Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (10): Gubernur Kufah (2)

in Tokoh

Last updated on February 27th, 2020 01:10 pm

Setelah menjadi gubernur, suatu hari Ammar belanja di pasar. Seseorang mencelanya, “Hai, yang telinganya terpotong!” Ammar menjawab, “Yang engkau cela itu adalah telingaku yang terbaik. Karena ia ditimpa kecelakaan sewaktu perang fi sabilillah.”

Foto ilustrasi: Lukisan karya Eugene Pavy. Sumber: Ocean’s Bridge

Demikianlah, akhirnya Ammar bin Yasir RA ditunjuk untuk menjadi Gubernur Kufah oleh Umar bin Khattab RA. Sebagaimana diriwayatkan oleh Haritsah bin Mudharib, Umar mengirim surat kepada penduduk Kufah yang isinya sebagai berikut ini:

Aku telah mengirim Ammar bin Yasir sebagai Amir dan Abdullah bin Masud sebagai guru dan menteri kalian. Mereka berdua adalah orang pilihan di antara para sahabat Rasulullah SAW dan (juga) veteran (Perang) Badar. Belajarlah dari mereka dan ikutilah teladan dari mereka.

Dengan mengirimkan Abdullah kepada kalian, aku sebenarnya telah mengorbankan kebutuhanku sendiri darinya (maksudnya Umar sebenarnya membutuhkan tenaga Abdullah bin Masud, tetapi demi rakyat Kufah dia merelakannya untuk pergi ke sana). Aku juga mengirim Utsman bin Hunaif untuk mensurvei daerah pedesaan di Irak.  

Aku telah menetapkan bahwa upah mereka haruslah seekor kambing dalam setiap harinya. Setengah dari kambing itu dan jeroannya harus diberikan kepada Ammar (karena sebagai Amir, dia akan sering menerima tamu untuk dijamu) dan separuh lainnya harus dibagi antara tiga orang lainnya (yaitu Abdullah bin Masud, Utsman bin Hunaif, dan Hudzaifah bin al-Yaman, yang dikirim sebagai asisten surveyor).[1]

Berangkatlah Ammar bersama orang-orang yang disebutkan di dalam surat. Di Kufah dia telah menjadi pejabat resmi pemerintahan Islam, namun ketika setelah menyelesaikan tugas-tugasnya, dalam kesehariannya dia menanggalkan semua atribut resminya sebagai pejabat, dia kembali menjadi orang yang sama seperti dahulu, yang pendiam, tenang, dan bertafakur.

Dia tidak menunjukkan kesombongan ataupun keunggulan di atas orang lain. Dia tidak memiliki pengawal, dan juga tidak memiliki rumah khusus dan pelayan-pelayan rumah tangga. Dia hidup di antara rakyat sebagai orang biasa, atau bahkan di bawah orang biasa. Karena penampilannya, banyak juga orang yang menghina atau merendahkannya tetapi dia tidak menunjukkan kemarahan.

Ketika sedang belanja kebutuhan harian, kadang-kadang dia dibodohi untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga sebenarnya, dia bukannya tidak tahu, namun dia tidak ingin memanfaatkan posisi dan kekuasaannya sebagai gubernur untuk menekan orang lain. Kadang-kadang orang-orang berbicara dengan kasar kepadanya, tetapi dia menjawab mereka hanya dengan senyuman.

Ketika dia berbicara dia tidak mengatakan sesuatu yang sia-sia atau tidak masuk akal, dan jika seseorang melakukan kesalahan terhadapnya, dia malah mendoakan dan meminta pengampunan untuknya dari Allah, dan juga mengharapkan kesejahteraan untuknya.[2]

Ibnu Saad, penulis Kitab at-Tabaqat al-Kabir, menceritakan kisah berikut ini tentang Ammar:

Suatu hari, Ammar membeli pakan ternak seharga satu dirham dari seseorang dan memintanya untuk memberikan tali (tambahan) untuk pakan ternak yang sudah diikat, tetapi penjual itu menolak untuk memberikan talinya.

Ammar menarik talinya dan memotongnya menjadi dua bagian. Kemudian dia mengikat makanan ternak itu dengan tali yang sama dan, sebagai Gubernur Kufah, dia meletakkannya di bahunya dan berangkat ke tempatnya.

Ibnu Saad melanjutkan kisah lainnya:

Ammar mengirim salah satu anggota suku Attar dan Tamimi ke pembukaan Mah dalam ekspedisi militer. Belakangan menjadi penting bahwa sebuah surat harus dikirim kepadanya. Dia menulis surat itu dan mengantarkannya secara pribadi untuk menyerahkannya kepada orang yang dimaksud.

Ketika orang itu melihat bahwa Ammar datang secara pribadi untuk mengantarkan surat itu, dia menjadi jengkel, karena dia tahu bahwa dengan membawa surat itu di medan perang, Ammar menjadi berhak untuk mendapat jatah barang rampasan yang mungkin didapat.

Dia menerima Ammar dengan dingin dan berkata dengan sangat lancang, “Engkau dengan kuping yang terpotong! Apakah engkau datang untuk mendapatkan barang rampasan kami?”

Ammar, yang merupakan Gubernur dan Penguasa Irak, tertawa mendengar kata-kata ini dan berkata, “Engkau telah menghina telingaku yang terbaik.” Dengan (mengatakan) telinga yang terbaik ini, maksud Ammar adalah telinga yang sama yang terpotong dalam Perang Yamamah.

Singkat cerita, pertempuran itu berakhir dengan kemenangan, tetapi orang Tamimi itu menolak untuk mengizinkan Ammar mendapat jatah rampasan perang. Masalah itu kemudian dirujuk ke Khalifah (Umar) yang memutuskan bahwa Ammar harus mendapatkan bagian dari rampasan sesuai dengan aturan: “Siapa pun yang berada di medan perang, mendapat bagian dari rampasan!”[3]

Dalam riwayat versi lainnya, Ibnu Abil Hudzail mengisahkan:

Aku melihat Ammar bin Yasir sewaktu menjadi Amir di Kufah membeli sayuran di pasar lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, dan membawanya pulang.

Dan salah seorang awam berkata kepadanya sewaktu dia menjadi Amir di Kufah itu, “Hai, yang telinganya terpotong!” menghinanya dengan telinganya yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad dalam Pertempuran Yamamah.

Tetapi jawaban dari Amir yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari, “Yang engkau cela itu adalah telingaku yang terbaik. Karena ia ditimpa kecelakaan sewaktu perang fi sabilillah.”[4]

Dengan semua perilaku dan kelembutan yang begitu baik ini, Ammar adalah seorang bijaksana dengan karakter determinan, dan pada saat yang sama memiliki martabat, dipatuhi, serta dicintai. Setelah berakhirnya masa kepemimpinan Ammar di Kufah, tidak ada satupun penggantinya yang dapat menyamai reputasinya. Karena memang demikian, dia adalah orang yang bijaksana dan saleh yang senantiasa membatasi dirinya dalam peraturan dan regulasi, dan tidak menambahkan apa pun demi keuntungannya sendiri.[5] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Dalam riwayat karya terjemahan lainnya, “Amir” diterjemahkan menjadi “Gubernur”. Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Saad, Hakim, dan Mansur, sebagaimana dikutip dalam Ali bin Abdul Malik al-Hindi, Kanzul Ummal (Vol 2, hlm 314), dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 94.

[2] Sadruddin Sharafuddin al-Amili, Ammar Ibn Yasir (ra) – A Companion of the Prophet (‘s), (Islamic Seminary Publications, Lebanon), e-book version, chapter 12.

[3] Diriwayatkan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Sa‘d bin Mani al-Basri al-Hasyimi katib al-Waqidi (Ibnu Sa’d), Kitab at-Tabaqat al-Kabir, dikutip kembali oleh Sadruddin Sharafuddin al-Amili, Ibid.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 255.

[5] Sadruddin Sharafuddin al-Amili, Loc.Cit.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*