Temujin berkata, “Marilah kita bersama kembali!” Jamuka menjawab, “Aku bukan sahabat yang baik, bunuhlah aku dengan darah yang tidak tertumpah.” Temujin berkata, “Sesuai permintaanmu.”
Setelah mengeksekusi anak buah Jamuka yang mengkhianatinya, dua bersaudara yang telah bertikai selama lebih dari dua puluh tahun ini berbicara dengan cukup panjang dalam sebuah dialog yang paling emosional yang dicatat dalam dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol. Berikut ini adalah bagian dari dialog tersebut yang telah diringkas oleh penulis, karena aslinya terdapat banyak pengulangan dan syair-syair yang cukup panjang.
Temujin berkata kepada Jamuka, “Akhirnya kita berdua bertemu kembali. Marilah kita bersama kembali! Jika masing-masing dari kita menjadi salah satu dari dua poros roda, apakah engkau akan berpikir untuk memisahkan diri sendiri? Sekarang kita telah berkumpul kembali, mari kita sama-sama mengingatkan hal-hal yang telah terlupakan. Mari kita sama-sama membangunkan siapa yang tertidur. Meskipun engkau berpisah dariku dan mengambil jalan yang berbeda, engkau tetap keberuntungan dan sahabat sejatiku. Pada saat ada diantara kita yang membunuh atau terbunuh, tentu hatimu akan sangat sakit untukku. Meskipun engkau berpisah dariku dan mengambil jalan yang berbeda, pada saat kita beperang satu sama lain, dada dan hatimu akan sangat sakit untukku.”[1]
Mendengar hal itu Jamuka tampak tersentuh oleh permintaan dan luapan emosi dari sahabat perjuangan juniornya itu, yang kini telah menjadi penguasa dari seluruh wilayah padang rumput Mongolia. Sesaat dia tampak terhanyut akan nostalgia dan sentimentil yang Temujin ungkit kembali ketika mereka menjadi saudara angkat sewaktu muda dulu. Jamuka merespon dengan menceritakan kembali kisah-kisah kebersamaan mereka: makan bersama, tidur dalam tenda dan selimut yang sama, dan mengucap sumpah setia satu sama lain.[2]
Lalu dia berkata, “Dan aku telah hidup dengan ketidakmampuan untuk melihat dan mengingat wajah sebenarnya dari sahabat sejatiku dalam waktu yang cukup lama. Sekarang, sahabat sejatiku, sang khan, telah menunjukkan kebaikannya kepadaku dan berkata, ‘Marilah kita bersama kembali!’ Namun ketika tiba saatnya untuk menjadi seorang sahabat, aku bukanlah orang yang tepat. Sekarang, wahai sahabat sejatiku, engkau telah mendamaikan semua orang kami. Engkau telah mempersatukan semua orang-orang, dan takhta khan telah ditetapkan untukmu…. Sebaliknya, wahai sahabat sejatiku, aku akan menyusup ke dalam mimpimu di malam yang gelap, aku akan menyusahkan hatimu di hari yang cerah, aku akan menjadi kutu di kerahmu, aku akan menjadi duri di bagian dalam mantelmu.”
Selanjutnya Jamuka berkata bahwa betapa telah menyesalnya dia karena berkhianat kepada Temujin, menjelaskan bahwa dia terlena akan statusnya sebagai bangsawan dan haus akan nama besar. Dia kemudian memuji-muji Temujin sebagai seorang pahlawan, dan sebaliknya, dia menceritakan bahwa betapa malang dirinya yang menjadi anak yatim sejak kecil, memiliki istri yang hanya bisa mengeluh, dan teman-teman yang tidak dapat dipercaya.
Di akhir Jamuka berkata, “Jika engkau ingin menunjukkan kebaikan kepadaku, biarkan aku mati dengan cepat dan hatimu akan tenang. Dan jika engkau keberatan untuk membunuhku, biarkan mereka membunuhku dengan tanpa menumpahkan darah. Ketika aku terbaring mati, kuburkan aku di tempat yang tinggi, selamanya aku akan melindungimu dan menjadi berkat bagi anak keturunanmu…. Sekarang, lakukan dengan cepat kepadaku!”
Temujin menjawab, “Meskipun sahabat sejatiku telah berpisah dariku dan telah memerangi kami, aku belum pernah mendengar bahwa dia telah menyusun sebuah rencana yang dapat membahayakan hidupku. Dia adalah seorang pria yang harus belajar dari pengalaman, tetapi tidak ingin melakukannya. Namun, membunuhnya tidak sesuai dengan pertanda, menyakiti hidupnya tanpa alasan yang baik adalah tidak benar. Dia adalah orang yang berkedudukan tinggi…. Sekarang, ketika aku berkata, ‘Marilah kita bersama kembali!’ engkau menolaknya. Ketika aku memberi penawaran untuk mengampunimu, engkau menolaknya …. Sekarang, sesuai permintaanmu, engkau akan mati tanpa menumpahkan darah.”[3]
Temujin kemudian memerintahkan agar Jamuka dihukum mati dengan tanpa menumpahkan darah, dan tubuhnya tidak boleh ditinggalkan di tempat terbuka, tetapi harus dikuburkan. Dia memerintahkan Jamuka dieksekusi di sana dan saat itu juga, dan menguburkan tubuhnya di tempat seperti yang dia minta.[4] Legenda mengatakan bahwa Temujin menguburkan Jamuka dengan sabuk emas yang telah dia berikan kepadanya pada saat mereka mengikat sumpah setia dalam hubungan persaudaraan, atau disebut anda dalam bahasa Mongol.[5]
Jamuka adalah rival pertama Temujin dalam pertarungan menuju kekuasaan, dan sekarang dia mengakhiri hidupnya sebagai bangsawan Mongol terakhir yang menentangnya. Dalam perjalanan panjang Temujin untuk menguasai seluruh orang Mongol, Temujin telah mengalahkan setiap suku di padang rumput dan menghilangkan ancaman dari setiap garis keturunan bangsawan dengan membunuh para laki-laki dan menikahkan perempuan mereka dengan putra-putranya dan pengikut lainnya.
Temujin adalah tipe orang yang tidak tahan untuk berada di bawah otoritas seseorang yang posisinya lebih tinggi. Dia telah membunuh Begter, kakak tirinya, untuk dapat menjadi kepala rumah tangga. Dia menghancurkan suku Merkid karena mereka telah menculik istrinya. Dia membunuh orang-orang Tatar yang telah membunuh ayahnya dan memandang rendah orang-orang Mongol sebagai tikus padang rumput. Dia menggulingkan para bangsawan Mongol dan menumpas satu per satu klan bangsawan Mongol seperti Tayichiud dan Jurkin.
Kemudian ketika sekutu dan ayah angkatnya sendiri, Ong Khan, menolak pernikahan di antara keluarga mereka, Temujin menghancurkan dia sekaligus sukunya. Ketika ratu Naiman mengejek orang-orang Mongol sebagai orang-orang kelas rendah, dia menyerang suku itu, membunuh suaminya, dan memberikannya kepada salah satu anak buahnya untuk dijadikan seorang istri. Dan pada akhirnya, dia membunuh Jamuka, salah satu orang yang paling dia cintai dalam hidupnya, dan dengan demikian itu mengakhiri eksistensi klan Jadaran yang merupakan klan aristokrat bangsawan Mongol yang terakhir.[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Bangsa Mongol dan Dunia Islam (25): Penaklukkan Suku Naiman (2)
Catatan Kaki:
[1] Igor de Rachewiltz, The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Western Washington University, 2015), hlm 122.
[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 3.
[3] Igor de Rachewiltz, Ibid., hlm 123-125
[4] Ibid., hlm 125.
[5] Jack Weatherford, Loc.Cit.
[6] Ibid.