Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (18): Perang Jamal (7): Epilog

in Tokoh

Last updated on March 16th, 2020 03:34 pm

Aisyah berkata, “Demi Allah! Tidak pernah ada (masalah) apa pun di masa lalu antara aku dan Ali selain dari apa yang biasanya terjadi antara seorang wanita dan menantunya. Menurut pendapatku dia telah menunjukkan dirinya sebagai salah satu orang yang terbaik, terlepas dari kritikku.”

Lukisan ukir karya F. Fikentsher (dibuat sekitar 1894) yang menggambarkan menyerahnya Aisyah dalam Perang Jamal. Foto: Fine Art America

Ketika Perang Jamal usai, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA berdiri di tengah-tengah pasukannya dan berkata, “Janganlah kalian kejar orang-orang yang melarikan diri, jangan pula membunuh orang-orang yang terluka, dan jangan merampas harta kekayaan mereka!

“Barang siapa yang meletakkan senjatanya (menyerah), maka dia selamat. Begitu pula yang mengunci pintu rumahnya, dia pun dalam keadaan selamat!”[1]

Kebijakan Ali yang lainnya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Sari:

Ini adalah sebagian dari pengamalan Ali, yaitu untuk tidak membunuh mereka yang melarikan diri, atau menghabisi yang terluka, atau untuk menggagahi wanita, atau untuk merampas uang.

Maka pada hari itu beberapa orang bertanya, “Apa yang memungkinkan kita untuk membunuh mereka tetapi melarang kita terhadap uang mereka?”

“Mereka yang berperang denganmu sama denganmu,” jawab Ali. “Mereka yang berdamai dengan kita adalah satu dengan kita, dan kita adalah satu dengan mereka, tetapi, bagi mereka yang bersikeras (melawan) sampai mereka diserang oleh kita, aku akan melawan mereka sampai mati. Engkau tidak perlu yang ‘seperlima’ dari mereka.”[2]

Pada hari itulah orang-orang Khawarij[3] mulai kasak-kusuk berbicara di antara mereka sendiri.[4]

Jauh hari setelahnya, Marwan bin Hakam, yang pada waktu Perang Jamal berada di pihak Aisyah RA, berbicara kepada Ali bin Husain (cucu Ali bin Abi Thalib). Imam al-Baihaqi meriwayatkannya:

Ali bin Husain[5] meriwayatkan, bahwa suatu waktu dia pernah bertemu Marwan bin Hakam, yang (setelah membicarakan sesuatu), terakhir dia berbicara kepadanya, “Aku belum pernah melihat orang yang begitu mulia dalam kemenangan seperti ayahmu (maksudnya Ali bin Abi Thalib, orang Arab terkadang biasa menyebut kakek dengan sebutan ayah-pen).

“Kami baru saja mulai melarikan diri dari medan perang Perang Jamal (setelah dikalahkan oleh Ali) ketika salah satu pewartanya berseru, ‘Jangan bunuh siapa pun yang melarikan diri atau siapa pun yang terluka!’.”[6]

Adapun Ammar bin Yasir RA lalu berbicara kepada Aisyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad:

Ketika orang-orang selesai berperang, Ammar bin Yasir berkata kepada Aisyah, “Ummul Mukminin, seberapa jauh perjalanan ini dari perjanjian yang dibuat untukmu?”[7]

“Abu al-Yagzan!” jawabnya.

“Ya?” dia bertanya.

“Demi Allah! Sebagaimana yang selalu aku tahu, engkau adalah orang yang berbicara kebenaran yang termasyhur!”

“Alhamdulillah!” dia menjawab, “Dialah (Allah) yang menilaiku melalui lidahmu.”[8]

Aisyah kemudian dibawa ke Basrah dan sempat tinggal selama beberapa hari di sana. Ada sedikit insiden yang terjadi di sana, beberapa pengikut Ali berlaku kasar kepada Aisyah, dengan mengatakan, “Semoga engkau, Ibu kami, mendapat balasan atas (apa yang engkau perbuat kepada) kami dalam ketidaktaatan!”

Lalu yang lainnya ada yang berkata, “Ibu kami! Bertobatlah, karena engkau telah melakukan kesalahan.”

Ali lalu memerintahkan al-Qaqa untuk menghukum mereka yang berbuat demikian dengan hukuman yang keras. Masing-masing menerima hukuman cambuk sebanyak seratus kali sampai jubah mereka menjadi robek karenanya.[9]

Pada waktunya Ali kemudian memerintahkan Aisyah untuk pulang ke rumahnya di Madinah. Al-Sari meriwayatkan:

Ali membekali Aisyah dengan segala yang dibutuhkannya dalam perjalanan: hewan-hewan tunggangan, perbekalan, dan barang-barang lainnya; dan mempersilakan bersamanya (untuk ikut) orang-orang yang telah berperang di sisinya (Aisyah) dan selamat, kecuali bagi siapapun yang ingin tetap tinggal di sana (Basrah). Dia juga memilih empat puluh wanita Basrah terkemuka untuk mengantarnya.

“Bersiaplah untuk perjalanan, Muhammad!”[10] kata Ali, “dan pastikan dia (Aisyah) tiba (dengan selamat).”

Lalu pada hari dia (Aisyah) hendak berangkat, dia (Ali) datang kepadanya untuk berdiri dan mengucapkan selamat tinggal padanya. Orang-orang juga hadir di sana, dia (Aisyah) menghampiri mereka, dan mereka mengucapkan selamat tinggal padanya dan dia pun kepada mereka.

“Anak-anakku,” katanya, “beberapa dari kita mengkritik yang lain dari kita, mengatakan mereka lambat atau berlebihan (dalam perkara pembunuhan Khalifah Utsman). Tapi jangan biarkan ada di antara kalian yang menentang yang lainnya atas apa pun yang mungkin kalian dengar tentang ini (di kemudian hari).

“Demi Allah! Tidak pernah ada (masalah) apa pun di masa lalu antara aku dan Ali selain dari apa yang biasanya terjadi antara seorang wanita dan menantunya. Menurut pendapatku dia telah menunjukkan dirinya sebagai salah satu orang yang terbaik, terlepas dari kritikku.”

“Demi Allah, wahai orang-orang!” jawab Ali. “Dia telah mengatakan kebenaran dan tidak lain kecuali kebenaran. Hanya itu yang ada di antara kita. Dia adalah istri Nabimu, sekarang dan selamanya!”

Hari dia pergi adalah hari Sabtu 1 Rajab 36 H / 24 Desember 656 M. Ali mengawalnya untuk beberapa kilometer dan kemudian menyerahkan kepada para putranya untuk menemaninya lagi selama sehari.[11]

Setelahnya, Umar bin Shabbah meriwayatkan jumlah orang yang tewas dalam Perang Jamal, “Menurut perhitungan kami, jumlah orang yang tewas dalam Pertempuran Unta melebihi 6.000.”[12]

Sejarawan Khalid Muhammad Khalid menyimpulkan, bahwa mundurnya Talhah dan al-Zubair dari medan pertempuran, padahal mereka adalah orang-orang yang berada di pucuk pimpinan, adalah merupakan suatu bukti bahwa Ali berada di pihak yang benar. Selain itu, di kemudian hari Aisyah juga dilaporkan menyesali keterlibatannya dan tidak pernah mau berurusan kembali terkait urusan kenegaraan.[13] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 537.

[2] Maksud Ali ‘seperlima’ di sini adalah mengacu kepada QS al-Anfal Ayat 41, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil.”

[3] Orang-orang pendukung Ali yang memisahkan diri dari Ali, utamanya setelah peristiwa Perang Siffin.

[4] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 166-167.

[5] Dia memiliki gelar Zainal Abiddin dan as-Sajjad, bagi kalangan Syiah dia dianggap sebagai Imam ke-4.

[6] Baihaqi (Vol 8, hlm 181), diriwayatkan kembali oleh oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 475.

[7] Perkataan Ammar di sini maksudnya adalah mengacu kepada QS al-Ahzab Ayat 33 yang berbunyi, “….dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…,” yang ditujukan kepada para istri Rasulullah.

[8] Al-Ṭabari, Op.Cit., hlm 171-172.

[9] Ibid., hlm 165-166.

[10] Muhammad bin Abu Bakar, adik tiri Aisyah.

[11] Ibid., hlm 170-171.

[12] Ibid., hlm 171.

[13] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 538.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*