Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan[1]
“Achmad Noe’man dikenal dengan ciri khas rancangan arsitektur masjidnya yang tanpa kubah, terutama tanpa tiang penyangga di dalam ruangan masjid yang acap menghalangi barisan (shaf) saat shalat berjamaah.”
–O–
Sosok ini bukan hanya perancang logo dan atribut organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), melainkan juga perancang berbagai masjid, baik masjid di kampus-kampus di Tanah Air maupun berbagai masjid di kota-kota besar dan di luar negeri. Saking banyaknya masjid yang dirancangnya, dia pun memperoleh predikat sebagai Arsitek Seribu Masjid dari berbagai kalangan. Siapa dia?
Achmad Noe’man (AN), lahir di Garut, Jawa Barat, 10 Oktober 1925 dan meninggal di Bandung, Jawa Barat, 4 April 2016. Beliau putra dari Muhammad Jamhari, seorang ulama dan pendiri organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah di Garut, Jawa Barat.[2] Sewaktu kecil, AN acap diajak ikut dan mendampingi ayahnya, termasuk dalam merancang pembangunan madrasah dan masjid. Sejak itulah, beliau mulai tertarik pada bidang arsitektur.[3]
Kelak, sesudah lulus dan menyabet gelar insinyur dari Jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1958, rencananya beliau akan dikirim ke luar negeri untuk mengikuti Program Pendidikan Magister di Kentucky, Amerika Serikat. Akan tetapi, AN lebih memilih menjadi Dosen ITB, lantas membuka sebuah biro arsitektur yang diberi nama Birano, akronim dari Biro Arsitektur Ahmad Noe’man.[4]
Maka, selain mengajar, AN pun mulai produktif merancang masjid. Berkat anugerah spiritualitas dan intelektualitas dari Allah Ta’ala, dia berhasil merancang banyak masjid. Saking banyaknya masjid yang beliau rancang, akhirnya, entah siapa yang memulai, AN pun semakin populer disebut Arsitek Seribu Masjid. Predikat ini tak berlebih-lebihan, sebab AN – memang – telah mengarsiteki pembangunan banyak masjid.
Di dalam negeri, antara lain beberapa masjid yang dirancangnya ialah Masjid Salman ITB, Masjid Al-Furqon IKIP Bandung, Masjid Al-Ghifari IPB, Masjid Asy-Syifa Fakultas Kedokteran UNPAD, Masjid At-Tin TMII, Masjid Raya Bandung, Masjid Taman Ismail Marzuki Jakarta, Masjid Islamic Center Jakarta, Masjid Agung Al-Akbar Surabaya, Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar, dan Masjid Lambung Mangkurat Banjarmasin.[5]
Lantaran kapasitas dan kapabilitasnya semakin teruji dan dikenal para pemuka Islam, maka AN pun memperoleh kepercayaan untuk merancang beberapa masjid dan bangunan bernafaskan Islam di luar negeri. Antara lain, beliau diberi kepercayaan untuk mengarsiteki pembangunan Masjid Syekh Yusuf di Cape Town Afrika Selatan, Masjid Muhammad Suharto di Sarajevo Bosnia, dan bahkan turut merancang Mimbar Masjid Al-Aqsha Palestina.[6]
Selain dikenal di kalangan arsitek sebagai muslim yang taat, AN pun dikenal dengan ciri khas arsitektur masjidnya yang tanpa kubah, terutama tanpa tiang penyangga di dalam ruangan masjid yang acap menghalangi barisan (shaf) saat shalat berjamaah. Di tengah kebiasaan atau pakem arsitektur masjid dengan kubah di atasnya dan tiang-tiang penyangga di dalamnya, arsitektur masjid karya AN bukan hanya pembaharuan, tetapi juga menuai kecurigaan.
Namun, langkah-langkahnya yang berbeda dari kebiasaan tersebut bukannya tanpa argumentasi sama sekali. Bagi AN, bergulat dalam dunia arsitektur bukan hanya pekerjaan dan pengembangan karier, namun juga – terutama – ibadah. Artinya aktivitasnya ini berorientasi keilahian. “Ada nilai-nilai yang cocok untuk beramal saleh, dan dengan pensil dan kertas saya bisa berdakwah,” tegasnya.[7]
Dalam membangun masjid, AN berpegang teguh pada dua ayat Al-Qur’an berikut ini. Kesatu, Q.S. Al-Baqarah ayat 179, “”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek-moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapatkan petunjuk?”[8]
Dari ayat Al-Qur’an tersebut, AN memetik nilai berilmu pengetahuan. Artinya, beliau bersikeras untuk mengetahui perintah dan larangan Allah dan hendak mengikutinya. Beliau tidak takluk kepada kebiasaan atau tradisi masyarakat dan nenek-moyang, apalagi menyangkut hal-hal yang tiada petunjuk yang spesifik dari-Nya. Dan Allah memang tidak memerintahkan bahwa masjid harus bertiang di dalamnya dan berkubah.
Kedua, Q.S. Al-Isra ayat 27, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”[9] Dari ayat Al-Qur’an ini, AN mengambil nilai menjauhi pemborosan dalam karya-karyanya. Pemborosan merupakan perilaku membuat sesuatu tanpa orientasi fungsi atau kemanfaatan. Baginya, dalam kadar tertentu, kubah dan tiang-tiang penyangga dalam masjid pun, pemborosan. Toh, tanpa itu pun, masjid yang kokoh dan baik serta indah masih bisa dibangun.
Dengan sikapnya ini, seakan-akan AN berpesan kepada penggiat profesi apapun untuk mengerahkan kreativitasnya. Dalam banyak hal, Islam cenderung menegaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip. Soal bagaimana menerjemahkan atau membumikannya, maka dikembalikan kepada kreativitas umatnya. Artinya jika masalahnya klasik alias sudah ada semenjak dahulu, barangkali solusi yang bijaksananya adalah merambah cara-cara baru yang relevan.
Dalam konteks pembaharuan dan kreativitas, menarik dicermati bahwa AN tidak hanya memiliki dan membaca, melainkan juga pernah memperlihatkan buku Dunia Baru Islam (The New World Of Islam) karya Lothrop Stoddard.[10] Buku ini mengkaji dunia baru yang diciptakan kaum muslim dalam sejarah. Dahulu, atas prakarsa Presiden Sukarno yang memerintahkan Menko Kesejahteraan H.M. Muljadi Djojomartono, buku ini diedit ke dalam bahasa Indonesia.
Adapun tentang kontribusi AN dalam merancang logo dan atribut HMI, hal itu bukan hanya karena diajak seniman lukis gaya abstrak Achmad Sadali alias kakak kandungnya, tetapi juga karena kakak-beradik beda satu tahun ini sama-sama pentolan HMI Cabang Bandung. Mereka generasi pertama HMI. Junior mereka, Sakib Machmud, bersama Nurcholish Madjid dan Endang Saifudin Anshari merancang Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, sedangkan Muhammad Imaduddin Abdurrahim terkenal dengan kuliah tauhidnya di kampus ITB.[11]
Bersambung ke:
Catatan Kaki:
[1] Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.
[2] Teuku Muhammad Guci S. “Arsitek 1000 Masjid Ir Achmad Noe’man Tutup Usia”. Dalam http://jabar.tribunnews.com/2016/04/04/arsitektur-1000-masjid-ir.Achmad-noeman-tutup-usia. Diakses di Cianjur 29/09/2018.
[3] “Achmad Noe’man: Perancang Mimbar Al-Aqsa Hingga Masjid Sarajevo” dalam https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/index.php/s13-berita/Achmad-noeman-perancang-mimbar-al-aqsa-hingga-masjid-sarajevo/. Diakses di Cianjur 29/09/2018.
[4] Ibid.
[5] Op.Cit., Teuku Muhammad Guci S.; “Achmad Noe’man” dalam https://www.indesignlive.co.id/articles/achmad-noeman. Diakses di Cianjur 29/09/2018; Baban Gandapurnama. “Anak Kenang Achmad Noeman: Bangun Masjid Besar Kecil Sama-sama Ibadah” dalam https://m.detik.com/news/berita/3179584/anak-kenang-achmad-noeman-bangun-masjid-besar-kecil-sama-sama-ibadah. Diakses di Cianjur 29/09/2018.
[6] Ibid.
[7] Op.Cit., “Achmad Noe’man: Perancang Mimbar Al-Aqsa Hingga Masjid Sarajevo.”
[8] Ibid.; Wawancara penulis dengan Achmad Noe’man di Birano Architec, Jalan Ganesha Nomor 5-7 Bandung, Jawa Barat, pada bulan Desember 2014.
[9] Ibid.
[10] Op.Cit., Wawancara penulis dengan Achmad Noe’man…
[11] Ibid.