Lahir di Paris, Profesor Henry Corbin tumbuh dalam tradisi pendidikan Katholik. Minatnya pada filsafat dan agama membawanya berkelana ke berbagai negeri. Saat di Iran dia ingin bertemu dengan Thabathabai yang dia anggap sebagai penerus tradisi filsafat Islam Persia.
Dialog dan Korespondensi dengan Profesor Henry Corbin
Sebagaimana sudah dijelaskan pada edisi-edisi sebelumnya, Thabathabai bukan sosok intelektual yang terpisah dari keresahan sosial dan berdiri di atas menara gading. Sebaliknya, dia menyelami tiap masalah sosial dan keumatan itu dalam dirinya dan mencoba ikut memecahkannya. Sebagaimana sudah ditulis, tekadnya mengembangkan kurikulum studi filsafat Islam bersumber dari keresahannya pada setumpuk masalah yang dihadapi para mahasiswa akibat derasnya pengaruh paham positivisme Barat maupun Marxisme Timur. Demikian juga dengan kepeduliannya pada studi tafsir Alquran yang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan kalangan terpelajar Muslim terhadap khazanah ilmu Islam ini. Keterlibatannya dalam dialog dan korespondensi serius dengan Profesor Henry Corbin yang kala itu mengampu studi Iranologi di Universitas Tehran juga masih dalam tarikan napas yang sama.
Siapa sangka, di balik profilnya sebagai ulama tradisional, Thabathabai ternyata cukup banyak membaca karya-karya pemikiran filsafat Barat dan Timur serta hasil-hasil kajian kalangan orientalis seputar Islam. Keluasan wawasan inilah yang kemudian menggelitik Henry Corbin, salah satu pionir fenomenologi di Prancis, untuk mengenali Islam dari sudut-pandang Thabathabai sebagai ulama Syiah—suatu konsekuensi dari prosedur pendekatan fenomenologis yang diyakininya.[1]
Saat itu, Corbin memang sudah memutuskan keluar dari arus-utama orientalisme, lantaran dia ingin mendekati masalah secara fenomenologis. Mengutip Hussein Nasr yang telah bekerja sama dengannya selama dua dekade, Corbin kerap memadankan “fenomenologi” dalam kuliah umumnya di Universitas Tehran dengan istilah kasyf al-mahjub—yang secara harfiah berarti “menyingkap yang tersembunyi.” Metodenya dalam studi teks dan ritus keagamaan berpijak pada hermeneutika spiritual (al-ta’wil) yang umum digunakan kalangan Sufi klasik dan pemikir Syiah.[2]
Lahir di Paris pada 1903 dari keluarga Protestan, Corbin tumbuh dalam tradisi pendidikan Katholik. Minatnya pada filsafat dan agama membawanya berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Namun, sejak usia dini, dia memang sudah lebih meminati filsafat Timur, khususnya Islam. Ketertarikannya makin kuat setelah dia mendalami pemikiran teosof besar asal Persia, Syihab al-Din Yahya Suhrawardi. Hikmah al-Isyraq adalah karya Suhrawardi pertama yang Corbin baca dan tekuni. Dia memperolehnya dari orientalis besar lain, Louis Massignon, dalam bentuk salinan litograf. Dalam perjalanan karir selanjutnya, Corbin tak pernah melupakan Suhrawardi dalam berbagai karyanya. Bahkan dia menyebut Suhrawardi sebagai Imam Platonis Persia.[3]
Sejak mengenal Suhrawardi, Corbin kian tegas membuang pandangan orientalis arus utama yang menganggap filsafat Islam telah mati di era Ibn Rusyd. Baginya, filsafat Islam justru tumbuh subur dan berbuah setelah era itu. Dengan kerangka seperti itu dia menekuni filsafat Islam yang berkembang di Persia. Dalam rangka itu, pada tahun 1947, dia menetap di Tehran dan menjabat sebagai direktur French Institute for Iranian Studies. Di sini minatnya pada filsafat Islam menemukan jalannya yang lebar, terutama karena di sini dia menemukan sejumlah filosof yang hidup dan terus melanjutkan tradisi panjang itu. Salah satunya, tentunya, adalah Thabathabai sendiri.[4]
Setelah satu dekade pulang-pergi ke Iran dan membangun pergaulan yang luas, Corbin menyatakan minatnya bertemu dengan Thabathabai kepada Dr. Jazairi, seorang profesor di Universitas Teheran yang sekaligus menjabat sebagai menteri kehakiman. Thabathabai yang sudah pernah membaca karya Corbin pun segera tertarik memenuhi permintaan ini. Maka pertemuan pertama antara dua pemikir itu berlangsung di rumah Jazairi dalam suasana akrab di musim gugur tahun 1958.[5] Hasil dialog dan korespondensi mereka lantas terbit dalam dua jilid pada dua fase yang berbeda. Jilid pertama yang terdiri atas 380 halaman dicetak pertama kali tahun 1959 dengan judul “Mazhab Syiah”. Edisi revisi buku ini disunting dan dianotasi secara ekstensif oleh Thabathabai sendiri hingga kemudian terbit dalam 500 halaman.[6] (MK)
Bersambung ke:
Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (12): Dialog dengan Henry Corbin (2)
Sebelumnya:
Allamah Thabathabai: Filosof dan Mufasir Muslim Kontemporer (10): Bidayah dan Nihayah (2)
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Hamid Algar, ‘Allama Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i: Philosopher, Exegete, And Gnostic, (2006) Journal of Islamic Studies, University of California, Berkeley. hal. 16
[2] Hussein Nasr, Religion and the Order of Nature, Oxford University Press, 1996, New York, hal. 26 dalam catatan kaki ke-13.
[3] Terkait dengan sejarah hidup dan pemikiran Henry Corbin, redaksi ganaislamika.com pernah menerbitkan serial tulisan berjudul “Henry Corbin dan Kritik Filsafat Islam Orientalis”. Untuk membacanya bisa mengakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/henry-corbin-dan-kritik-filsafat-islam-orientalis/
[4] Lihat, Hamid Algar, Op Cit. hal 16.
[5] Petemuan pertama ini dihadiri juga oleh tiga profesor lainnya, yaitu : Mahdi Bazargan, profesor termodinamika tetapi lebih dikenal karena aktivitas sastra dan politiknya; Muhammad Mu’in, seorang profesor sastra yang sekarang paling diingat untuk kamus enam jilid Persia-nya, dan Hussein Nasr, sudah terkenal pada saat itu karena banyak tulisannya tentang filsafat dan mistisisme. Ibid.
[6] Lihat, Kamal Haydari. Al-‘Allamah Ath-Thabathabai: Lamahat min Siratihi Al-Dzatiyyah wa Manhajihi Al-‘Ilmy. www.alhaydari.com. 20 November 2019, hal. 115.