Khalifah Abu Bakar menulis surat untuk Khalid bin Walid, “Pergilah ke Irak sampai engkau memasukinya…. Jadikanlah orang-orang Persia (Fars) dan negara-negara yang berada di bawah pemerintahan mereka damai.”
Demikianlah, setelah panjang lebar menjelaskan tidak kredibelnya riwayat dari Saif bin Umar yang dipakai oleh al-Tabari, untuk kronologis penaklukan bangsa Arab ke Persia, kita akan menggunakan versi dari Parvaneh Pourshariati, yang secara ilmiah dapat lebih dipertanggungjawabkan.
Meski demikian, bukan berarti al-Tabari tidak dipakai sepenuhnya. Catatan sejarah dari beliau tetap dipakai namun dengan menggunakan filter-filter yang telah kita bahas pada seri artikel sebelumnya.
Parvaneh membagi kronologis peristiwa penaklukan Arab ke Persia dengan tiga tahapan penting, yaitu (1) Perang Riddah, (2) Futuh, dan (3) Iran.[1] Secara sederhana, Perang Riddah dapat diartikan sebagai perang Khalifah Abu Bakar melawan orang-orang murtad.[2] Futuh adalah serangan bangsa Arab ke Irak (yang pada waktu itu bagian dari Persia), dan kemudian setelahnya ke Iran.[3]
Adapun mengenai latar belakang Perang Riddah, kita akan membahasnya sekilas. Setelah wafatnya Rasulullah saw, Abu Bakar ash-Shiddiq ra diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam.
Bagaimanapun, ketika berita tentang wafatnya Rasulullah menyebar ke berbagai belahan wilayah Muslim, itu menimbulkan percikan-percikan yang bernuansa pemberontakkan terhadap kepemimpinan yang baru, terutama dari daerah-daerah yang jauh dari pusat di Madinah, yang penduduknya belum lama masuk Islam. Oleh para sejarawan, periode ini disebut periode riddah (pembelokkan agama).
Penduduk Bahrain, Oman, dan Mahrah misalnya, mereka terhasut untuk melakukan pemberontakkan karena sebuah syair yang digubah oleh penyair setempat yang berbunyi:
Memang, selagi hidupnya kita harus taat kepada Rasulullah. Tetapi hai hamba Allah, terhadap Abu Bakar apa perlunya?
Selain itu, di berbagai daerah lainnya bermunculan nabi-nabi palsu. Di antaranya adalah Thulaihah al-Asadi yang mengaku sebagai nabi. Di antara rakyat dari suku Asad, Gathfan, Thai, dan Dzubyan banyak yang percaya dan menjadi pengikutnya. Setelahnya menyusul Bani Amir, Hawazin, dan Salim yang juga meyakini kenabian Thulaihah.
Tidak berhenti sampai di sana, di kalangan Bani Tamim muncul seorang wanita yang bernama Sajjah. Dia menjadi dalang dan mengipas-ngipasi mereka agar mengakui kenabian Thulaihah. Dengan dukungan sebesar ini, Thulaihah bahkan berencana untuk menyerang dan menduduki Madinah.
Selain Thulaihah, ada juga orang lainnya yang mengaku sebagai nabi bagi seluruh manusia, dia adalah Musailamah bin Habib, atau biasa disebut Musailamah al-Kazzab (Musailamah si Pembohong).
Tidak tanggung-tanggung, penduduk Yamamah (sekarang berada di Najd Tengah, Saudi Arabia) percaya kepadanya dan menjadi pengikutnya. Musailamah bahkan memiliki kekuatan tempur yang sudah mencapai skala pertahanan satu kota.[4]
Kita tidak akan membahas terlalu jauh tentang pemberontakan-pemberontakan ini, melainkan langsung ke peristiwa kuncinya saja, yaitu perang melawan Musailamah di Yamamah.
Demikianlah, akhirnya umat Islam di bawah panji komando Khalid bin Walid berangkat ke Yamamah. Perang Yamamah menelan korban jiwa yang begitu banyak dari Kaum Anshar, mereka adalah orang-orang yang sangat bernilai karena pengetahuan mereka yang tinggi tentang Alquran.
Pada masa itu Alquran belum tertulis, masih mengandalkan orang-orang yang menghafalnya, yang mana banyak yang berguguran dalam perang ini.
Singkat cerita, Musailamah akhirnya terbunuh, dan jantung pemberontakkan riddah berhasil dihancurkan. Kekuatan pemerintahan Muslim di Madinah berhasil dikokohkan kembali. Peristiwa ini berlangsung pada tahun 632-633 M.[5]
Hubungan peristiwa Perang Riddah dengan penaklukan ke Persia adalah sebagai penanda atau titik balik dimulainya penyerangan ke wilayah Persia, yakni Irak pada waktu itu. Dalam hal ini kita dapat menggunakan riwayat dari al-Tabari, yang mengatakan, “Ketika Khalid selesai dengan urusan al-Yamamah, Abu Bakar ash-Shiddiq menulis (surat) kepadanya saat Khalid masih di sana.”[6]
Isi surat dari Abu Bakar kepada Khalid adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Saif bin Umar, “Pergilah ke Irak sampai engkau memasukinya. Mulailah dengan pintu gerbang ke India, yaitu al-Ubullah (sekarang di Basrah, Irak-pen). Jadikanlah orang-orang Persia (Fars) dan negara-negara yang berada di bawah pemerintahan mereka damai.”[7]
Akan tetapi, terhadap riwayat di atas, Parvaneh menyarankan, bahwa hendaknya riwayat tersebut dipahami hanya sebagai urutan kronologis dan simbol awal penyerangan saja, karena bisa jadi isi surat tersebut hanya karangan Saif saja.[8]
Sampai di sini sejarawan sepakat, bahwa peristiwa penyerangan Muslim ke Persia dimulai setelah Perang Riddah berakhir. Mengenai bagaimana jalannya peristiwa tersebut dan kronologi-kronologinya akan dibahas dalam seri selanjutnya. (PH)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Parvaneh Pourshariati, Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian–Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran (I.B.Tauris & Co Ltd: London, 2008), hlm 166.
[2] Encyclopaedia Britannica, “Riddah”, dari laman https://www.britannica.com/topic/riddah#ref80139, diakses 12 Oktober 2020.
[3] Parvaneh Pourshariati, Loc.Cit.
[4] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 86-87.
[5] Encyclopaedia Britannica, Loc.Cit.
[6] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 11, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Khalid Yahya Blankinship (State University of New York Press: New York, 1993), hlm 1.
[7] Ibid.
[8] Parvaneh Pourshariati, Loc.Cit.
Sebuah karya yang sangat bagus. Saya menikmati sekali tulisan tulisan ttg penaklukan persia dari awal.
Ditunggu kelanjutan kisahnya.