Mongol menaklukkan Samarkand, ibu kota Khwarizmia, bagaikan menepuk lalat. Seketika, bagi dunia Muslim, kata “Mongol” menjadi identik dengan kematian.
Salah seorang prajurit Turki berhasil melarikan diri dari Bukhara, hingga akhirnya dia mencapai Khorasan. Di sana dia ditanyai tentang apa yang terjadi dengan kota Bukhara, dia menjelaskan dengan singkat, “Mereka datang, mereka memusnahkan, mereka membakar, mereka menjagal, mereka menjarah, dan mereka pergi.”[1] Serangan pasukan Mongol ke Bukhara dinilai sebagai serangan yang sukses bukan karena orang-orang di kota itu menyerah, tetapi karena ketika rumor tentang kekuatan dan keganasan bangsa Mongol mencapai ibu kota Samarkand, pasukan pertahanan di sana secara mentalitas sudah menyerah terlebih dahulu sebelum berperang.[2]
Ketika pasukan Mongol tiba di Samarkand, penduduk merasa khawatir, mereka terbagi ke dalam beberapa pendapat: beberapa berkeinginan untuk tunduk dan menyerah; sementara yang lain takut akan kehilangan nyawa mereka; beberapa lainnya, dengan ancaman dianggap mengkhianati agama, dicegah untuk mengajukan perdamaian; dan sisanya, karena aura menakutkan dari pasukan Genghis Khan, sama sekali tidak ingin melakukan perlawanan. Singkatnya, mereka tidak berada dalam posisi optimis terhadap kemenangan.
Pasukan Samarkand memang melakukan perlawanan, dan meskipun dengan bantuan pasukan gajah, pada hari keempat pertempuran akhirnya mereka menyerah. Tidak seperti di Bukhara, kali ini di pihak Mongol pun terdapat korban. Tetapi bagaimanapun ini masih terbilang mudah, sebab Samarkand memiliki tingkat pertahanan yang lebih solid dibandingkan dengan Bukhara. Kota Samarkand lebih besar, pasukannya lebih banyak, penduduknya lebih kaya, dan Sultan Muhammad II sendiri berada di sana.[3]
Sebelum benar-benar ditaklukkan, Sultan Muhammad II sudah terlebih dahulu melarikan diri, meninggalkan pasukan dan penduduknya untuk bertempur sendirian melawan Mongol. Setelah Samarkand takluk, pasukan besar Mongol terus merangsek maju menuju wilayah-wilayah lainnya. Sebelum tahun 1219 berakhir, bangsa Mongol telah merebut setiap kota besar di Kesultanan Khwarizmia.
Selanjutnya bangsa Mongol membawa pertempuran lebih jauh ke tanah-tanah baru, dan dalam waktu empat tahun, mereka dapat menaklukkan kota-kota di Asia Tengah seolah-olah hanya seperti menampar lalat. Hanya dalam waktu yang singkat, “Mongol” menjadi kata yang identik dengan kematian bagi penduduk di Dunia Muslim. Berikut ini adalah deretan kota-kota yang ditaklukkan oleh Genghis Khan: Bukhara, Samarkand, Otrar, Urgench, Balkh, Banakat, Khojend, Merv, Nisa, Nishapur, Termez, Herat, Bamiyan, Ghazni, Peshawar, Qazvin, Hamadan , Ardabil, Maragheh, Tabriz, Tbilisi, Derbent, Astrakhan.
Pasukan Genghis Khan menghancurkan setiap pasukan mana pun yang mereka temui, mulai dari Pegunungan Himalaya hingga Pegunungan Kaukasus, dari Sungai Indus hingga ke Sungai Volga. Setiap kota yang ditaklukkan memiliki kisahnya sendiri dengan rangkaian peristiwa yang agak berbeda, tetapi hasilnya selalu sama. Tidak ada kota yang mampu bertahan dari serangan mereka. Tidak ada benteng yang selamat. Tidak ada doa yang bisa menyelamatkan orang-orang. Tidak ada pejabat yang bisa menyuap atau meminta keistimewaan khusus. Tidak ada yang bisa memperlambat, apalagi menghentikan raksasa Mongol.[4]
Kemampuan Genghis Khan untuk memanipulasi baik manusia maupun teknologi, merupakan akumulasi pengetahuan yang didapatnya dari pengalaman selama lebih dari empat dekade dalam peperangan tanpa henti. Genghis Khan adalah sebuah pengecualian, bagaimana mungkin seseorang yang lahir di tengah lingkungan suku padang rumput yang terbelakang tiba-tiba memiliki kejeniusan dalam ilmu perang, kemampuan untuk mengilhami kesetiaan para pengikutnya, atau keterampilan yang belum pernah ada sebelumnya untuk mengorganisir pasukan militer dalam skala global.
Pengetahuan yang dimilikinya bukan berasal dari pencerahan epifani ataupun sekolah formal, melainkan dari siklus pembelajaran pragmatis, adaptasi eksperimental, dan revisi yang berlangsung terus-menerus yang didorong oleh pikiran disiplinnya yang unik dan kemauan yang kuat untuk terus fokus. Karir perjuangannya dimulai jauh hari sebelum sebagian besar prajuritnya ketika menyerang Khwarizmia dilahirkan.
Dalam setiap peperangan dia mempelajari sesuatu yang baru. Dari setiap pertempuran, dia memperoleh lebih banyak pengikut dan teknik pertempuran tambahan. Dalam setiap perjuangan, dia menggabungkan ide-ide baru ke dalam taktik, strategi, dan penggunaan senjata militernya yang terus berubah dan berimprovisasi. Dia tidak pernah berperang dengan cara yang sama di mana pun dan kapan pun.[5]
Dengan menaklukkan Khwarizmia, Genghis Khan bukan hanya menyerang sebuah kerajaan yang baru berdiri hanya dua belas tahun lebih tua dari bangsa Mongol itu sendiri, tetapi lebih dari itu, dia telah menyerang seluruh peradaban kuno. Tanah Muslim pada abad ketiga belas adalah penggabungan dari peradaban Arab, Turki, dan Persia. Wilayah Muslim adalah wilayah terkaya di dunia dan paling canggih pada hampir setiap cabang pembelajaran, mulai dari astronomi dan matematika, hingga agronomi dan linguistik. Mereka juga memiliki tingkat literasi tertinggi di dunia dibanding peradaban mana pun.
Dibandingkan dengan Eropa dan India, di mana hanya pendeta yang bisa membaca, atau di China, di mana hanya birokrat pemerintahan yang bisa, hampir setiap desa di dunia Muslim memiliki setidaknya beberapa pria yang bisa membaca Alquran dan menafsirkan hukum Islam. Sementara di saat Eropa, China, dan India hanya mencapai tingkat peradaban paling jauh secara regional, lain halnya dengan umat Islam, mereka adalah yang paling dekat dengan peradaban berkelas dunia. Peringkat dunia Islam pada waktu itu begitu jauh melampaui peradaban lainnya, mereka memiliki kemampuan berdagang, teknologi, dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. Namun ketimbang dengan tempat lain, justru di tempat inilah bangsa Mongol paling banyak membuat kerusakkan.[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 106.
[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 1.
[3] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Op.Cit., hlm 115-120.
[4] Jack Weatherford, Op.Cit., Chapter 5.
[5] Ibid., Chapter 1.
[6] Ibid., Chapter 5.