Ketika Mongol melancarkan serangan terakhirnya ke Zhongdu (Beijing sekarang), sejarawan China mencatat, “Tulang-tulang orang-orang yang dibantai menumpuk setinggi gunung, bumi dipenuhi oleh lemak manusia dan mayat-mayat yang membusuk menimbulkan wabah.”
Genghis Khan dan sekutu-sekutunya yang baru bergabung – prajurit dan penduduk Jurchen yang membelot ke Mongol – dengan mudah merebut kota. Namun, kali ini, dia tidak memberikan kesempatan bagi Jurchen yang kalah untuk menyerah, memberikan upeti, dan diampuni seperti sebelumnya; kota itu akan dihukum dan dijarah. Bangsa Mongol akan mengambil segalanya.[1]
Menurut salah satu sumber catatan sejarah pada masa itu, “Tulang-tulang orang-orang yang dibantai menumpuk setinggi gunung, bumi dipenuhi oleh lemak manusia dan mayat-mayat yang membusuk menimbulkan wabah.” Menurut sumber lain, “Sebanyak 60.000 gadis China menjatuhkan diri dari dinding kota … daripada mesti jatuh ke tangan tentara Mongol.”[2] Terlepas dari benar atau tidaknya penggambaran dari sumber sejarah tersebut, namun penulisnya tampaknya ingin menyampaikan tentang kengerian dan betapa banyaknya jumlah korban pada waktu itu.
Setelah kota tersebut dipastikan akan segera jatuh, Genghis Khan menyerahkan pekerjaan serangan terakhir kepada bawahannya. Jengkel oleh terus meningkatnya kelembaban udara yang panas di musim panas dan jenuh hidup selama bertahun-tahun di tanah asing, Genghis Khan meninggalkan Zhongdu untuk kembali ke daerah yang lebih tinggi, lebih kering, dan lebih terbuka di Mongolia Dalam. Dia mendelegasikan penjarahan kota kepada Khada – seorang komandan Khitan – dan pasukannya karena mereka lebih terbiasa mengelola kota dan tahu cara terbaik untuk mengeruk kekayaannya.
Selama penjarahan berlangsung, para perwira Mongol menunggu agak jauh di luar kota. Mereka menunggu barang-barang jarahan tersebut untuk diserahkan dan didata oleh mereka. Genghis Khan berharap bahwa penjarahan akan dilakukan dengan cara efisien yang biasa dia lakukan semenjak kampanye melawan suku Tatar dulu. Biasanya para prajurit akan mengumpulkan terlebih dahulu semua barang rampasan, sama seperti halnya ketika mereka mengumpulkan hasil buruan dalam perburuan berkelompok, lalu membagikannya di antara mereka semua sesuai dengan peringkat masing-masing. Bahkan sampai butir terakhir perak atau pun sekedar kancing baju, semuanya harus diperhitungkan dan dialokasikan dengan tepat. Barulah 10 persen sisanya akan diserahkan kepada Genghis Khan, yang mana akan dia atur dengan detail untuk diberikan kepada janda dan anak yatim.
Akan tetapi, sekutu Mongol yang baru, tampaknya tidak memahami sistem tersebut atau mereka memang menolak untuk mematuhinya. Banyak dari mereka, khususnya orang-orang Khitan dan China, yang telah menderita penindasan besar dan memiliki banyak keluhan terhadap Jurchen, sangat bernafsu untuk melampiaskan dendam dan menghancurkan. Mereka merasa bahwa setiap prajurit memiliki hak untuk mengambil apa saja kekayaan milik Dinasti Jurchen Jin. Mereka menanggalkan emas dari dinding istana, menyongkel batu-batu berharga dari tempatnya, dan menyita peti berisi emas dan koin perak. Mereka memasukkan logam mulia ke dalam gerobak sapi dan mengikat bundelan sutra di punggung unta mereka.
Genghis Khan menganggap bahwa urusan harta rampasan perang merupakan hal yang sangat penting bagi kekaisarannya, dan dengan demikian dia mengirim Hakim Agung Mongol, Shigi-Khutukhu, ke kota untuk mengawasi metode penjarahan dan menginventarisir dengan teliti. Alih-alih melihat proses yang teratur, Shigi-Khutukhu malah melihat kekacauan. Para perwira Mongol yang menunggu di luar kota, termasuk juru masak kekaisaran, telah menerima suap berupa sutra bersulam emas dari tentara sekutu agar mereka dapat terus dengan leluasa melakukan penjarahan untuk diambil oleh diri mereka masing-masing.
Ketika Shigi-Khutukhu tiba, mereka bukannya ketakukan, mereka malah menawarinya juga sejumlah barang-barang jarahan, mencoba menyuapnya. Dia menolak dan kembali ke Genghis Khan untuk melaporkan apa yang terjadi di lapangan. Genghis Khan menjadi marah besar, dia menegur orang-orang Khitan, dan menyita seluruh hasil rampasan perang. Tetapi bagaimana cara dia menghukum mereka, sejauh ini belum ditemukan catatan sejarah yang mengisahkannya.
Ketika para prajurit Mongol hendak meninggalkan kota-kota Dinasti Jurchen Jin untuk pulang, mereka menetapkan satu aturan terakhir. Pada awal peperangan, untuk memasuki kota, pasukan Mongol mengusir dan membakar rumah para petani yang berada di pedesaan di sekeliling kota. Genghis Khan menginginkan agar desa-desa tersebut menjadi tanah terbuka dengan padang rumput yang luas. Genghis Khan merasa memerlukan karakter medan seperti itu jika suatu saat dia dan pasukannya ingin kembali ke sana.
Baginya, ladang yang dibajak, dinding batu, dan parit yang dalam telah memperlambat gerak kuda-kuda pasukan Mongol dan menghalangi kemampuan mereka untuk bergerak melintasi bentang alam ke arah mana pun yang mereka inginkan. Di sisi lain, itu juga menghalangi rute migrasi kawanan antelop, keledai, dan hewan-hewan liar lainnya yang dinikmati oleh bangsa Mongol. Sebelum orang-orang Mongol pulang, mereka menghancurkan lahan pertanian menggunakan kuda-kuda mereka. Kuda-kuda itu menginjak-injak tanah pertanian dengan kuku mereka, mempersiapkannya untuk menjadi padang rumput.
Mereka ingin memastikan bahwa para petani China tidak akan pernah kembali ke desa dan ladang mereka. Dengan cara ini, Mongolia Dalam tetap menjadi tanah penggembalaan, dan orang-orang Mongol menciptakan zona penyangga (buffer zone) yang luas yang terdiri dari padang rumput dan hutan. Zona ini akan menjadi zona pemisah antara peradaban pertanian yang menetap dengan tanah para suku nomaden di padang rumput. Selain itu, zona ini juga berfungsi untuk menjadi lahan penyedia makanan dengan rumput-rumputnya bagi kuda-kuda Mongol, akses yang lebih terbuka, dan tempat bagi hewan-hewan liar yang dagingnya dibutuhkan jika suatu saat mereka akan melaksanakan kampanye perang lainnya di masa depan.[3] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 4.
[2] Amy Chua, Day of Empire: How Hyperpowers Rise to Global Dominance — and Why They Fall (Doubleday, 2007), hlm 100.
[3] Loc.Cit.