Sambil memegang kepala Ammar, Rasulullah berkata, “Wahai api! Jadilah sejuk dan nyaman bagi Ammar seperti yang engkau lakukan untuk Ibrahim.”
Setelah kematian seluruh anggota keluarganya (Ayah, Ibu, dan dalam riwayat lain dikatakan saudara laki-lakinya), kini tinggal Ammar bin Yasir yang masih bertahan hidup dari penyiksaan. Namun ini belum berakhir, dia harus menghadapi penyiksaan yang lebih menyakitkan lagi.
Sebuah batu yang panas diletakkan di dadanya dan sebagian tubuhnya yang lain dibenamkan di dalam pasir yang panas membara. “Kami tidak akan membiarkanmu kecuali jika engkau mau mencaci Muhammad, atau engkau mau mengatakan hal-hal yang baik tentang Latta dan Uzza,” kata para penyiksa kepada Ammar.[1]
Beberapa sahabat Ammar juga meriwayatkan apa yang terjadi terhadap dirinya. Amar bin Hakam berkata, “Ammar itu disiksa sampai-sampai dia tidak menyadari apa yang diucapkannya.”[2]
Selain itu, Amr bin Maimun meriwayatkan, bahwa ketika kaum Musyirikin sedang menyalakan api untuk membakar Ammar, Rasulullah sedang melintas. Meletakkan tangannya di atas kepala Ammar, Rasulullah berkata, “Wahai api! Jadilah sejuk dan nyaman bagi Ammar seperti yang engkau lakukan untuk Ibrahim.” Rasulullah kemudian memberi tahu Ammar bahwa (dia tidak akan mati karena penyiksaan ini, tetapi) sekelompok pemberontak akan membuatnya mati syahid.[3]
Tetapi bagaimanapun juga, meskipun bersabar dan mendapatkan pertolongan dari Rasulullah, pada waktunya Ammar benar-benar mengalami penderitaan yang begitu berat. Suatu hari, para tukang cambuk dan penderanya menggunakan segala daya dan upaya untuk melampiaskan kekejian dan kezaliman, serta untuk membuat patah semangat Ammar.
Dia disiksa dengan besi panas, disalib di atas pasir panas dengan batu merah membara ditindihkan ke dadanya, bahkan hingga ditenggelamkan ke dalam air untuk membuat sesak nafasnya. Tubuhnya penuh luka-luka dan kulitnya banyak yang mengelupas.
Karena siksaan yang demikian berat ini, Ammar menjadi tak sadarkan diri. Orang-orang itu lalu berkata kepadanya, “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!” Lalu diajarkan kepadanya kata-kata pujaan itu, sementara dia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.[4]
Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar meriwayatkan, bahwa Kaum Musyrikin menangkap Ammar dan menyiksanya dengan sangat kejam sehingga (untuk menyelamatkan hidupnya) dia akhirnya dipaksa untuk menghujat Rasulullah dan memuji tuhan-tuhan Kaum Musyrikin.
Ketika dia datang kepada Rasulullah, Rasulullah bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. Dia menjawab, “Segala yang terjadi sesungguhnya berjalan dengan salah, ya Rasulullah. Kaum Musyrikin terus menyiksaku sedemikian rupa sehingga aku dipaksa untuk menghujatmu dan memuji tuhan-tuhan mereka.”
“Bagaimana dengan keadaan hatimu?” tanya Rasulullah.
Ammar menjawab, “Aku menemukan hatiku dipenuhi dengan Iman.”
Rasulullah berkata, “Jika Kaum Musyrikin mengulangi siksaan mereka, engkau dapat mengulangi apa yang engkau katakan (untuk menyelamatkan hidupmu).”[5]
Muhammad bin Ammar meriwayatkan, Rasulullah bertemu Ammar saat dia menangis. Mengusap air mata dari wajahnya, Rasulullah berkata, “Orang kafir menangkapmu dan membenamkanmu dalam air berkali-kali sehingga engkau dipaksa untuk mengatakan hal-hal tertentu (kata-kata kekufuran). Jika mereka melakukannya lagi, engkau boleh mengatakannya (kata-kata kekufuran) kepada mereka lagi.”[6]
Setelah Rasulullah mengucapkan kata-kata di atas, menurut sejarawan Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, turunlah sebuah ayat yang bunyinya:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (Q.S an-Nahl [16]: 106)[7]
Selain Ammar dan keluarganya, banyak juga umat Muslim lemah lainnya, kebanyakan dari golongan budak, yang menjadi sasaran penyiksaan orang-orang Quraisy, di antaranya Bilal, Abu Fakihah, Khabbab bin Arats, Zinnirah, Nahdiyah dan kedua putrinya, Ummu Ubais, serta masih banyak lagi yang lainnya.
Orang-orang musyrik biasa mengikat mereka di tempat gembalaan unta dan sapi, lalu melemparkan mereka ke atas padang pasir yang menyengat. Sebagian yang lain ada yang dikenakan pakaian besi, lalu ditelentangkan di atas pasir yang panas.
Karena peristiwa ini berlangsung terus menerus, akhirnya Rasulullah memerintahkan semua sahabat untuk menyembunyikan keislamannya. Lalu turunlah sebuah ayat yang mengisyaratkan tentang hijrah dan menyatakan bahwa bumi ini tidaklah sempit:
“Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S az-Zumar [39]: 10)[8]
Maka untuk pertama kalinya beberapa Kaum Muslimin melakukan hijrah ke Habasyah. Beberapa riwayat menyatakan bahwa Ammar bin Yasir termasuk orang yang ikut dalam hijrah ini, namun lainnya menyatakan tidak, sehingga persoalan ini masih menjadi sesuatu yang diragukan.[9] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 124.
[2] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 249-250.
[3] Abu Abdullah Muhammad bin Sa‘d bin Mani al-Basri al-Hasyimi katib al-Waqidi (Ibnu Sa’d), Kitab at-Tabaqat al-Kabir (Vol 3, hlm 177), dikutip dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 302.
[4] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 250.
[5] Abu Nuaim al-Isfahani, Hilyat al-Awliya (Vol 1, hlm 140); Ibnu Sa’d juga meriwayatkannya dalam Kitab at-Tabaqat al-Kabir (Vol 3, hlm 178), dikutip kembali dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Loc.Cit.
[6] Ibnu Sa’d, Kitab at-Tabaqat al-Kabir (Vol 3, hlm 177), dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Ibid.
[7] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Op.Cit., hlm 124-125.
[8] Ibid., hlm 125-127.
[9] Saifur Rahman Al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq Al-Makhtum (The Sealed Nectar): Biography of the Prophet (Darussalam: 2002), E-book version, chapter The Second Phase: Open Preaching.
Great content! Super high-quality! Keep it up! 🙂