Penyandang marga yang sama dengan warna kulit gelap merasa diri lebih asli dan tulen dibanding saya. Bukan itu saja, sebagian juga kerap merasa warna kulit gelap itu melambangkan kejantanan dan kelelakian.
Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab
Kebingungan yang menimpa saya sejak kecil itu ternyata karena memang Arab itu suatu identitas yang paradoksal. Jadi saya terjebak dalam identitas yang di dalamnya banyak paradoks, kontradiksi, dan ilusi.
Saya teringat ketika dulu saya kerap diledek oleh penyandang marga yang sama (yaitu al-Habsyi-red) karena kulit yang cenderung lebih cerah. Penyandang marga yang sama dengan warna kulit gelap itu merasa dirinya lebih asli dan tulen dibanding saya. Bukan itu saja, sebagian juga kerap merasa warna kulit gelap itu melambangkan kejantanan dan kelelakian.
Jika kebanggaan itu benar dan bukan sekadar untuk bergurau, maka jelas itu datang dari kebodohan semata. Pasalnya, bukankah sejarah justru menunjukkan betapa kulit putih sudah memperbudak Arab berkulit gelap sejak setidaknya 200 tahun terakhir?
Sampai-sampai banyak penguasa Arab dari wilayah Teluk ingin sekali mengubah nasib dengan menikahi putri-putri dari wilayah Suriah dan Syam pada umumnya untuk mendapatkan keturunan yang lebih cerah.
Poinnya memang kebanggan soal kulit itu, seperti semua kebanggaan lain yang tidak datang dari usaha kita sendiri, bahkan kebanggaan apapun dalam diri manusia, tidak lebih dari sejenis kegilaan yang dianggap wajar.
Maka itu, bersikap rendah hati, bagi banyak guru akhlak, bukan hanya sebuah anjuran. Tapi, ia adalah pengakuan akan hakikat manusia yang selalu lemah dan penuh kekurangan. Ia adalah pengakuan akan realitas, bukan sekadar kepercayaan pada nilai.
Paradoks dan kontradiksi definisi Arab ternyata, seperti akan saya kutipkan dari para pakar, bukan hanya terjadi di kalangan awam. Para pakar yang menekuni sejarah, bahasa, geneologi dan leksikologi, filologi Arab, dan juga bidang-bidang lain, nyaris tidak punya kata sepakat tentang asal-usul kosakata Arab itu sendiri.
Kamus-kamus babon Arab seperti Lisan al-ʿArab: Tahdzib al-Lughah karya Abu Manshur al-Azhari (895-981); Taj al-Lughah wa Shihah al-‘Arabiyyah (biasanya disingkat jadi al-Shihah) karya Ismail bin Hammad al-Jawhari (wafat 1009); al-Muhkam wa Al-Muhith al-A’azham karya Ibn Sidah (1007-1066); Al-Nihayah karya Ibn Atsir al-Jazari (1160-1233); Kitab al-Tanbih wa al-Idhah karya Ibn al-Barri (1261–1331); Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzhur (1233-1312); dan Taj al-‘Arus karya al-Zabidi (1732-1790) umumnya menyampaikan sejumlah pandangan ihwal asal kata Arab (tunggal: عَرَبِيٌّ; jamak: عَرَبٌ).Tapi mereka tidak memastikan asal kata ini mengacu pada bahasa atau lokasi keberadaannya.
Karena itu, para peneliti Arab hingga kini ternyata masih berselisih paham: Apakah kata Arab (tunggal: عَرَبِيٌّ; jamak: عَرَبٌ) itu merujuk pada kelompok etnik, lokasi geografis, karakter, perilaku, ataukah sebenarnya hanya mengacu pada bahasa spesifik?
Tentu kita tak hendak mendedah seluruh teori dan argumen mereka yang menjemukan itu di sini. Terutama karena kita mengetahui pelbagai teori itu terus berkembang, selaras dengan perkembangan bidang-bidang sains dan teknologi lain.
Teori-teori klasik tentang definisi Arab umumnya sudah berbeda dengan teori-teori abad pertengahan dan abad modern. Betapa rumitnya menjelaskan satu demi satu teori itu demi mendapatkan pemahaman yang utuh dan baku.
Namun demikian, suka tidak suka, kita tetap perlu punya kerangka acuan untuk melanjutkan diskusi ini. Jika kita mau sejenak lupakan semua teori yang ada dan kembali pada kosakata itu sendiri, maka kita dapat menemukan adanya semacam kesepahaman para ahli bahasa dan pembuat kamus Arab tentang makna Arab.
Meskipun mungkin mereka tidak mengutarakannya secara eksplisit, tapi dengan menggabungkan berbagai pandangan yang ada kita bisa sampai pada suatu kesimpulan yang cukup jernih. Karena itu mari kita coba periksa makna kata Arab dan penggunaan-penggunaanya menurut para ahli sejarah dan pakar bahasa Arab.
Para pakar bahasa dalam kamus-kamus besar bahasa Arab yang sebagiannya sudah saya sebutkan di atas enggan menunjuk langsung makna awal kata ini. Mereka juga tidak memberikan konteks yang lebih rinci tentang medan semantika kata ini. Mungkin mereka berpendapat bahwa itu bukan tugas mereka.
Tapi dalam kasus yang sedang kita hadapi, metode para pakar bahasa itu sepertinya bisa menyesatkan. Alasannya, عَرَبِيٌّ (‘araby) oleh para ahli bahasa—dan juga menurut Alquran—dibedakan dengan أعراب (a’rab ) atau orangnya disebut dengan أعرابي (a’raby). Yang pertama punya konotasi baik sedang yang kedua pada umumnya berkonotasi buruk. Padahal keduanya sama-sama berakar dari tiga huruf ع-ر-ب yang sama.
Menurut beberapa ahli bahasa, ‘araby adalah orang Arab yang menghuni pedesaan atau perkotaan. Konon ‘araby adalah orang Arab yang lebih maju dan berbudaya. Sebaliknya, a’rab atau kata sifatnya a’raby adalah orang badui penghuni gurun pasir.
Tapi karena konotasi buruk yang melekat pada kata a’raby, beberapa pakar bahasa lain berpendapat bahwa ‘araby adalah semua orang Arab meskipun dia badui, sementara a’raby adalah badui meskipun bukan Arab.
Maka itu, jika Anda bertemu dengan orang Arab, lalu memanggilnya dengan sapaan “Hai a’raby”, maka dia akan terhina dan marah. Sebaliknya, jika Anda panggil dia dengan sapaan “Hai ‘araby”, maka dia akan bangga dan senang.
Sayangnya para pakar bahasa hanya sedikit menerangkan alasan timbulnya konotasi negatif yang melekat pada orang Arab badui atau kehidupan di gurun pasir itu sendiri. Mereka juga jarang menjelaskan siapa persisnya yang disebut dengan ‘araby yang berkonotasi baik atau apakah unsur paling esensialnya.
Bahkan, para pakar itu seperti tidak mau menjawab pertanyaan dari mana asal-usul ‘araby itu kalau semula bukan dari padang pasir juga. Karena itu, barangkali kita perlu merumuskan kesimpulan sendiri, setelah kita memeriksa beberapa pendapat yang ada.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya: