Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (12): Perang Jamal (1)

in Tokoh

Last updated on March 7th, 2020 01:11 pm

Pasca wafatnya Khalifah Utsman, Talhah dan al-Zubair berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka berdua lalu pergi ke Makkah menemui Aisyah. Tak lama kemudian, mereka bertiga menggalang pasukan besar. Ali bertanya-tanya.

Foto ilustrasi: alkawthartv

Selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW, benih-benih perpecahan di dalam tubuh umat Islam mulai berkembang. Ada sejarawan yang berpendapat bahwa perpecahan ini murni karena persoalan sosial dan politik pragmatis semata, tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa perpecahan tersebut didasari oleh pandangan keagamaan dan spiritualitas.

Beberapa kalangan ada yang menolak untuk membahas tentang hal ini, alasannya adalah karena gambaran tentang para sahabat Nabi adalah sesuatu yang terlalu sakral. Para sahabat di masa Nabi masih hidup, dianggap sebagai kelompok masyarakat terbaik yang pernah ada dalam sejarah Islam.

Namun sejarah adalah sejarah, apapun itu, memang telah terjadi, dan sudah terlalu banyak riwayat-riwayat dari para sejarawan Muslim yang menggambarkannya, bahwa masyarakat Islam memang terpecah-pecah pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Fuad Jabali, dalam bukunya yang berjudul The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments, menjelaskan, bahwa perbedaan di antara para sahabat Nabi paling tampak ketika terjadinya Perang Jamal (atau biasa disebut Perang Unta) dan Perang Siffin.[1]

Adapun tujuan dituliskannya artikel ini bukan untuk membentur-benturkan atau memecah belah umat Islam untuk saat, melainkan semata-mata agar kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah. Sebagaimana diungkapkan di atas, bagaimanapun, para sahabat adalah generasi terbaik dari masyarakat Islam, dan masing-masing dari mereka tentunya memiliki pandangan-pandangan tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan.

Seri artikel ini adalah tentang kisah hidup Ammar bin Yasir RA, salah satu sahabat Nabi, pun dia juga memiliki sikap dan keberpihakkan ketika terjadi turbulensi di dalam umat Islam yang disebut dengan masa “Fitnah Pertama” oleh banyak sejarawan. Namun sebelum masuk ke sana, agar tidak lepas dari konteks, mestilah digambarkan terlebih dahulu latar belakang yang terjadi pada masa itu.

Pada kesempatan ini kita akan membahas terlebih dahulu tentang Perang Jamal dan latar belakang yang mendorong terjadinya peristiwa tersebut. Perang Jamal adalah perang antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib RA beserta para pendukungnya dengan kubu Aisyah RA yang utamanya didukung oleh Talhah RA dan al-Zubair RA.[2]

Aisyah adalah putri dari Abu Bakar RA, khalifah pertama pemerintahan Islam, selain itu dia juga istri Nabi yang ketiga. Ketika Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 M, Aisyah masih sangat muda, berusia sekitar 18 tahun, meskipun beberapa sumber lain menyebutkan bahwa dia lebih tua dari itu.

Semenjak wafatnya Nabi, Aisyah sama sekali tidak aktif dalam dunia perpolitikkan Islam, hingga sampai naiknya Utsman bin Affan RA, khalifah ketiga, barulah dia memainkan peran penting sebagai penggerak kelompok oposisi terhadap pemerintahan Utsman.[3]

Meski demikian, ketika mendengar berita wafatnya Utsman oleh pemberontak pada tahun 656 M di Madinah, Aisyah yang pada waktu itu sedang pergi ke Makkah untuk melakukan Umrah, amat murka dan naik darah.[4]

Adapun Talhah dan al-Zubair, yang sebelumnya telah menyatakan kesetiaan terhadap Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, sebagaimana diriwayatkan di bawah ini:

Diriwayatkan dari Jafar bin Abdallah al-Muhammadi, dari Amr dan Ali, dari Husain, dari ayahnya, dari Abu Maimunah, dari Abu Bashir al-Abidi,  “Aku berada di Madinah ketika Utsman terbunuh. Muhajirin dan Anshar berkumpul, di antara mereka Talhah dan al-Zubair, dan mereka datang ke Ali dan berkata, ‘Abu Hasan (panggilan Ali), izinkan kami memberimu baiat.’.

“Dia (Ali) berkata, ‘Aku tidak perlu menjadi khalifah. Bagaimanapun aku tetap bersama kalian, dan siapa pun yang kalian pilih aku akan menerima. Jadi, tentukan saja pilihanmu.’.

“Mereka menjawab, ‘Kami tidak akan memilih siapa pun selain engkau.’.[5]

Setelah berbaiat kepada Ali, selang beberapa waktu mereka berdua, atas izin Ali, pergi meninggalkan Madinah menuju ke Makkah, bertepatan dengan masa Umrah yang sedang dilakukan oleh Aisyah.

Tidak beberapa lama kemudian, Ali sebagai khalifah baru, yang sedang melakukan perjalanan ke Irak untuk suatu urusan (akan diceritakan kemudian), mendengar sebuah berita, bahwa mereka bertiga, Aisyah, Talhah, dan al-Zubair tengah menggalang kekuatan pasukan besar dan melakukan perjalanan menuju ke Basrah, Irak.

Khalifah Ali bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan semua ini? Apa yang hendak mereka lakukan? Bencana apa yang akan datang? Padahal dia juga tengah menghadapi persoalan lain yang lebih ruwet yang dibebankan kepadanya setelah diangkat menjadi khalifah.[6] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Fu’ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments (Brill, 2003), hlm 1-2.

[2] Encyclopaedia Britannica, “Fitnah”, dalam https://www.britannica.com/topic/fitnah, diakses 25 Juli 2019.

[3] Asma Afsaruddin, “ʿĀʾishah: Wife of Muḥammad”, dalam https://www.britannica.com/biography/Aishah#ref18749, diakses 29 Februari 2020.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 525.

[5] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 2-3.

[6] Khalid Muhammad Khalid, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*