Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (11): Turbulensi Besar

in Tokoh

Last updated on February 29th, 2020 02:38 pm

Pasca wafatnya Khalifah Utsman bin Affan RA, umat Islam menjadi terbelah ke dalam faksi-faksi politik. Hampir seluruh riwayat yang menceritakan kisah hidup para sahabat Nabi SAW yang berusia panjang, mau tidak mau akan tersangkut paut dengan hal ini.

Foto ilustrasi: Lukisan karya Igor Sava. Sumber: Image a Nation

Setelah sekian lama menjadi Gubernur Kufah, Ammar bin Yasir RA akhirnya diberhentikan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA. Dalam berbagai catatan sejarah, tidak ada yang menjelaskan kenapa dia diberhentikan. Bahkan jika kita misalnya pun berasumsi buruk, bisa saja dia diberhentikan karena perilakunya yang kurang baik, namun juga tidak ditemukan catatan tentang hal yang seperti demikian.

Ammar tidak menerima suap, tidak melakukan perzinahan, tidak meminum khamr, tidakmelakukan nepotisme, dan tidak melakukan pelanggaran hukum maupun regulasi. Ammar jelas-jelas terlalu bijaksana dan berhati-hati untuk melakukan hal-hal seperti itu, dan tidak ada dari tindakan seperti ini yang dianggap berasal dari dirinya.

Umar mungkin memiliki suatu alasan tertentu untuk memberhentikan Ammar. Apapun itu, Umar akhirnya memanggil Ammar ke Madinah setelah diberhentikan. Umar bertanya kepada Ammar, “Apakah engkau merasa tidak senang karena aku telah memberhentikanmu dari jabatan?”

Ammar menjawab, “Faktanya adalah bahwa aku tidak menyukai baik pengangkatan maupun pemberhentianku.”

Setelah lepas dari jabatannya, Ammar mendedikasikan hidupnya untuk beribadah dan melakukan berbagai kebaikan. Dia sibuk membimbing dan mendidik orang-orang berdasarkan kebaikan dan kebenaran sampai saat terjadinya turbulensi besar bagi umat Islam di akhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan RA.[1]

Turbulensi Besar

Pada tahun 644 M/24 H, Umar bin Khattab tewas dibunuh oleh Abu Lukluk, mantan tentara Persia yang menetap di Madinah. Umar lalu digantikan oleh Utsman, dan dengan demikian dia menjadi khalifah ke-3 dalam pemerintahan Islam pada waktu itu.

Al-Tabari, seorang sejarawan Islam, dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah para Nabi dan Raja) menggambarkan bahwa dari sejak awal kenaikannya menjadi khalifah, Utsman telah mewarisi pemerintahan yang kacau akibat terlalu luasnya wilayah kekuasaan Islam.

Karena saking luasnya – yang mencakup wilayah Irak, Iran, Azerbaijan, Armenia, Georgia, Suriah, Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, dan sebagian dari Afghanistan, Turkmenistan, dan Pakistan Barat Daya pada hari ini – maka kontrol pemerintah pusat di Madinah terhadap daerah menjadi lemah.

Para pemimpin suku-suku di daerah enggan menerima otoritas pemerintah pusat dalam bentuk apapun. Di sisi lain, banyak juga sahabat-sahabat Nabi yang terlibat dalam persaingan memperebutkan pengaruh satu sama lain. Lalu dari Mesir dan Irak, muncul gerakan pemberontakan untuk melawan pemerintah pusat.

Puncak dari segala krisis internal ini terjadi pada tahun 656 M/35 H ketika Utsman tewas dibunuh oleh kaum pemberontak. Banyak sejarawan yang keheranan, karena Utsman, di tengah situasi krisis, masih mampu untuk menjadi khalifah selama 12 tahun lamanya.[2]

Pasca wafatnya Utsman, umat Islam menjadi terbelah ke dalam faksi-faksi politik. Rakyat jelata juga dibuat kebingungan, mesti ke mana mereka berpihak? Karena faksi-faksi ini terdiri dari sesama Muslim, dan bahkan masih dari golongan sahabat atau keluarga Nabi. Ali bin Abi Thalib RA, seorang sahabat, keponakan, sekaligus menantu Nabi,  didorong oleh Kaum Muhajirin dan Ansar, akhirnya naik menjadi khalifah ke-4 menggantikan Ustman.[3]

Akan tetapi, itu semua baru permulaan, peristiwa-peristiwa yang terjadi selanjutnya di masa kepemimpinan Ali adalah bencana yang lebih besar. Beberapa faksi lainnya menentang kepemimpinan Ali, bahkan sampai pada tahap angkat senjata. Beberapa sejarawan menyebutnya dengan “Masa Fitnah Pertama” di dalam Islam.

Masih pada tahun yang sama pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, Aisyah binti Abu Bakar RA, istri ketiga Nabi Muhammad SAW, bersama Talhah dan al-Zubair mengobarkan perang terhadap Ali dalam sebuah perang yang disebut dengan Perang Basra di Irak, atau ada juga yang menyebutnya Perang Unta.[4]

Perlu ditegaskan, hampir seluruh riwayat yang menceritakan kisah hidup para sahabat Nabi SAW yang berusia panjang, mau tidak mau akan tersangkut paut dengan perpecahan yang terjadi di dalam tubuh umat Islam. Ammar sendiri, pada waktunya akan menentukan sikap, apa yang hendak dia lakukan di tengah kekacauan besar ini? Sementara dia sendiri sudah tidak semuda dan sekuat dulu lagi. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Sadruddin Sharafuddin al-Amili, Ammar Ibn Yasir (ra) – A Companion of the Prophet (‘s), (Islamic Seminary Publications, Lebanon), e-book version, chapter 12.

[2] Lihat Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 15, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh R. Stephen Humphreys (State University of New York Press: New York, 1990).

[3] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 2-3.

[4] Encyclopaedia Britannica, “Fitnah”, dalam https://www.britannica.com/topic/fitnah, diakses 25 Juli 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*