Muawiyah mendapatkan dukungan dari sahabat yang lebih sedikit ketimbang Ali. Membandingkan kedua figur ini dapat menjelaskan alasannya. Dan inilah langkah-langkah Muawiyah untuk mengantisipasinya.
Dalam hal meraih dukungan dari para sahabat Nabi, Muawiyah bin Abu Sufyan RA tampaknya kurang berhasil. Jumlah para sahabat yang mendukungnya jauh di bawah para sahabat yang bergabung dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA.
Mengapa bisa demikian? Fuad Jabali dalam bukunya yang berjudul The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments mengatakan bahwa dengan membandingkan jejak rekam kedua figur ini, yaitu Ali dan Muawiyah, kiranya dapat memberi kita beberapa jawaban untuk pertanyaan ini. Berikut ini adalah pemaparan dari Fuad Jabali.
Tidak ada keraguan bahwa Ali adalah figur yang penting di dalam Islam. Dia adalah salah satu di antara orang-orang yang pertama masuk Islam, yaitu sekitar antara usia delapan hingga enam belas tahun. Dia adalah orang yang pertama salat setelah Nabi Muhammad, meskipun beberapa riwayat lain mengatakan bahwa dia adalah yang berikutnya setelah Khadijah.
Dia adalah orang yang memandikan tubuh Nabi ketika beliau meninggal dan yang menguburkannya. Dia ikut dalam Perang Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Perjanjian Hudaibiyah, dan peristiwa-peristiwa besar lainnya.
Nabi menyatakan kedekatannya dengan menantunya itu, Ali, dalam pernyataan-pernyataan yang terang. Ketika di Makkah, Nabi membangun persaudaraan di antara umat Islam (di antara para Muhajirin), dan di Madinah dia melakukan hal yang sama di antara para Muhajirin dan Anshar. Pada kedua kesempatan itu, Nabi menyatakan bahwa dia adalah saudara Ali.
Dilihat dari segi pengetahuan agama, Ali juga begitu unggul. Dia digambarkan sebagai pintu ke kota ilmu oleh Nabi, sebagai yang paling berpengalaman dalam masalah hukum oleh Umar, dan sebagai yang paling berpengetahuan dalam Sunnah oleh Aisyah. Singkat kata, dalam hal hubungan darah dan ikatan emosional, serta pengetahuan agama, Ali adalah sosok yang benar-benar tidak tertandingi.
Sementara itu dengan Muawiyah, akan didapatkan penggambaran yang sangat berbeda. Dia termasuk orang Quraish terakhir yang masuk Islam, dia melakukan itu pada saat peristiwa Futuh Makkah, ketika orang-orang Quraisy tidak punya pilihan selain menyerah kepada Nabi.
Ini artinya, bahwa dalam peristiwa-peristiwa penting seperti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq, yang terjadi sebelum penaklukkan Makkah, Muawiyah masih dianggap sebagai musuh Nabi. Namun, begitu dia menjadi Muslim, bagaimanapun Nabi mempekerjakannya untuk menjadi salah satu sekretarisnya.
Dan tentu saja dia menjadi sosok yang tidak dikenal sebagai orang yang berpengetahuan tentang Islam. Dibandingkan dengan Ali, baik dalam hal hubungan keluarga ataupun dalam hubungan emosional dan pengetahuan, Muawiyah jauh tertinggal di belakang Ali.
Perjuangan antara kedua tokoh ini, yang begitu berbeda dalam hal latar belakang dan kepribadian, tidak lain adalah bagaikan persaingan antara dua kelompok masyarakat dan serangkaian gagasan yang benar-benar berbeda.
Kekuatan Ali terletak tidak hanya dalam darah dan hubungan pernikahannya dengan putri Nabi dan prestasi militernya, tetapi juga dalam pencapaian dan gagasan keagamaannya, dan para pendukungnya tampaknya menghargai sifat-sifat ini yang melekat dalam dirinya.
Seorang khalifah, di mata mereka, haruslah menjadi orang yang paling menonjol di komunitasnya, dan dalam kasus ini, Ali telah terbukti memenuhi syarat, dilihat dari hubungannya dengan Nabi dan pencapaian-pencapaiannya.
Muawiyah, di sisi lain, tidak memiliki kualifikasi seperti ini. Oleh karena itu dia harus menemukan sesuatu yang lain untuk membenarkan posisinya, dan mendapatkan dukungan dari mereka yang tidak menganggap penting prestasi keagamaan dan hubungan darah sebagai kualifikasi yang tepat untuk kepemimpinan.[1]
Meski demikian, pada akhirnya Muawiyah juga berhasil mendapatkan dukungan dari beberapa sahabat. Di antara beberapa sahabat ternama, Fuad Jabali menggambarkan sebagian pemetaan dukungan mereka:
Ammar bin Yasir dan para pengikutnya hadir dalam Perang Shiffin; Hudzaifah bin al-Yaman yang pada waktu terjadinya pertikaian antara Ali dan Muawiyah telah wafat, sebelumnya telah memberikan wasiat kepada kedua putranya untuk mendukung Ali;
Khalid bin al-Walid mempunyai dua orang putra, salah satunya berada di pihak Muawiyah sementara yang lain berada di pihak Ali; Jabir bin Abdullah, serta orang-orang lain di Madinah, diancam akan dibunuh oleh Muawiyah jika dia tidak memberikan dukungannya;
Beberapa sahabat terkemukan lainnya seperti Saad bin Malik, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan Uhban bin al-Layfi memilih untuk bersikap netral. Di kemudian hari ada juga beberapa sahabat seperti Abdullah bin Umar dan Masruq yang menunjukkan penyesalan mendalam karena tidak bergabung dengan Ali.[2]
Langkah Taktis Muawiyah
Muawiyah sendiri tampaknya telah menyadari posisinya. Dia tahu bahwa karena dia tidak memiliki justifikasi dalam bidang agama, maka dia mengandalkan cara lain untuk menarik orang-orang ke dalam tujuannya.
Dalam mempersiapkan perangnya dengan Ali, antara lain, Muawiyah menulis surat kepada orang-orang yang, dalam penilaiannya, memiliki sesuatu yang perlu ditakuti dari Ali atau membencinya, serta kepada mereka yang berpikir bahwa pembunuhan Utsman adalah suatu masalah yang harus diperhatikan dan bahwa Ali bertanggung jawab dalam hal itu.
Muawiyah mengambil sejumlah langkah untuk memperkuat posisinya. Pertama-tama dia mencoba melindungi kesolidan pasukan Syamnya dengan tidak mengizinkan pasukan luar untuk bergabung, bahkan meskipun mereka maju untuk mendukungnya baik secara langsung atau pun tidak langsung.
Pada masa Fitnah, ada orang-orang tertentu dari kota Kufah dan Basrah yang menunjukkan kebencian terhadap Khalifah Utsman, namun pada saat yang bersamaan mereka juga enggan untuk mendukung Ali dengan berbagai alasannya. Orang-orang ini rupa-rupanya berangkat ke Syam untuk mendukung Muawiyah. Pilihan mereka adalah keuntungan besar bagi Muawiyah, karena setidaknya mereka belum bergabung dengan Ali dan tidak dalam posisi untuk menimbulkan masalah bagi Muawiyah.
Namun terlepas dari kenyataan ini, Muawiyah tidak mau mengambil risiko dengan menggabungkan mereka ke dalam pasukan Syam, bahkan ketika mereka memintanya untuk melakukannya. Dia memisahkan mereka dengan mendirikan kota-kota garnisun untuk menampung mereka.
Qinnasrin, yang sebelumnya hanya menjadi distrik pedesaan Hims, diubah menjadi kota garnisun untuk menampung orang-orang ini. Al-Jazirah dan Mosul adalah daerah lain di mana orang-orang ini diposisikan. Bani al-Arqam, yang membenci situasi di Kufah, datang ke Muawiyah, dan mereka ditempatkan di al-Jazirah.
Langkah lain yang Muawiyah lakukan adalah mencoba menarik dukungan dari para sahabat terhadap isu yang diangkatnya.Kedatangan Ubaidillah bin Umar di Syam disambut dengan sangat baik oleh Muawiyah.
Motivasi Ubaidillah yang sebenarnya adalah karena dia takut dengan Ali. Pada waktu peristiwa pembunuhan Khalifah Umar, Ubaidillah tanpa proses peradilan dengan cepat membunuh al-Hurmuzan yang diduga terlibat dalam konspirasi pembunuhan Umar.
Eksekusi Ubaidillah terhadap al-Hurmuzan menimbulkan tanda tanya dari warga Madinah. Dan ketika Utsman naik menjadi khalifah, Ali mengangkat isu ini agar diusut kembali, untuk mencari tahu apa tujuan sebenarnya dari Ubdaillah membunuh al-Hurmuzan, dan bagaimanapun dia harus diadili.
Ali adalah ancaman bagi Ubaidillah, maka tidak heran jika dia mendukung Muawiyah. Bagaimanpun, Ubaidillah adalah sahabat Nabi, dan kedatangannya dapat dipertimbangkan sebagai legitimasi agama bagi Muawiyah.
Kaab bin Murrah al-Sulami, salah seorang sahabat lainnya yang tinggal di al-Urdunn, dikatakan telah menyampaikan khutbah untuk mendukung Muawiyah di sebuah masjid di mana sekitar empat ratus sahabat hadir. Pada kesempatan itu, Kaab meriwayatkan sebuah hadis di mana Nabi menubuwatkan tentang peristiwa Fitnah, dan menyatakan bahwa Utsman berada di jalan yang benar (ala al-Hadi).
Klaim kehadiran empat ratus sahabat dan periwayatan hadis tentang Utsman adalah upaya untuk menyatakan bahwa langkah-langkah Muawiyah dibenarkan secara agama. Setelah klaim agama ini tercapai, maka Muawiyah bisa mendapatkan dukungan dari umat tanpa terlalu banyak kesulitan.[3] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Fu’ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments (Brill, 2003), hlm 165-167.
[2] Ibid., hlm 8.
[3] Ibid., hlm 170-171.