Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (9): Gubernur Kufah (1)

in Tokoh

Last updated on February 24th, 2020 02:49 pm

Umar bin Khattab berkata, “Telah menjadi keputusan kami bahwa orang yang menuntut jabatan ini tidak akan diperkenankan dan diberi kesempatan.”

Foto ilustrasi: Tidak diketahui/Google

Setelah wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, Umar bin Khattab RA menggantikannya sebagai khalifah umat Islam. Salah satu hal yang menurutnya paling harus diperhatikan pada masa awal kepemimpinannya adalah pemilihan pejabat pemerintahan.

Dia memilih mereka secara cermat dan hati-hati karena dia menganggap bahwa dirinya bertanggung jawab terhadap segala kesalahan yang dilakukan oleh gubernur atau pejabat lainnya.

Di antara sekian banyak persyaratan ketat yang Umar ajukan, dia juga mengutip sabda Rasulullah SAW sebagai bahan referensinya yang berbunyi, “Demi Allah, sesungguhnya kami tak akan menyerahkan jabatan ini kepada orang yang meminta atau menginginkannya.”

Inilah langkah pertama yang dilakukan Umar dalam memilih para pembantunya, yaitu menyingkirkan setiap orang yang berambisi dan menginginkan sebuah jabatan.

Pada suatu ketika, Umar memang berencana menunjuk salah seorang sahabatnya untuk menjadi salah satu gubernur di suatu daerah. Seandainya orang itu dapat bersabar sedikit saja, tentunya dia akan dipanggil oleh Umar untuk mengisi posisi tersebut. Sayangnya dia kurang sabar.

Orang itu menemui Umar, meminta kepadanya agar diangkat menjadi gubernur. Ketika mendengarnya Umar hanya tersenyum, lalu berkata kepadanya, “Memang kami telah mempunyai rencana untuk itu, tetapi telah menjadi keputusan kami bahwa orang yang menuntut jabatan ini tidak akan diperkenankan dan diberi kesempatan.”[1]

Kemudian tibalah saatnya untuk memilih Gubernur Kufah, provinsi terbesar dalam wilayah teritori pemerintahan Islam. Dengan segala problem di wilayah yang luas, Umar mesti memilih orang yang benar-benar tepat.[2]

Suatu waktu Umar bertanya kepada para sahabatnya, “Tunjukkanlah kepadaku seseorang yang akan aku serahi tugas yang penting!”

“Si fulan,” jawab mereka.

“Aku tidak memerlukannya,” jawab Umar.

“Kalau begitu, siapa yang engkau kehendaki?” tanya mereka.

“Aku menginginkan seseorang yang jika sedang berada di tengah-tengah kaumnya, walaupun dia bukanlah pemimpin kaumnya, tapi menampakkan seolah-olah dialah pemimpin mereka. Atau seseorang yang kedudukannya sebagai pemimpin mereka, namun penampilannya bagaikan rakyat biasa!”

Di luar itu, Umar juga meminta agar setiap gubernur untuk tidak mengendarai hewan yang indah, tidak mengenakan pakaian yang halus, melarang mereka untuk memakan makanan mewah, dan dapat mendengarkan keluhan-keluhan rakyatnya. Ini semua adalah syarat yang begitu berat.[3]

Lalu siapa orang yang tepat untuk Kufah? Pandangan Umar rupanya tertuju kepada Ammar bin Yasir, putra Sumayyah, syahidah pertama dalam Islam. Sosok Ammar dinilainya sebagai orang yang tidak peduli kepada apapun selain terhadap kesalehan, moral, dan pemikiran yang benar.

Tidak diragukan lagi Ammar adalah orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam, karena dia telah ikut Rasulullah dari sejak masa awal Islam. Namun lebih dari segalanya, dia adalah orang yang pendiam. Dia tidak pernah ikut berkomentar tentang persoalan politik ataupun kenegaraan.

Tetapi, bagaimanapun, Ammar masihlah orang yang sama seperti dulu. Dia adalah orang yang berkemauan kuat dan tidak mundur meskipun mendapat siksaan yang begitu berat dari Abu Jahal. Dia telah memberikan teladan yang baik tentang ketekunan dan ketabahan.

Ammar adalah orang yang pernah menjalani hidupnya dengan begitu banyak kesulitan dan bekerja begitu keras. Baik siang maupun malam dia dituntut untuk mengatasi masalah-masalah berat. Ketika Islam mulai menyebar, dia bekerja dengan sangat tulus untuk memperkuat Pemerintahan Islam berdasarkan kebaikan dan kebajikan.

Bahkan sekarang pun, ketika Islam telah jaya, dan dia berhak untuk menyandang status yang begitu tinggi karena termasuk golongan pendahulu, dia tetap rendah hati dan lemah lembut seperti sebelumnya. Dia telah mencapai kualitas ini dengan imannya pada kebenaran dan oleh berkah dari agama yang diberikan kepadanya oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasulullah.

Untuk menjadi seorang pemimpin, dibutuhkan orang dengan perilaku yang seperti ini. Dan karena alasan inilah, cara Ammar bekerja dan perilaku moralnya masih sama persis dengan masa-masa saat dia masih belum menjadi siapa pun.

Jabatan gubernur dan kepemilikkan otoritas adalah sesuatu yang tidak menarik baginya, karena kepribadiannya jauh di atas hal-hal seperti ini. Dia adalah orang yang menerapkan hukum pada dirinya sendiri dengan cara yang sama seperti dia menerapkannya pada orang lain.

Demikianlah, dengan kualitas seperti ini, akhirnya Umar meminta Ammar yang tidak pernah meminta jabatan itu untuk menjadi Gubernur Kufah.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 193-194.

[2] Sadruddin Sharafuddin al-Amili, Ammar Ibn Yasir (ra) – A Companion of the Prophet (‘s), (Islamic Seminary Publications, Lebanon), e-book version, chapter 12.

[3] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 195-197.

[4] Sadruddin Sharafuddin al-Amili, Loc. Cit.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*