap ateistik dan materialistik itu, dalam Big Bang keberadaan Tuhan diakui.
Meski demikian, penolakan mereka atas teori evolusi, menurut mereka, tidak dimotivasi oleh sentimen keagamaan itu, namun disebabkan kelemahan empiris-ilmiah teori itu. Namun tampak jelas bahwa tafsiran mereka tentang “teori” penciptaan Islam memainkan peran yang amat penting dalam penolakan tersebut.
Teori evolusi jelas dianggap bersifat ateistik, sehingga data apapun yang diajukan untuk mendukungnya akan amat sulit mereka terima.[4] Apalagi evolusi disifatkan sebagai penyebab “malapetaka kemanusiaan” seperti Nazisme, terorisme, dan banyak keburukan global lainnya; jadi kalaupun ditemukan data-data empiris yang dapat memuaskan mereka, teori ini tetap sulit diterima.
Karenanya sulit untuk mengatakan bahwa ini adalah gerakan ilmiah (sebagaimana yang mereka klaim); tampak jelas ini lebih merupakan gerakan keagamaan. Argumen Yahya amat dekat (kalau bukan identik) dengan kreasionisme yang berkembang di kalangan Protestan fundementalis di AS (belakangan kelompok ini berkembang menjadi apa yang dikenal dengan “intelligent design movement”).
(Catatan Redaksi: Lalu di mana kah posisi Muthahhari berdasarkan pemetaan di atas ini? Jawabannya akan diulas dalam sambungan artikel ini.)
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM. Tulisan ini merupakan makalah yang pernah beliau sampaikan pada acara Seminar Sehari Pemikiran Muthahhari “Teologi Islam dan Persoalan Kontemporer”, 15 Mei 2004. Atas izin dari yang bersangkutan, Redaksi Gana Islamika diperkenankan untuk menerbitkan kembali tulisan ini.
[2] Beberapa tipologi itu dapat dilihat misalnya dalam Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science (Mansell Publishing Ltd., 1989); Osman Bakar, Tawhid and Science (Kuala Lumpur, Secretariat for Islamic Philosophy and Science, 1991); yang lebih baru: Ibrahim Kalin, “Three Views of Science in the Islamic World””, dalam Ted Peters, Muzaffar Iqbal, dan S. N. Haq, God, Life and the Cosmos, Ashgate, 2002.
[3] Pembedaan ini diajukan dalam Ibrahim Kalin, ibid. Dia memberikan contoh Ziauddin Sardar dan Ismail Faruqi sebagai memiliki pendekatan epistemologis, sementara S. Hossein Nasr dan M. Naquib al-Attas memiliki pendekatan ontologis.
[4] Ada pengamatan menarik di sini: kelompok ini sesungguhnya berbagi pemahaman yang identik dengan kaum ateistik tentang teori evolusi; bedanya, yang pertama menyingkirkan evolusi untuk mempertahankan agamanya; yang kedua menyerang agama karena merasa sikap itu secara logis dituntut oleh teori evolusi. Muthahhari, sebagaimana akan saya tunjukkan di bawah menunjukkan sikap terbuka yang dapat menerima evolusi dan tetap mempertahankan tauhid-nya.