“Allah. Muhammad,” hanya dengan mengulang kata-kata inilah Ayuba menjawab pertanyaan ketika ditangkap setelah melarikan diri di Amerika. Ayuba melarikan diri dari perbudakan karena ketika sedang salat dia diejek dan wajahnya dilempari kotoran.
Setelah Ayuba Suleiman Diallo dan penerjemahnya, Loumein Yoas, ditangkap dan digunduli oleh orang-orang suku Mandingo, membuat seolah-olah mereka adalah tawanan perang, mereka dijual kepada Kapten Pike, seorang pedagang budak asal Inggris, pada 27 Februari 1731.
Ayuba meminta dengan amat sangat kepada Kapten Pike, memberi tahu bahwa ayahnya akan menebusnya, dan dia berhasil menulis surat kepada ayahnya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Tetapi pada saat surat itu sampai di Bundu dan ayah Ayuba mengirim beberapa budaknya sendiri untuk menggantikan putranya, Kapten Pike sudah berlayar ke Amerika, dengan Ayuba di dalamnya.[1]
Ayuba, seorang suami muda, dan ayah dari empat orang anak itu, dibawa menuju ke Annapolis, Maryland, Amerika, dan harus menempuh perjalanan yang panjang selama berbulan-bulan melintasi Samudra Atlantik.[2] Berdasarkan pengalaman orang Afrika lainnya yang diperbudak di Amerika dan tidak kembali lagi, Ayuba juga merasa mungkin kali ini dia melihat Afrika untuk terakhir kalinya.[3]
Setelah perjalanan yang sulit ke Amerika, Kapten Pike menjual Ayuba kepada seorang petani yang bernama Tuan Tolstoy di Maryland. Kesepakatan jual beli budak itu diatur oleh Vachell Denton, seorang pria yang akan Ayuba temui lagi di masa depan. Tetapi untuk saat ini, dia dimiliki oleh Tolstoy, yang segera memberinya nama baru, “Simon” – sebuah langkah pertama dalam upaya untuk menghapus identitas dan asal muasal si budak.
Namun, Ayuba, bahkan dalam belenggu perbudakan, ingin mempertahankan setiap tetes terakhir identitasnya, dan sebagai gantinya dia memilih nama untuk dirinya sendiri. Ayuba memilih nama sebagai Job ben Solomon, yang mana merupakan terjemahan dari Ayyub bin Sulaiman (bahasa Arab) ke dalam bahasa Inggris (Ayyub = Job, bin = ben, Sulaiman = Solomon).
Namun pemilihan nama baru ini mungkin lebih dari sekadar masalah penerjemahan. Tuan barunya, Tolstoy, yang mungkin seorang Kristen, sudah terbiasa dengan nama-nama dan kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab, yakni baik kisah tentang Job, maupun Solomon.
Meskipun ada perbedaan versi antara kisah Ayyub dan Sulaiman di Alkitab dan Alquran, tetapi Ayuba tampaknya berusaha mengatakan kepada Tuannya bahwa dia akan tetap bersabar sebagaimana Ayyub, dan bermartabat sebagaimana Sulaiman. Dan memang itulah yang dia lakukan.[4]
Segera setelah tiba di Amerika, Ayuba dipekerjakan di ladang tembakau, namun pekerjaan ini terlalu berat baginya, hingga dia jatuh sakit dan mengeluh kepada Tuannya bahwa dia tidak cocok dengan pekerjaan semacam ini. Melihat Ayuba memang memiliki keterbatasan dalam tenaga fisik, Tolstoy kemudian memindahkan Ayuba, yang kini dipanggil Job, ke bagian lain, yakni mengurus hewan ternak sapi. Di bagian ini pekerjaan Ayuba menjadi lebih ringan.[5]
Meskipun Tuannya mungkin tidak menyadarinya, namun Ayuba menikmati pekerjaan barunya (sebisa mungkin yang bisa dinikmati dengan posisinya sebagai budak) karena berternak sapi adalah pekerjaan tradisional orang-orang suku Fulani di Afrika.
Namun lebih dari semua itu, Ayuba kini memiliki kesempatan untuk dapat salat, yang mana sebelumnya tidak mungkin dilakukan di ladang tembakau, di mana dia selalu diawasi. Sekarang, Ayuba di sela-sela pekerjaannya dan dengan tingkat kebebasan yang lebih longgar, dapat pergi secara diam-diam ke hutan terdekat untuk salat.[6]
Namun pada suatu hari, seorang anak laki-laki kulit putih menemukan Ayuba sedang salat di hutan, anak itu lalu mengolok-ngoloknya dan melemparkan kotoran ke wajahnya. Mungkin karena alasan ini dan insiden-insiden menyedihkan lainnya, Ayuba tidak tahan, sehingga dia memutuskan untuk melarikan diri setelah melayani Tuannya hanya dalam beberapa bulan.[7]
Tidak lama setelah pelariannya, Ayuba tertangkap di Kent County, Pennsylvania, peristiwa ini terjadi pada Juni tahun 1731. Ketika Ayuba ditangkap, dia tidak bisa berbicara bahasa Inggris dan tidak bisa mengatakan dari mana dia berasal atau dia “dimiliki” oleh Tuan siapa.
“Allah. Muhammad,” hanya dengan mengulang kata-kata inilah Ayuba menjawab ketika diinterogasi oleh penangkapnya.
Ketika berhadapan dengan situasi yang tidak diketahui, dan berpotensi berbahaya yang tidak dapat dia kendalikan, Ayuba meyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan menegaskan keyakinan Islamnya. Dia menjadikan syahadat sebagai definisi keberadaannya sendiri, tentang pribadinya. Apa yang dia lakukan pada saat itu tepat, karena pada akhirnya, iman dan pendidikan Islamnya lah yang akan menyelamatkannya, membebaskannya dari perbudakan.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Hassam Munir, “’Allah. Muhammad.’ Ayuba Diallo’s Long Journey Back to Africa”, dari laman http://www.ihistory.co/slave-of-allah-alone-ayuba-diallos-return-to-africa/, diakses 20 November 2019.
[2] Sylviane A. Diouf, Servants of Allah: African Muslims Enslaved in the Americas (New York University Press, 2013), hlm 41.
[3] Hassam Munir, Loc.Cit.
[4] Ibid.
[5] Edward E. Curtis IV, Muslims in America (Oxford University Press, 2009), hlm 1.
[6] Sylviane A. Diouf, Op.Cit., hlm 86.
[7] Hassam Munir, Loc.Cit.
[8] Sylviane A. Diouf, Op.Cit., hlm 72.