Al-Khawarizmi adalah ilmuwan yang dipercaya beberapa khalifah Abbasiyah untuk melakukan penelitian besar, bahkan jasad Ashabul Kahfi pun sempat menjadi objek penelitiannya.
Al-Khawarizmi dikisahkan memiliki sebuah keunggulan yang sangat besar dalam memanfaatkan buku-buku yang terdapat di perpustakaan Al-Ma’mun. Dia belajar ilmu matematika, ilmu geografi, ilmu astronomi, disamping pengetahuan sejarah yang baik tentang orang Yunani dan Hindu.[1] Di masa Al-Ma’mun inilah, Al-Khawarizmi mulai terkenal dan mencapai masa puncaknya sebagai seorang ilmuwan.
Al-Ma’mun sangat terkenal sebagai seorang khalifah yang sangat mencintai dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam. Dia melanjutkan usaha para pendahulunya dalam meningkatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan usaha penerjemahan buku ilmu pengetahuan yang sudah dimulai sejak khalifah Al-Mansur. Beberapa hal yang mendorong khalifah untuk melakukan usaha penerjemahan terhadap berbagai buku ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban tersebut dikarenakan pada masa tersebut masyarakat sangat memerlukan pengetahuan, terutama setelah Muslim berinteraksi dengan berbagai bangsa, di samping sikap kritis yang mulai berkembang pada saat itu, terutama hal yang berhubungan dengan logika dan filsafat yang penting untuk dikuasai agar dapat membangun dialog konstruktif dengan orang-orang Yahudi atau Nasrani. Pada masa itu pun stabilitas politik relatif aman dan bahasa Arab telah menjadi bahasa kesatuan. Sementara berbagai daerah yang masuk Islam juga memiliki berbagai kebudayaan yang patut untuk dikembangkan, sehingga perlu untuk dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[2]
Karena kepandaian dan kecerdasan yang dimilikinya, Al-Khawarizmi mampu masuk pada lingkungan Dar al-Hukama, yaitu sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan pada masa Bani Abbasiyah oleh Khalifah Harun Al-Rasyid.[3]
Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari berbagai peradaban ke Baghdad, baik dari Byzantium (Romawi), Yunani, India, maupun Persia untuk diterjemahkan ke Bahasa Arab. Untuk itu di masa pemerintahannya Al-Makmun kemudian mendirikan sebuah lembaga ilmu pengetahuan yaitu Bait al-Hikmah, beberapa versi menjelaskan bahwa lembaga Bait al-Hikmah ini telah didirikan semasa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang kemudian dikembangkan dan diperluas oleh Al-Makmun. Bait al-Hikmah menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan melakukan penelitian, di mana semua kegiatan ilmiah mereka ditanggung dan dijamin oleh pemerintah, bahkan mereka pun mendapatkan gaji yang layak. Bait al-Hikmah sendiri tidak hanya berfungsi sebagai pusat penerjemahan dan aktivitas penelitian para ilmuwan, akan tetapi juga sebagai tempat lembaga pendidikan (perguruan tinggi) yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dan dikembangkan di Bait al-Hikmah adalah ilmu kedokteran, matematika, optika, fisika, gografi, astronomi, ilmu falak, sejarah, dan filsafat.[4]
Al-Makmun sangat tertarik dan mengagumi kecerdasan Al-Khawarizmi, itulah sebabnya dia kemudian secara khusus mengirim dan menugaskan Al-Khawarizmi untuk belajar Sanskerta. Bahasa Sanskerta pada waktu itu merupakan bahasa pengantar buku-buku ilmu pengetahuan dari India. Peradaban India sendiri tercatat sebagai salah satu peradaban yang maju, terutama daerah sungai Gangga, disamping peradaban Babylonia, Byzantium, Persia, dan Yunani, sehingga untuk kepentingan perkembangan peradaban Islam dan ilmu pengetahuan, khalifah Al-Makmun merasa perlu untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari India yang berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Arab agar mudah dipelajari oleh orang-orang Islam pada waktu itu.[5]
Setelah mahir dan mengusai bahasa ini dengan baik, ia kemudian ditugasi kembali oleh khalifah Al-Makmun untuk menterjemahkan buku India tentang astronomi yang berjudul Siddhanta ke bahasa Arab. Buku ini berhasil diterjemahkan oleh Al-Khawarizmi dengan baik, bahkan kemudian ia berhasi menterjemahkan buku tentang geografi, karya tulis Ptolomeus ke bahasa Arab. Siddhanta adalah sebuah buku berkenaan dengan ilmu astronomi yang di bawa oleh orang-orang India ke kota Baghdad sekitar tahun 771 M atau tahun 773 M. Usaha penerjemahan ini semula dilakukan oleh Al-Fazari, namun usaha tersebut belum sempurna dilakukan. Baru kemudian atas usaha Al-Khawarizmi buku tersebut bisa diterjemahkan secara sempurna kedalama bahasa Arab. [6]
Berdasarkan buku tersebut, Al-Khawarizmi telah menyusun sebuat tabel dan ringkasan dari sistem-sistem astronomi India dan Yunani yang ditambahnya dengan hasil-hasil penyelidikan sendiri. Tabel yang dibuat oleh Al-Khawarizmi ini menjadi terkenal di Eropa setelah diterjemahkan oleh Adelard dari Bath pada tahun 1126. Tabel ini kemudian menggantikan tabel Yunani dan India yang biasa dipakai sebelumnya. Buku ini juga menjadi dasar bagi Al-Khawarizmi dalam menyusun daftar-daftar astronominya (astrolabels). [7]
Al-Khawarizmi sering mendapat mandat dari khalifah untuk melakukan rihlah ilmiah, mengadakan riset ilmiah dan tugas-tugas khusus. Di antaranya khalifah al-Watsiq memerintahkan kepada al-Khawarizmi untuk mengadakan observasi tentang jasad Ashabul Kahfi yang disebutkan di dalam al-Quran bahwa jasad itu ada di dalam gua dan jasad itu masih baik dan tidak rusak, seakan-akan mereka baru mati. Khalifah Al-Watsiq ingin melihat kebenaran cerita itu yang di informasikan dari al-Quran dan untuk tujuan itu beliau mengutus Al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi datang ke Romawi dan menjumpai para pembesar Romawi. Pembesar Romawi kemudian memerintahkan penunjuk jalan untuk mendampingi menuju gua yang berada di atas puncak gunung kecil. Kemudian Al-Khawarizmi naik ke atas gunung dan melihat langsung jasad Ashabul Kahfi itu. Kemudian kembali ke Khalifah Al-Watsiq dengan berita bahwa, “ Ashabul kahfi mati seperti biasanya, akan tetapi jasad mereka diawetkan dengan balsem dan kapur”.[8]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Zarkali, Eminent Figures dan Personalities, vol. 2, hlm 103, dalam Halima El Ghirari, Pent. Muhammad Akhyar Adnan, Para Pelopor Peradaban Islam, Matan, Sleman, 2005, hlm 6
[2] Lihat, M. Noor Matdawan, Lintasan Sejarah Kebudayaan Islam, Bina Usaha,Yogyakarta, 1987, hlm 84
[3] Lihat,Wahyu Murtiningsih , Para Pendekar Matematika dari Yunani Hingga Persia, Diva Press, Yogyakarta, 2011, hlm 46
[4] Lihat, Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, Diponegoro, Bandung, 1981, hlm 95
[5] Lihat, Philip K Hitty, The Arabs a Short History, N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, Bandung, 1953, hlm 122
[6] lihat, Ibid
[7] Lihat, Ibid, hal 123
[8] lihat, Jamil Ahmad, Seratus Muslim terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2009, hal 157