Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (14): Perang Jamal (3)

in Tokoh

Last updated on March 11th, 2020 02:35 pm

Utusan Khalifah Ali berkata kepada Aisyah, Talhah, dan al-Zubair, “Tuan-tuan terlalu banyak membunuh. Jumlah orang yang tuan-tuan bunuh sudah mencapai 600 orang, sehingga hal ini menimbulkan kemarahan 6.000 orang-orang.”

Lukisan dari abad ke-16 tentang bertemunya Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah di Basrah. Dari halaman Siyer-i Nebi, epos Turki tentang perjalanan kenabian karya Mustafa. Foto: Topkapi Sarayi Museum Library, Istanbul, Turkey

Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib RA mendengar kabar bahwa Basrah telah diserang oleh Aisyah RA, Talhah RA, dan al-Zubair RA, dia dan rombongannya segera bergegas menuju ke Basrah. Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk meriwayatkan dari al-Sari (dalam bentuk tertulis):

Ali baru saja hendak meninggalkan al-Rabadhah untuk menuju ke Basrah, putra Rifaah bin Rafi mendatanginya dan bertanya, “Amirul Mukminin! Apa tujuanmu, dan ke mana engkau akan membawa kami?”

“Tujuan dan niat kami,” jawab Ali, “adalah islah (perdamaian)— Jika mereka mengakui hak kami dan menerimanya dari kami.”

“Dan jika mereka tidak menerima itu dari kita?” dia bertanya.

“Jika demikian,” jawab Ali, “kita akan meninggalkan mereka dengan pembenaran mereka, kita akan memberi mereka hak untuk memilikinya, dan kita akan bersabar.”

“Dan jika mereka tidak puas (dengan itu)?”

“Kita akan meninggalkan mereka sendirian selama mereka juga meninggalkan kita sendiri.”

“Dan jika mereka tidak meninggalkan kita sendirian?”

“Kita akan membela diri melawan mereka.”

“Ini adalah sikap yang baik,” kata putra Rifaah.[1]

Sesampainya di Kufah, Ali telah mendapatkan dukungan penuh berkat penjelasan dari utusannya yang telah datang terlebih dahulu untuk menyampaikan maksud dan tujuan Ali ke Kufah. Fuad Jabali, dalam bukunya The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments, menjelaskan, bahwa keberpihakkan orang-orang ke Ali, selain karena persoalan keagamaan, juga karena mereka melihat figur tertentu yang berada di pihak Ali, dalam hal ini adalah Ammar bin Yasir RA.[2]

Seperti pernah disampaikan dalam artikel sebelumnya, Rasulullah SAW pernah bernubuat tentang Ammar. Ini terjadi ketika Ammar masih di Makkah dan sedang mengalami penyiksaan dari Bani Makhzum. Diriwayatkan oleh Amr bin Maimun, waktu itu kaum Musyirikin sedang menyalakan api untuk membakar Ammar, Rasulullah sedang melintas.

Meletakkan tangannya di atas kepala Ammar, Rasulullah berkata, “Wahai api! Jadilah sejuk dan nyaman bagi Ammar seperti yang engkau lakukan untuk Ibrahim.” Rasulullah kemudian memberi tahu Ammar bahwa (dia tidak akan mati karena penyiksaan ini, tetapi) sekelompok pemberontak akan membuatnya mati syahid.[3]

Selain itu ada juga pernyataan dari Hudzaifah bin al-Yaman RA, pemilik rahasia Nabi tentang orang-orang munafik. Hudzaifah yang sedang berada di Kufah, meninggal terlebih dahulu ketika berita tentang kematian Utsman sampai ke sana.[4]

Ketika sedang di pembaringan menghadapi kematiannya, sahabat-sahabatnya yang sedang menungguinya bertanya, “Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara umat?”

Hudzaifah lalu menjawab, “Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah (nama Ammar bin Yasir diambil dari sisi ibunya), karena sampai matinya dia tak hendak berpisah dengan kebenaran.”[5]

Sekarang mari kita lanjutkan kisahnya. Dari Kufah, Ali kemudian mengutus Qaqa bin Amr untuk menemui Aisyah, Talhah, dan al-Zubair dengan membawa setandan buah Zaitun.

Sesampainya Qaqa di Basrah, sejarawan Ibnu Katsir meriwayatkan dialog yang terjadi di antara mereka:

“Ummul Mukminin, apa maksud kedatanganmu ke Basrah ini?” tanya Qaqa.

“Untuk mencari perdamaian di antara manusia,” jawab Sayidah Aisyah.

“Dan kalian berdua, Talhah dan Zubair, apa pula maksud kalian datang ke sini?” tanya Qaqa kembali.

“Juga demi perdamaian di antara Kaum Muslimin!”

“Dapatkah Ibunda (Aisyah) dan kalian berdua mengemukakan bagaimana perdamaian yang bunda dan kalian kehendaki itu?”

“Dengan menuntut balas kematian Utsman dan membunuh si pembunuhnya!” jawab mereka.

“Sebenarnya tuan-tuan akan berhasil membunuh para pembunuhnya di antara warga Basrah ini, tetapi tuan-tuan lebih berada di jalan yang benar sebelum membunuh daripada sesudahnya. Tuan-tuan terlalu banyak membunuh.

“Jumlah orang yang tuan-tuan bunuh sudah mencapai 600 orang, sehingga hal ini menimbulkan kemarahan 6.000 orang-orang. Tuan-tuan mencari seorang pembunuh, yaitu Harqus bin Zuhair, akan tetapi tuan-tuan tidak dapat menemukannya karena ada 6.000 orang yang berpihak kepadanya dan melindunginya.

“Tak dapatkah bunda dan kalian memberi kesempatan kepada Amirul Mukminin Ali untuk menunda pembunuhan terhadap orang yang membunuh Utsman sampai keadaan memungkinkan? Saat ini pendapat di seluruh penjuru negeri Islam berbeda-beda.

“Sementara itu kelompok besar yang terdiri dari suku Rabiyah dan Mudhar telah berhimpun pula untuk menyalakan api peperangan yang dahsyat!”

“Lalu bagaimana pendapatmu hai Qaqa?”

“Bunda, kami berpendapat sebaiknya bunda dan kalian berdua lebih mengutamakan keselamatan dan memberikan baiat kepada Amirul Mukminin. Dan hendaknya tuan-tuan menjadi kunci kebaikan sebagaimana halnya tuan-tuan di masa lalu. Janganlah tuan-tuan membawa kami kepada bencana yang juga akan menyeret bunda dan tuan-tuan sendiri.”

Pembicaraan berakhir sampai di sini, dan Aisyah, Talhah, dan al-Zubair dapat diyakinkan untuk perdamaian. Mereka lalu sepakat agar Ali datang ke Basrah agar persetujuan damai itu dapat terwujud dengan sempurna.

Besok harinya, Ali bersama rombongan berangkat ke Basrah. Namun ketika kedua belah pihak sedang mempersiapkan perjanjian damai, ada pihak lain, dengan ribuan pasukannya yang sedang mengintai secara tersembunyi, mereka tengah bersiap-siap melakukan penyerbuan.[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 83.

[2] Fu’ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments (Brill, 2003), hlm 160.

[3] Abu Abdullah Muhammad bin Sa‘d bin Mani al-Basri al-Hasyimi katib al-Waqidi (Ibnu Sa’d), Kitab at-Tabaqat al-Kabir (Vol 3, hlm 177), dikutip dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 302.

[4] Ibid., hlm 158.

[5] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 256-257.

[6] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 530-533.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*