Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (17): Perang Jamal (6)

in Tokoh

Last updated on March 15th, 2020 01:16 pm

Ibnu Yathribi, demi melindungi unta Aisyah, membunuh lawan-lawannya dengan gagah perkasa. Dia menantang akan menusukkan tombak ke mulut Ali. Ammar bin Yasir yang sudah sangat tua (90-an), maju untuk melawannya.

Foto ilustrasi: Davidmyers/Pinterest

Pertempuran masih berlangsung dengan sengit. Khalifah Ali bin Abi Thalib RA melihat bahwa pihak lawannya menjadikan Aisyah RA dengan unta yang dikendarainya sebagai simbol dari pasukan mereka. Oleh karena itu Ali berpikir bahwa peperangan dan pertumpahan darah ini tidak akan berakhir selama Aisyah dan untanya berdiri kokoh.

Kemudian atas saran seseorang atau inisiatif dirinya sendiri, Ali memerintahkan agar melepaskan anak panah atau menyerang unta itu dengan pedang agar ia rubuh. Dan diperintahkannya ke beberapa sahabat agar bersiap, jika sampai unta itu rubuh, mereka harus segera melindungi Aisyah dengan segenap jiwa raga mereka dan menahan howdah-nya (tandu bertenda) agar dia tidak cedera.[1]

Di pihak pasukan Aisyah, ada seorang prajurit yang sangat tangguh dan kuat, dia bernama Ibnu Yathribi. Siapapun yang mendekati unta Aisyah, dia tebas dengan pedangnya. Sejauh ini dia telah membunuh tiga orang yang mendekat dan melukai yang lainnya dengan pedangnya, padahal dalam kesehariannya di Basrah dia adalah seorang qadi (hakim). Adalah Ammar bin Yasir RA yang kemudian berani melawannya, padahal saat itu usianya sudah 90-an.

Dikutip dari Tarikh al-Rusul wa al-Muluk karya al-Tabari, Abdullah bin Ahmad meriwayatkan:

(Dia kemudian berkata), “Siapa yang akan maju dan bertarung?!” Ibnu Yathribi menantang. Seseorang maju, tetapi dia membunuhnya. Yang lainnya maju, dan dia membunuhnya juga.

Dia kemudian mengucapkan beberapa syair rajaz:

Aku membunuh mereka, dan aku bisa melihat Ali,

(dengan demikian) jika aku mau, aku bisa menusukkan tombak Umri

ke dalam mulutnya!

Lalu Ammar bin Yasir maju melawannya – dan dia adalah yang terlemah dari orang-orang yang telah maju sebelumnya (maksudnya adalah Ammar usianya sudah sangat tua waktu itu-pen). Ketika Ammar maju, orang itu (Ibnu Yathribi) berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.”

Aku juga mengatakan tentang Ammar tentang kelemahannya, “Demi Allah! Orang ini akan menyusul mereka yang sebelumnya (telah maju dan mati)!”

Dia (Ammar) kurus dan berkaki kecil, dan dia membawa pedang yang ikat pinggangnya terlalu pendek untuknya dan gagangnya dekat dengan ketiaknya. Ibnu Yathribi menebasnya dengan pedangnya, tetapi pedang itu menancap di tameng kulitnya. Ammar lalu menebas dan melukainya. Para sahabat Ali kemudian melempari batu ke arah Ibnu Yathribi dan melukainya dengan parah, dan dia digotong dengan luka yang parah.[2]

Pertempuran kemudian berlangsung terus dengan begitu sengit, Abdullah bin Sinan al-Kahili yang berada di lokasi menggambarkannya:

Pada Hari (Perang) Unta, kami saling menembakkan panah sampai tidak ada lagi yang bisa ditembak, dan kami saling menikam dengan tombak sampai menembus ke dalam dada dan tulang kami. Seandainya kuda-kuda dikondisikan untuk berjalan di atas mereka (mayat), mereka dapat melakukannya.

Lalu Ali berseru, “Gunakanlah pedang, wahai para putra Muhajirun!”

Orang tua itu (kemungkinan maksudnya adalah dia sendiri, Abdullah bin Sinan-pen) berkata, “Aku tidak pernah memasuki Dar al-Walid (sebuah pasar di Kufah-pen) tanpa mengingat hari itu.”[3]

Akhirnya, pasukan Ali berhasil merubuhkan unta Aisyah. Peristiwa selanjutnya digambarkan oleh al-Sari (dalam bentuk tertulis):

Ali memerintahkan sekelompok orang untuk mengangkat howdah keluar dari tumpukan mayat. Al-Qaqa dan Zufar bin al-Harits telah melepaskannya dari bagian belakang unta dan meletakkannya di sisinya. Muhammad bin Abu Bakar[4] kemudian datang ke sana dengan sekelompok orang, dan dia mengangkat (howdah dengan) tangannya.

“Siapa ini?” kata Aisyah.

“Adikmu yang berbakti,” jawabnya.

“Tidak berbakti!”

“Bagaimana perasaanmu terhadap para putramu setelah (mereka) mengalahkanmu hari ini, Ibu?” tanya Ammar bin Yasir.

“Siapa engkau?” tanya Aisyah.

“Putramu yang berbakti, Ammar,” jawabnya.

“Aku bukan ibu kalian!”

“Engkau adalah (ibu kami), meskipun engkau membenci ide itu.”

“Kalian membual bahwa kalian menang dan melakukan apa yang kalian junjung (kebenarannya). Demi Allah! Ini benar-benar salah! Mereka yang melakukan hal semacam ini tidak akan pernah menang.”

Mereka kemudian membawanya keluar bersama howdah-nya dari tumpukan mayat dan menempatkannya jauh dari semua orang. Seolah-olah dari howdah-nya tumbuh semacam parasit, yaitu panah-panah yang menancap di atasnya.

Ayan bin Dubayah al-Mujashii kemudian tiba-tiba datang untuk melihat ke arah dalam howdah, dan dia (Aisyah) berseru, “Menyingkirlah! Allah mengutukmu!”

“Demi Allah!” dia membalas. “Aku bisa melihat humairah kecil!”

“Semoga Allah membuka aibmu! Semoga Dia memotong tanganmu! Semoga Dia mempertontonkan kemaluanmu!”

Dia (kemudian) memang terbunuh di al-Basrah, dan ditelanjangi, tangannya terputus, dan dia dihempaskan dengan telanjang ke salah satu reruntuhan di sudut Azd.

Ali kemudian datang kepadanya dan berkata, “Wahai Ibu! Semoga Allah mengampuni kami dan engkau!”

“Semoga Dia mengampuni kami dan engkau!” jawabnya.[5]

Dalam riwayat versi lainnya, masih dari al-Sari, dialog antara Ali dan Aisyah berlangsung seperti ini:

Ali lalu tiba. “Bagaimana keadaanmu, Ibu?” dia bertanya padanya.

“Baik.”

“Semoga Allah memaafkanmu!” dia berkata.

“Dan juga engkau,” jawabnya.[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 536-537.

[2] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 153-154.

[3] Ibid., hlm 156.

[4] Adik tiri Aisyah dari istri ketiga Abu Bakar yang bernama Asma binti Umais dari Khatham. Ali kemudian menikahi Asma setelah Abu Bakar wafat.

[5] Ibid., hlm 156-157.

[6] Ibid., hlm 157.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*