Mozaik Peradaban Islam

Ammar bin Yasir (23): Perang Shiffin (1)

in Tokoh

Last updated on March 24th, 2020 02:00 pm

Dalam perjalanan menuju ke Shiffin, Ammar berkata, “Ya Allah! Aku berperang hanya demi ridha-Mu dan aku yakin bahwa Engkau tidak akan pernah membuatku gagal selama aku melakukan hal-hal yang diridhai-Mu.” Usianya waktu itu sudah 93 tahun.

Foto ilustrasi: Lukisan karya Eugene Delacroix. Sumber: Ocean’s Bridge

Demikianlah, setelah kedua belah pihak tidak mencapai sepakat dalam perundingan, baik melalui surat menyurat maupun pengiriman utusan, akhirnya peperangan tidak dapat dielakkan. Bersama dengan pasukannya Khalifah Ali bin Abi Thalib RA berangkat meninggalkan Kufah, dan Muawiyah bin Abu Sufyan RA pun meninggalkan Syam. Kedua pasukan itu bertemu di satu tempat yang disebut dengan Shiffin.[1]

Abdurrahman bin Abza meriwayatkan, dalam perjalanan ke Shiffin, saat dia berada di tepi Sungai Efrat, Ammar bin Yasir RA berkata, “Ya Allah! Andai saja aku tahu bahwa Engkau akan ridha kepadaku jika aku melemparkan diriku dari gunung dan terhempas jatuh ke bawah, aku pasti akan melakukannya.

“Ya Allah! Andai saja aku tahu bahwa Engkau akan ridha kepadaku jika aku menyalakan api yang besar dan melemparkan diriku ke dalamnya, aku pasti akan melakukannya.

“Ya Allah! Andai saja aku tahu bahwa Engkau akan ridha kepadaku jika aku melemparkan diriku ke dalam air dan tenggelam, aku pasti akan melakukannya.

“Ya Allah! Aku berperang hanya demi ridha-Mu dan aku yakin bahwa Engkau tidak akan pernah membuatku gagal selama aku melakukan hal-hal yang diridhai-Mu.”[2]

Pada saat berangkat ke Shiffin, Ammar dilaporkan sudah berusia sangat tua, yakni 93 tahun. Selama dalam perjalanan, dia dilaporkan jarang sekali berbicara, kecuali mengucapkan doa secara terus menerus, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah…. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah….”[3]

Muawiyah bersama pasukannya tiba terlebih dahulu Shiffin, di sebelah timur Sungai Efrat. Mereka pun segera menutup jalur satu-satunya menuju sungai tersebut dan mendudukinya. Muawiyah menempatkan sekitar 10.000 tentara di sana untuk menghalangi pasukan Ali untuk dapat mengambil air.

Ketika Ali tiba, beberapa prajuritnya hendak mengambil air, namun mereka urung karena melihat pasukan Muawiyah telah berada di sana menutup jalan. Mendengar kabar ini, Ali mengirim utusannya kepada Muawiyah, mengingatkannya tentang etika dalam peperangan, dan memintanya untuk membuka jalur tersebut. Akan tetapi Muawiyah menolak permintaan itu.

Ali dan pasukannya melewatkan sehari semalam tanpa air. Tenggorokan mereka kering dan kehausan, sehingga hampir-hampir saja orang-orang yang lemah di antara mereka menemui kematian terlebih dahulu sebelum pertempuran dimulai.

Pagi harinya, pasukan Ali dipimpin oleh Asyats bin Qais dan Asytar bergerak maju. Mereka menyapu pasukan Muawiyah hingga tercerai berai dan keadaan pun menjadi berbalik. Jalan menuju air menjadi terbuka bagi pasukan Ali dan tertutup sama sekali bagi pasukan Muawiyah.

Melihat perkembangan seperti ini, Amr bin Ash RA yang juga merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW, yang kini berpihak kepada Muawiyah, berkata kepada Muawiyah, “Bagaimana pendapatmu wahai Muawiyah, seandainya mereka menutup air sebagaimana apa yang kita lakukan terhadap mereka kemarin?”

“Lupakan saja,” kata Muawiyah, “menurut perkiraanmu, apakah Ali akan melakukan hal yang sama seperti itu?”

“Aku kira Ali tidak akan menghalalkannya terhadap dirimu apa yang telah engkau halalkan terhadap dirinya (menutup jalur ke air). Kedatangannya bukanlah untuk membuatmu haus, tetapi untuk urusan lainnya.”

Dan benar saja, Ali kemudian memerintahkan kepada pasukannya, “Tidak boleh menghalangi siapapun yang akan menuju ke sana, serta tidak dibenarkan mengganggu siapa pun yang hendak minum.”

Sampai di sini, setelah berada di atas angin, Ali masih mengharapkan perdamaian dengan Muawiyah, dia mengirim empat orang utusannya untuk menemui Muawiyah. Dan inilah jawaban dari Muawiyah kepada mereka:

“Sesungguhnya pemimpin kalian (Ali) telah membunuh khalifah kita (Utsman), memecah belah umat kita, dan melindungi kaum pembunuh dan pemberontak. Kami sebenarnya tidak menyangkal pengakuan kalian itu (Ali sebagai Imam), asal saja dia menyerahkan pembunuh-pembunuh itu kepada kami, baru setelah itu kami mau bergabung dengan kalian.”

Karena pada waktu itu berada di bulan Muharram, salah satu bulan suci di mana tidak dihalalkan untuk melakukan peperangan, maka Ali menangguhkan peperangan tersebut sampai datangnya bulan Shafar. Tatkala akhir bulan Muharram dan senja tiba, Ali mengutus beberapa utusannya menemui Muawiyah, untuk memberitahunya bahwa perang akan dilakukan besok paginya.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Op.Cit., hlm 563.

[2] Abu Abdullah Muhammad bin Sa‘d bin Mani al-Basri al-Hasyimi katib al-Waqidi (Ibnu Sa’d), Kitab at-Tabaqat al-Kabir (Vol 3, hlm 258), dikutip kembali dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 619.

[3] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 262.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Op.Cit., hlm 563-566.

2 Comments

  1. Min…mengingat kondisi pendemi corona, seperti sekarang, tulisan tentang wabah di dalam sejarah kekuasaan Islam tentu sangat menarik dan mungkin bisa memberi pelajaran yang penting untuk bisa diambil hikmahnya. di tunggu tulisannya. tks

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*