Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (15): Perang Jamal (4)

in Tokoh

Last updated on March 12th, 2020 02:07 pm

Seorang pemuda Kufah atas perintah Khalifah Ali membawa Alquran dan menyeru  pasukan Aisyah untuk kembali kepada isi Alquran. Tetapi mereka menebas tangan kanannya. Dia pakai tangan kirinya, ditebas juga. Lalu dia dekap di dadanya. Dia dibunuh. Ali berkata, “Memerangi mereka sekarang dibenarkan.”

Foto ilustrasi: Alkawthar TV

Di Basrah pada malam itu, dua pasukan besar Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Aisyah RA sudah begitu sangat dekat, mereka bermalam di kamp-nya masing-masing. Baik Ali dan Aisyah sama-sama gembira menantikan proses perdamaian yang akan dilaksanakan keesokan paginya.

Tetapi bagaimanapun, kenyataan kadang tidak selalu beriringan dengan harapan. Belum juga fajar tiba, dua ribu orang prajurit yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan RA melancarkan serangan mendadak dan senyap ke pihak Aisyah. Motivasi mereka hanya satu, yaitu jangan sampai perdamaian ini terwujud, sebab, jika itu terjadi, mereka harus menerima hukuman karena telah membunuh Utsman.

Mereka menyerbu tenda-tenda pasukan Aisyah, Talhah, dan al-Zubair serta menebaskan pedang mereka ke leher para prajurit yang sedang tertidur. Pasukan Aisyah pun segera bangkit dari tidurnya dengan menghunus pedang mereka masing-masing dan melakukan perlawanan.

Pihak Aisyah merasa telah ditipu oleh Ali, mereka menyangka bahwa para penyerang ini adalah pasukan Ali. Kesalahpahaman dalam situasi yang berlangsung serba cepat ini tidak dapat diperbaiki lagi, pihak Aisyah menuduh tawaran damai dari Ali hanyalah sekadar tipu muslihat belaka. Tak ayal, mereka pun melakukan serangan balik ke pihak Ali.[1]

Kedua pasukan besar ini berhadap-hadapan. Aisyah sendiri hadir di medan pertempuran, di tengah-tangah pasukannya dia menaiki seekor unta. Untuk alasan inilah, kelak, peristiwa ini disebut dengan Perang Jamal (Perang Unta).[2]

Untuk mencegah agar pertikaian ini tidak berkembang menjadi skala yang lebih besar, Ali masih mengupayakan usaha terakhirnya. Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menuturkan sebuah riwayat dari Ammar bin Muawiyah al-Duhni:

Pada hari Perang Unta, Ali mengambil salinan Alquran dan membawanya ke sahabat-sahabatnya, bertanya, “Siapakah yang berani menghadapi kematian dan membawa salinan Alquran ini untuk menyeru mereka untuk kembali kepada isinya?”

Seorang pemuda Kufah maju mengenakan jubah putih berlapis dan berkata, “Aku akan melakukannya.” Namun Ali mengabaikannya.

Ali bertanya lagi, “Siapakah yang berani menghadapi kematian dan membawa salinan Alquran ini untuk menyeru mereka untuk kembali kepada isinya?”

Sang pemuda berkata, “Aku akan melakukannya.” Tapi Ali mengabaikannya kembali.

Ali bertanya untuk ketiga kalinya, “Siapakah yang berani menghadapi kematian dan membawa salinan Alquran ini untuk menyeru mereka untuk kembali kepada isinya?”

Pemuda itu kembali berkata, “Aku akan melakukannya,” jadilah Ali menyerahkannya kepadanya.

Dia (pemuda itu) lalu menyeru mereka, tetapi mereka menebas tangan kanannya. Kemudian dia mengambilnya dengan tangan kirinya dan menyeru mereka, dan mereka menebasnya juga. Kemudian dia memegangnya ke dadanya, dengan darah yang mengalir ke jubahnya, dan dia dibunuh.

Ali lalu berkata, “Memerangi mereka sekarang dibenarkan.”[3]

Kemudian pecahlah pertempuran, antara satu Muslim dengan yang lainnya, mereka saling bunuh membunuh. Namun kali ini mereka berperang dengan kepedihan, baik Ali, beserta sahabat-sahabat, baik di pihaknya maupun di pihak Aisyah, telah berulang kali memerangi Kaum Musyrikin, tapi kini untuk pertama kalinya mereka berperang melawan saudara sendiri.

Di tengah-tengah pertempuran Ali bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya ribuan Kaum Muslimin ini saling membunuh? Bukankah sebagian dari mereka berperang untuk membela dirinya dan sebagian lagi membela Aisyah, Talhah, dan al-Zubair?

Jika demikian, bukankah sebaiknya para pemuka ini saja yang saling berbicara satu sama lain untuk menyelesaikan persoalan mereka untuk menghentikan aliran darah Kaum Muslimin yang tidak ternilai harganya itu.

Sesudah berpikir demikian, dipacunyalah kudanya ke tengah barisan pasukan yang sedang bertempur, lalu dia berseru, “Hai Talhah, datanglah ke sini, dan hai Zubair datanglah juga ke sini!”

Mendengarnya, lalu keduanya pun setuju untuk mendekati Ali.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 533.

[2] Asma Afsaruddin, “ʿĀʾishah: Wife of Muḥammad”, dalam https://www.britannica.com/biography/Aishah#ref18749, diakses 29 Februari 2020.

[3] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 129-130.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 533-534.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*