Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (13): Perang Jamal (2): Sikap Ammar

in Tokoh

Last updated on December 17th, 2020 12:09 pm

Mendengar tentang pembunuhan terhadap Khalifah Utsman, Aisyah berkata, “Demi Allah! Utsman telah dibunuh dengan tidak adil, dan aku akan membalas atas darahnya!”

Lukisan yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA sedang membebaskan seorang budak. Dari halaman Siyer-i Nebi, pelukis dan tanggal pembuatan tidak diketahui. Foto: Public Domain

Lalu apakah yang mendorong Aisyah RA untuk menggalang pasukan di Makkah lalu menuju ke Basrah, Irak? Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menuturkannya dalam sebuah riwayat. Diriwayatkan dari Ali bin Ahmad bin al-Hasan al-Ijli (dalam bentuk tulisan):

Ketika Aisyah tiba di Syarif dalam perjalanan kembali dari mengunjungi Makkah, Ubaid bin Umm Kilab[1] menemuinya. Dia adalah Ubaid bin Abi Salamah tetapi dinamai berdasarkan nama ibunya.

“Ada apa?” Aisyah bertanya kepadanya.

“Mereka membunuh Utsman dan kemudian tidak melakukan apa pun selama delapan malam.”

“Apa yang mereka lakukan setelahnya?” dia bertanya.

“Orang-orang Madinah menangani persoalan ini dengan konsensus, dan persoalan diselesaikan dengan sangat baik menurut mereka. Mereka sepakat Ali bin Abi Thalib (menjadi khalifah).”

“Demi Allah!” jawabnya. “Apakah langit akan terbalik jika perintah diputuskan demi menyenangkan pemimpinmu! Bawa aku kembali! Bawa aku kembali!”[2]

Jadilah dia kembali ke Makkah, berkata, “Demi Allah! Utsman telah dibunuh dengan tidak adil,[3] dan aku akan membalas atas darahnya!”

Ibnu Umm Kilab berkata kepadanya, “Bagaimana bisa? Demi Allah! Engkau adalah orang pertama yang mendorong pisau agar mengarah ke Utsman dan berkata ‘Bunuh Nathal[4], karena dia telah menjadi orang kafir!’.”

“Mereka memintanya untuk bertobat,” jawabnya, “dan kemudian mereka membunuhnya. Aku mengatakan banyak hal, dan mereka mengatakan banyak hal, tetapi pernyataan terakhirku lebih baik daripada yang sebelumnya.”[5]

Berdasarkan riwayat di atas, jadi inilah yang mendorong Aisyah, beserta Talhah RA dan al-Zubair RA, menggalang pasukan menuju ke Basrah, yakni untuk menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan RA.

Sejarawan Khalid Muhammad Khalid kemudian mengelaborasinya lebih jauh. Dituturkannya, Ali bin Abi Thalib RA yang baru pergi dari Madinah menuju ke Irak untuk menyelesaikan urusan kenegaraan yang berkenaan dengan Muawiyah bin Abu Sofyan RA (akan diceritakan kemudian), mendengar berita tentang pergerakan Aisyah, Talhah, dan al-Zubair.

Ali berpikir, tidak dapatkah persoalan tentang pembunuhan Ustman ini diserahkan saja kepada pemerintah yang sah, yang nanti akan menuntut qishahs yang setimpal kepada para pelaku, yakni pada waktu yang tepat?

Desas-desus yang beredar mengatakan bahwa Aisyah, Talhah, dan al-Zubair menuju ke Basrah untuk mengejar para pembunuh Ustman di wilayah tersebut, dan mereka meminta bantuan para tokoh serta sebagian penduduk Irak yang turut menyesalkan terjadinya pembunuhan tersebut.

Ali mengkhawatirkan, bahwa pergerakkan mereka justru akan memperkeruh keadaaan, sebab bisa saja sebagian orang-orang di Basrah akan melakukan perlawanan sehingga terjadi bentrokan bersenjata. Semua itu menjadi pemikiran Khalifah Ali, maka dia memutuskan membelokkan rombongannya untuk menuju ke Basrah juga.

Dan benar saja, belum juga Ali tiba di Basrah, dia mendapatkan kabar, bahwa Aisyah dan kawan-kawan telah melakukan pertempuran dengan penduduk Basrah. Penduduk Basrah enggan menyerahkan keluarga mereka yang terlibat dalam pemberontakkan terhadap Ustman dan melakukan perlawanan.[6]

Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Ali kemudian mengutus utusannya ke Kufah untuk meminta bantuan kepada orang-orang di sana. Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa utusan tersebut adalah Ammar bin Yasir RA dan Hasan bin Ali RA. Dengan demikian, berangkatlah mereka berdua ke Kufah.

Pada titik ini, situasi menjadi semakin tidak terkendali, ada banyak orang yang mulai berbicara buruk tentang Aisyah, namun Ammar justru menunjukkan pembelaannya terhadap Aisyah. Sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa riwayat di bawah ini:

Amr bin Ghalib meriwayatkan, ketika Ammar bin Yasir mendengar seseorang berbicara buruk tentang Ummul Muminin Aisyah RA, dia berkata, “Diamlah! Semoga engkau tetap dirampas kebaikannya dan terhina! Aku bersaksi bahwa dia pasti akan menjadi istri Rasulullah di Jannah.”[7]

Riwayat lain menambahkan bahwa Ammar berkata kepada orang itu, “Pergilah! Semoga engkau dirampas semua kebaikannya! Apakah engkau menghina orang kecintaan Rasulullah?”[8]

Suatu waktu Ammar pernah berkata, “Ibunda kami, Aisyah, memiliki pendapatnya sendiri. Kami tahu dengan pasti bahwa dia adalah istri Rasulullah baik di Dunia ini dan juga di Akhirat, tetapi Allah menggunakannya untuk menguji apakah Dia (Allah) yang kami patuhi atau dia (Aisyah).”[9]

Abu Wail meriwayatkan, ketika Ali mengutus Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali ke Kufah untuk mengajak orang-orang untuk berperang, Ammar berbicara kepada orang-orang itu, mengatakan, “Aku tahu betul bahwa dia (Aisyah) adalah istri Rasulullah di Dunia ini dan begitu pula berikutnya (di Akhirat), tetapi Allah menggunakan dia untuk menguji apakah Dia (Allah) yang kita taati atau dia (Aisyah).”[10] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Dia berasal dari Bani Laith dan masih memiliki hubungan saudara dengan Aisyah dari sisi ibu. – Keterangan dari Adrian Brockett.

[2] Maksudnya kembali ke Makkah, karena di sana masih banyak orang yang sedang berhaji, sehingga dia bisa mendapatkan banyak dukungan. – Keterangan dari Adrian Brockett.

[3] Aisyah mengacu kepada QS al-Isra ayat 33 yang berbunyi, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” – Keterangan dari Adrian Brockett.

[4] Nama hinaan untuk Ustman, artinya adalah “Hyena”.

[5] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 52-53.

[6] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 525-529.

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, dikutip dalam Ali bin Abdul Malik al-Hindi, Kanzul Ummal (Vol 7, hlm 116), dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 477.

[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Ibid.

[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Abu Yala, dikutip dalam Ali bin Abdul Malik al-Hindi, Kanzul Ummal (Vol 7, hlm 116), dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Ibid.

[10] Diriwayatkan oleh Baihaqi (Vol 8, hlm 174), dalam Bukhari, dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*