“Utusan Hulagu Khan meminta Qutuz untuk menyerah terlebih dahulu sebelum perang terjadi. Bukannya menurut, Qutuz malah memenggal mereka dan memajang kepalanya di gerbang utama Kairo agar terlihat musuh.”
–O–
Setelah menjatuhkan Dinasti Ayyubiyah, Mamluk terpecah menjadi dua faksi utama. Faksi yang pertama berpusat di Kairo, dan yang lainnya berada di Damaskus. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan, Ibukota Abbasiyah di Baghdad jatuh ke tangan para penjajah Mongol pada tahun 1258, dan orang-orang Mongol ini tidak menunjukkan tanda-tanda melambatkan laju pendudukannya ke daerah lain.
Sekarang, dihadapkan kepada ancaman serius dari pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan yang tidak terhentikan, dua basis kekuatan Mamluk yang sedang bersaing satu sama lain itu harus mengakui bahwa mereka saling membutuhkan, mereka harus berhenti bertikai di antara mereka sendiri dan bersatu untuk dapat bertahan hidup.
Sultan di Kairo saat itu adalah seorang pria bernama al-Muzhafar Saifuddin Qutuz. Terkait pembunuhan terhadap Shajar ad-Durr, Qutuz adalah dalang di balik semua itu. Pesaing utama Qutuz adalah Baibars, jenderal Mamluk yang setia kepada Sultana Shajar ad-Durr. Sementara Qutuz menjadi sultan di Kairo, Baibars menjadi amir di Damaskus. Sebelum bermusuhan, mereka berdua telah berjuang bersama melawan tentara Prancis Louis IX dan berhasil mengalahkannya.
Di bawah pakta persatuan Mamluk, Baibars meninggalkan Damaskus untuk bergabung dengan Sultan Qutuz di Kairo, di mana dia disambut oleh Qutuz, sahabat – pesaing – sekaligus sekutunya. Dalam pengepungan selama seminggu, akhirnya Aleppo (kota lainnya di Suriah) jatuh ke tangan orang-orang Mongol. Ketimbang menyerah begitu saja, penduduk kota Aleppo melakukan perlawanan, sebagai balasannya, mereka dibantai habis. Kurang dari dua minggu kemudian, Damaskus — tanpa pelindungnya, Baibars — menyerah tanpa perlawanan kepada Mongol.[1]
Sampai tahap ini, Hulagu mengirimkan enam orang utusannya ke Kairo, menuntut agar Qutuz menyerahkan seluruh Mesir, atau menghadapi pembantaian. Ini bukan ancaman kosong, Hulagu telah membuktikan sebelumnya ketika menyerang Baghdad dan Aleppo, di mana penduduk kota dibantai olehnya. Hulagu juga mengirimkan surat yang berisi:
“Dari Rajanya para raja di timur maupun barat, Khan Agung. Untuk Qutuz si Mamluk, yang pergi melarikan diri dari pedang kami.
Engkau harus merenungkan apa yang terjadi pada negara lain…. dan tunduk kepada kami. Engkau telah mendengar bagaimana kami menaklukan kerajaan besar dan telah memurnikan bumi dari gangguan yang mencemarinya. Kami telah menaklukan wilayah yang luas, membantai semua orang. Engkau tidak dapat melarikan diri dari teror tentara kami.
Ke mana engkau dapat lari? Jalan apa yang akan engkau gunakan untuk lari dari kami? Kuda-kuda kami cepat, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras gunung, tentara kami sebanyak butiran pasir. Benteng-benteng maupun persenjataan tidak akan dapat menahan kami. Doamu kepada Tuhan tidak akan berguna untuk melawan kami. Kami tidak tergerak oleh air mata atau tersentuh oleh ratapan. Hanya mereka yang memohon perlindungan kapada kami yang akan selamat.
Bergegaslah membalas surat ini sebelum api perang dinyalakan…. Menolak maka engkau akan menerima malapetaka yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid-masjidmu dan mengungkapkan kelemahan Tuhanmu, dan kemudian kami akan membunuh anak-anak dan orang tuamu bersamaan.
Saat ini engkau adalah satu-satunya musuh yang harus kami tuju.”[2]
Setelah menerima utusan Mongol, Qutuz memanggil beberapa pengungsi yang selamat dari serangan Mongol di Baghdad dan Damaskus, untuk mencari informasi dari mereka. Mereka berkata:
“Hulagu Khan telah memulai dari Turan dengan pasukan besar menuju ke Iran, dan tidak ada seorang pun, khalifah, sultan, atau malik, yang memiliki kemampuan untuk menahan serangan hebatnya. Setelah menaklukkan semua wilayah, dia datang ke Damaskus, dan apabila bukan karena kabar kematian saudara laki-lakinya, dia akan menambahkan Mesir menjadi penaklukannya juga. Selain itu, dia telah menempatkan Ket Buqa Noyan (atau bisa juga disebut Kitbuqa, dia adalah letnan kepala pasukan Hulagu, seorang Kristen – pen) di daerah ini, yang seperti singa mengamuk dan naga bernapas api yang terbang dalam penyerangan. Jika dia menyerang Mesir, tidak ada yang dapat menandinginya.”[3]
Qutuz kemudian mendiskusikan hal ini dengan para komandannya. Pada intinya mereka berkesimpulan bahwa mereka kalah kekuatan dibandingkan dengan Mongol. Pilihan untuk melarikan diri juga tidak memungkinkan. Dan untuk menyerah, mereka tidak mempercayai kata-kata orang Mongol. Maka hanya ada satu kesimpulan, yaitu melawan. Qutuz berkata kepada para komandannya, “Pendapatku adalah bahwa kita pergi bersama berperang. Jika kita menang, itu bagus, jika kalah, setidaknya kita tidak akan disalahkan rakyat.”[4]
Atas saran salah satu komandannya Qutuz kemudian menebas para utusan Mongol sehingga terbelah menjadi dua dari bagian pinggang. Kepala mereka kemudian oleh Qutuz dipajang di salah satu gerbang utama Kairo: Bab Zuweila (bangunannya masih ada sampai sekarang).
Bersama Baibars di sisinya, Qutuz mempersiapkan pasukan Mamluk, dan mengambil inisiatif untuk menyerang terlebih dahulu ke Suriah. Salah satu keunggulan Mamluk pada saat itu adalah mereka telah menyempurnakan kemampuan prajurit pemanah berkudanya, yang biasanya justru itu menjadi kelebihan bangsa Mongol.
Kerugian lainnya untuk Mongol adalah: Pertempuran Ain Jalut yang akan datang akan menjadi kesempatan pertama ketika meriam tangan digunakan dalam pertempuran. Adalah Mamluk yang pertama kalinya menggunakan senjata api melawan kavaleri Mongol. Mereka tampaknya telah melakukan pekerjaan mereka dengan baik, sebagian dari senjata tersebut nantinya digunakan untuk menakut-nakuti kuda-kuda Mongol, yang membuat mereka tidak dapat dikendalikan oleh para penunggang mereka.[5] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Asal-Usul Dinasti Mamluk (3): Shajar ad-Durr, Sultan(a) Pertama Mamluk (2)
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 138-139.
[2] David W. Tschanz, “History’s Hinge ‘Ain Jalut”, dari laman http://archive.aramcoworld.com/issue/200704/history.s.hinge.ain.jalut.htm, diakses 12 Juli 2018.
[3] Robin MacArthur, Mahomet Mostapha, dan Naim al Khoury (ed), “History of Jihad against the Mongols (1050-1258)”, dari laman http://www.historyofjihad.org/mongolia.html, diakses 12 Juli 2018.
[4] Ibid.
[5] Eamon Gearon, Ibid., hlm 139.