“Al-Ghazali mengalami krisis kepercayaan diri, beberapa orang menganggap al-Ghazali mendapat gangguan mental. Dia berhenti dari pekerjaannya dan menghabiskan dasawarsa berikutnya untuk mengembara di dunia Muslim.”
–O–
Ketika al-Ghazali tiba di Baghdad pada tahun 1091 M, selain menjadi Guru Besar di Nizamiyyah, dia juga mesti memperhatikan aspek politik dari jabatan barunya, yang mana sama pentingnya dengan persoalan religius. Al-Ghazali juga harus menghasilkan penelitian yang orisinil; berurusan dengan intrik pengadilan dan Perdana Menteri kesultanan; dan menangani tantangan mengenai perdebatan teologis. Yang terakhir namun tak kalah pentingnya, Dinasti Fatimiyah dicurigai menyewa pembunuh untuk membunuh sebanyak mungkin pemimpin Dinasti Seljuk dan Abbasiyah, sekaligus para birokrat pentingnya.[1]
Jika ada daftar target pembunuhan, kemungkinan besar al-Ghazali pun akan di dalamnya. Dalam waktu satu tahun pertama sejak kedatangan al-Ghazali di Baghdad, di sana sudah terjadi pembunuhan terhadap dua tokoh terpenting kesultanan. Ya, Sultan Malik Shah dan Perdana Menterinya, Nizam al-Mulk, keduanya telah dibunuh pada tahun itu. Dinasti Fatimiyah di Kairo dituduh sebagai dalang utama dari pembunuhan tersebut.[2]
Beberapa catatan sejarah menyatakan bahwa pembunuh Nizam al-Mulk adalah sebuah sekte rahasia yang bernama Hashashin. Sekte ini merupakan sekte kecil, namun mereka memiliki kemampuan membunuh dengan trik dan akurasi yang sangat tinggi. Keberadaan para anggotanya pun misterius, dalam setiap operasi pembunuhan yang mereka lakukan, biasanya mereka menyamar terlebih dahulu. Nizam al-Mulk dibunuh oleh seorang anggota Hashashin yang menyamar sebagai sufi.[3]
Hashashin, walaupun mereka bermadzhab sama dengan Dinasti Syiah Fatimiyah di Kairo, yaitu Syiah Ismailiyah, namun pada kenyataannya di kemudian hari beberapa tokoh Dinasti Fatimiyah juga turut menjadi korban pembunuhan dari sekte Hashashin. Beberapa tokoh Dinasti Fatimiyah yang dibunuh oleh Hashashin adalah Al-Afdal Shahanshah, seorang Perdana Menteri, dibunuh tahun 1122 M; dan Al Amir, seorang khalifah, dibunuh tahun 1130 M.[4]
Hampir semua imperium besar masa itu pernah menjadi korban dari sekte Hashashin, diantaranya dinasti Abbasiyah, Fatimiyah, Mongolia, Inggris, hingga Yerusalem. Saking melegendanya Hashashin, bahkan sampai hari ini kata “Hashashin” diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi “Assassin”, yang artinya adalah orang yang membunuh orang-orang penting demi tujuan politik atau agama.[5]
Artikel terkait:
Setelah pembunuhan kedua orang terkuat di kesultanan tersebut, Kekaisaran Seljuk mulai runtuh menuju kehancuran. Al-Ghazali, mungkin saja merasa terancam, tapi toh dia tetap melanjutkan pekerjaannya dan tetap tinggal di Baghdad. Di sana, dia terus memberi kuliah, yang apabila dikumpulkan dalam auditorium, jumlah muridnya dapat mencapai 300 orang lebih. Selain itu dia juga menulis khutbah, dan karya hukum dan teologi Islam dalam rentang waktu yang panjang.[6]
Sebagian besar waktu al-Ghazali dihabiskan untuk menerima tamu dan menanggapi surat-surat yang meminta saran dan pendapatnya mengenai masalah teologi dan hukum. Jawaban-jawaban yang dia berikan dilandasi atas argumentasi-argumentasi yang kuat dari sudut pandang Madzhab Sunni ortodoks.[7]
Pengembaraan
Pada tahun 1095, Paus Urban II melancarkan Perang Salib Pertama dengan tujuan untuk merebut Yerusalem kembali dari orang-orang Islam. Pada tahun yang sama, al-Ghazali mengalami krisis kepercayaan diri, beberapa orang menganggap al-Ghazali mendapat gangguan mental. Dia berhenti dari pekerjaannya dan menghabiskan dasawarsa berikutnya untuk mengembara di dunia Muslim.[8]
Dalam pengembaraannya, al-Ghazali mempertanyakan semua hal yang sebelumnya dia anggap benar. Al-Ghazali telah memulainya terlebih dahulu (meragukan segala sesuatu) dibandingkan dengan Bapak Filsafat Modern Eropa, yakni René Descartes, 500 tahun kemudian. Apa yang al-Ghazali pikirkan, pada masa itu merupakan hal yang baru.[9]
Meskipun bepergian dengan gaya hidup sufi yang sederhana, nyatanya ketenarannya masih membuatnya sering dikenali ketika dia singgah dari kota ke kota. Dalam karya otobiografinya yang berjudul al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari Kesalahan), al-Ghazali menceritakan bagaimana dia pertama-tama pergi ke Damaskus dan hidup sebagai sufi, mengubah seluruh gaya hidupnya yang nyaman ke dalam kesederhanaan, perenungan, dan kesendirian.[10]
Al-Munqidh min al-Dalal adalah karya al-Ghazali yang sangat personal, yang isinya menunjukkan tentang kerendahan hati dan keraguan. Di dalamnya al-Ghazali berkisah: suatu hari, saat memasuki sebuah Masjid, dia mendengar seorang pengkhotbah memuji karya-karyanya. Bukannya terkesan, al-Ghazali malah terburu-buru pergi dari tempat tersebut, dia khawatir Iblis akan menguasai dirinya dengan kesombongan.[11]
Di dalam Al-Munqidh min al-Dalal al-Ghazali berkata tentang keputusasaan dan keraguan, “Sekarang keputusasaan telah menimpaku, tidak ada gunanya mempelajari masalah kecuali berdasarkan apa yang terbukti dengan sendirinya, yaitu, kebenaran yang diperlukan dan penegasan akan kesadaran. Aku harus terlebih dahulu membawa ini untuk dinilai agar aku yakin mengenai hal ini.”[12]
Dia menyerahkan semua uang dan harta benda duniawinya, dan mengembara ke Yerusalem. Di kota itu, dia melihat Dome of the Rock dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Mekah dan Madinah. Secara keseluruhan, al-Ghazali menghabiskan sebagian besar dekade pengembaraan dengan keraguan tentang kehidupan dan ragam pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Selanjutnya dia kembali ke Nishapur, dia tinggal di sana hanya beberapa kilometer dari kampung halamannya.[13] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 103.
[2] Ibid., hlm 104.
[3] “Assassin (1)”, dari laman https://ganaislamika.com/assassin/, diakses 1 Maret 2018.
[4] Ibid.
[5] “Assassin (2): Asal Usul dan Legenda”, dari laman https://ganaislamika.com/assassin-2-asal-usul-dan-legenda/, diakses 1 Maret 2018.
[6] Eamon Gearon, Loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm 105.
[12] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh W. Montgomery watt, The Faith And Practice Of Al-Ghazali, (George Allen And Unwin Ltd: London, 1951), hlm 22.
[13] Eamon Gearon, Loc. Cit.