Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (16): Perang Jamal (5)

in Tokoh

Last updated on March 13th, 2020 03:21 pm

Ketika Ali berbicara dengan Talhah dan al-Zubair, dia mengucapkan sesuatu yang pernah diucapkan Rasulullah. Mendengarnya, al-Zubair membuang pedangnya sambil menangis. Mereka mundur dari pertempuran.

Foto ilustrasi: Time Toast

Ada banyak riwayat yang merekam dialog antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Talhah RA dan al-Zubair RA pada saat Perang Jamal. Ada yang mengatakan dialognya terjadi sebelum pertempuran pecah, namun ada juga yang mengatakan dialog itu terjadi di tengah pertempuran.

Berikut ini adalah salah satu versi dialog yang dituturkan oleh Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk:

Ali meninggalkan al-Zawiyah, untuk menemui Talhah, dan al-Zubair dan Aisyah meninggalkan al-Furdah, untuk menemui Ali, dan mereka semua bertemu di sebuah tempat di kastil Ubaidillah bin Ziyad pada hari Kamis, 14 Jumadil Akhir 36 H / 8 Desember 656 M.

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat,”[1] al-Zubair menunggang kuda, bersenjata lengkap.

“Inilah dia al-Zubair!” Ali diberitahu.

“Jika Allah dipanggil untuk diingat,” kata Ali, “atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?”[2]

Talhah juga maju menunggang kuda. Ali lalu menemui mereka, cukup dekat, sehingga leher kuda mereka saling bersilangan.

“Demi hidupku!” seru Ali.

“Kalian telah menyiapkan senjata dan kuda-kuda dan orang-orang. Jika kalian telah menyiapkan alasan di hadapan Allah maka takutlah kepada Allah, segala puji bagi-Nya!

“‘Dan janganlah kalian seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.’[3]

“Apakah aku bukan saudara seagama bagi kalian berdua? Darahku terlarang bagi kalian dan (darah) kalian terlarang bagiku. Apakah sebuah kejahatan (pembunuhan terhadap Khalifah Utsman RA) yang terjadi membuat kalian dibenarkan untuk membunuhku?”

“Engkau menghasut orang-orang untuk menentang Utsman,” jawab Talhah.

“‘Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).’,”[4] Ali mengutip.

“Engkau, Talhah! Engkau mencari pembalasan atas darah Utsman! Semoga Allah mengutuk para pembunuh Utsman!

“Al-Zubair! Apakah engkau ingat hari ketika engkau melewatiku di wilayah Bani Ghanam dengan Rasulullah dan beliau menatapku dan tertawa dan aku tertawa dengannya, dan engkau berkata, ‘Ibnu Abi Thalib selalu berbangga!’ dan Rasulullah berkata kepadamu, ‘Diamlah! Dia tidak sombong. Percayalah, kalian akan berperang, dan engkau (al-Zubair) yang akan menjadi penyerangnya.’?”

“Ya Allah! Ya aku ingat, dan seandainya aku (sebelumnya telah) mengingatnya aku tidak akan menjadi seperti ini. Demi Allah! Aku tidak akan pernah berperang denganmu!”

Lalu Ali meninggalkan (mereka dan kembali) kepada para pengikutnya dan berkata, “Al-Zubair baru saja berjanji kepada Allah untuk tidak memerangi kalian.”

Al-Zubair kembali ke Aisyah dan berkata kepadanya, “Ini adalah satu-satunya situasi terpenting yang pernah aku alami sejak dapat berpikir, ketika aku tidak tahu apa yang aku lakukan.”

“Apa yang akan engkau lakukan ?” dia (Aisyah) bertanya.

“Aku ingin meninggalkan mereka dan pergi,” jawabnya.

Tetapi putranya, Abdullah, berkata kepadanya, “Engkau telah membawa kedua pasukan ini berhadap-hadapan dan mereka telah mengatur garis pertempuran mereka satu sama lain, dan engkau ingin meninggalkan mereka dan pergi!

“Engkau telah melihat bendera Ibnu Abi Thalib dan menyadari bahwa laki-laki muda yang kuat yang memimpin mereka (maksudnya Abdullah menuduh ayahnya ketakutan dan ingin lari-pen).

“Aku telah bersumpah untuk tidak memeranginya!” jawabnya, dan apa yang dikatakan oleh putranya kepadanya membuatnya marah.

Abdullah berkata, “Batalkan sumpahmu dan perangilah dia!”

Lalu al-Zubair memanggil budaknya yang bernama Makhul dan membebaskannya. Abdurrahman bin Sulaiman al-Taymi kemudian membacakan syair ini:

Aku belum pernah melihat, seperti yang aku lihat hari ini, seorang saudara dari para saudara

lebih mengherankan ketimbang untuk membatalkan sumpahnya

Dengan membebaskan seorang budak, melainkan dalam ketidaktaatan kepada Sang Penyayang.[5]

Salah satu penyair mereka kemudian menambahkan syair ini:

Dia membebaskan Makhul untuk menyelamatkan agamanya

sebagai penebusan kepada Allah untuk sumpahnya,

Pengkhianatan[6] terpancar dari seluruh wajahnya![7]

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa setelah berbicara dengan Ali, al-Zubair melemparkan pedangnya sambil bercucuran air mata. Selain itu, juga dikatakan, apa yang membuat Talhah dan al-Zubair mundur adalah karena mereka teringat sebuah hadis: “Orang yang membunuhmu kelak (Ammar bin Yasir) adalah kaum durhaka.”

Perlu diketahui, dari sejak awal Ammar bin Yasir (RA) dalam peristiwa kali ini berada di pihak Ali.

Mengenai al-Zubair, setelah dia pergi, di tengah jalan dia dihadang oleh gerombolan penjahat, dan mereka berhasil membunuhnya. Kemudian Talhah, begitu Marwan bin Hakam (salah seorang tokoh Bani Umayyah) mengetahui dia hendak meninggalkan pertempuran, segeralah dia melepaskan anak panahnya dan membunuhnya.

Kini, kedua pemimpin pasukan mereka telah gugur, namun pertempuran masih belum berakhir. Mereka masih ingin melanjutkannya, karena Aisyah masih duduk dengan anggun di atas untanya mengamati jalannya pertempuran.[8] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Kutipan QS Asy-Syuara Ayat 61, ketika pengikut Nabi Musa AS berhadapan dengan pasukan Firaun.

[2] Ali mengutip QS Abasa Ayat 4.

[3] Ali mengutip QS An-Nahl Ayat 92.

[4] QS an-Nur Ayat 25

[5] Maksudnya adalah pembatalan sumpah secara benar harus dilakukan dalam ketaatan.

[6] Maksudnya adalah janji al-Zubair terhadap Nabi Muhammad dan Ali.

[7] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 115-117.

[8] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 535-536.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*