Untuk pertama kalinya, Genghis Khan memerintahkan pemusnahan massal, tidak terkecuali, termasuk anak-anak, ibu hamil, dan bahkan hewan. Setelahnya, Bamiyan berubah nama menjadi Mau-Baligh, yang dalam bahasa Persia berarti “Kota Terkutuk.”
Setelah kematian Mutugen, cucu kesayangannya, Genghis Khan tidak membiarkan dirinya larut dalam rasa sakit, menderita, menangis, ataupun berduka. Setiap kali menghadapi kesulitan besar atau derita hati, Genghis Khan menyalurkannya ke dalam pertempuran. “Bunuh, tidak perlu berduka.” Dia mengubah kesedihan yang menyakitkan menjadi amarah besar yang ditumpahkannya kepada orang-orang lembah Bamiyan. Genghis Khan turun langsung ke medan pertempuran. Tidak ada seorang pun — kaya atau miskin, cantik atau jelek, baik atau buruk — yang akan lolos dari kejarannya.[1]
Dalam usaha menaklukkan Bamiyan, pasukan Mongol mengamuk, mereka ingin segera merebut kota. Dan ketika kota itu jatuh, Genghis Khan memberi perintah pemusnahan total, sebagaimana dikatakan oleh Juvaini, “Genghis Khan memberi perintah bahwa setiap makhluk hidup, mulai dari manusia hingga hewan, harus dibunuh; tidak ada tawanan yang mesti diambil; bahkan anak dalam rahim ibunya pun tidak diampuni; dan untuk selanjutnya tidak ada makhluk hidup yang boleh tinggal di sana.”[2]
Genghis Khan kemudian menamai tempat itu dengan sebutan Mau-Baligh, yang dalam bahasa Persia berarti “Kota Terkutuk.” Dan dalam dalam jangka waktu yang sangat lama, konon tidak ada seorang pun yang tinggal di sana.[3] Di kemudian hari lembah itu akhirnya ditempati oleh suku Hazara. Kata hazara berasal dari bahasa Persia yang artinya “sepuluh ribu.” Suku ini mengaku sebagai keturunan dari salah satu Tumen (kesatuan militer Mongol yang terdiri dari 10.000 prajurit) Genghis Khan.[4]
Dalam sebuah novel roman-historis yang berjudul The Kite Runner, penulisnya, Khaled Hosseini, seorang warga Amerika Serikat kelahiran Afghanistan, menggambarkan tentang sosok orang-orang Hazara di era modern. Menurutnya orang-orang Hazara bermata coklat, biru, atau hijau; hidung mereka pesek; dan terlihat seperti orang China. Di Afghanistan, mereka menempati posisi sebagai warga kelas dua, seringkali menerima ejekan-ejekan seperti si pemakan tikus, si hidung pesek, atau si keledai pengangkut.
Karena orang-orang Hazara menganut Syiah, mereka seringkali mengalami persekusi dari orang-orang Pashtun, suku terbesar di Afghanistan yang menganut Sunni. Pada abad ke-19, orang-orang Pashtun mengusir orang-orang Hazara dari Bamiyan, membakar rumah mereka, dan menjual wanita-wanita mereka.[5] Meski Hazara keturunan Mongol, namun mereka berbicara dalam bahasa Persia kuno. Ketika masuk ke era berkuasanya Taliban, suku Hazara mengalami kembali penganiayan berat oleh orang-orang Taliban.[6]
Mari kita kembali kepada kisah Genghis Khan. Chagatai, ayah Mutugen, baru tiba di Bamiyan setelah pertempuran usai. Chagatai mencari-cari Mutugen. Adalah Genghis Khan sendiri yang memberitahu langsung tentang kematian Mutugen kepada Chagatai dalam sebuah acara makan-makan bersama anak-anaknya yang lain, Ogodei dan Tolui. Genghis Khan memberitahu anaknya dengan dingin dan tanpa ekspresi, seraya berkata, “Namun aku melarangmu untuk menangis, bersedih, atau mengeluhkan tentang hal ini dalam bentuk apapun.” Meski sangat terkejut dan ingin tahu lebih banyak, dia memaksakan agar menahan diri dan membuat air matanya tidak mengalir. Selesai acara makan, Chagatai bergegas keluar dan menyepi sendirian untuk menumpahkan dukanya. [7]
Dari Bamiyan, Genghis Khan dan pasukan besarnya berangkat menuju Ghazna, tempat di mana Sultan Jalal ad-Din Mingburnu berada. Ketika mendengar Genghis Khan mendekat, meski Jalal ad-Din sebelumnya meraih kemenangan atas pasukan Mongol, namun karena sebagian pasukannya terluka akibat pertempuran sebelumnya, dia memutuskan untuk melarikan diri ke arah barat laut India.[8]
Ketika Genghis Khan memulai perjalanan, dia sudah tertinggal lima belas hari perjalanan di belakang Jalal ad-Din. Genghis Khan kemudian memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan semua barang bawaan dan melaju dengan kecepatan tinggi. Perjalanan ini adalah salah satu perjalanan terberat bagi pasukan Mongol, karena mereka hanya diperkenankan untuk berhenti dan makan per dua hari. Dengan kecepatan yang mencengangkan, Genghis Khan akhirnya melewati Ghazna dan berhasil menyusul Jalal ad-Din di tepi Sungai Indus pada akhir September tahun 1221.[9]
Genghis Khan tiba secara mengejutkan pada saat matahari terbit ketika Jalal ad-Din sedang mengatur pasukannya untuk menyeberangi Sungai Indus. Perjalanan Jalal ad-Din sempat tertunda sebelumnya karena dia bertemu dengan kerumunan pengungsi yang ingin bergabung dengan pasukannya. Para pengungsi ini ternyata tidak memiliki kemampuan militer yang mumpuni, sehingga mereka malah menjadi beban. Selain itu, Jalal ad-Din juga harus memberi mereka makan, namun hanya sedikit timbal balik yang diperolehnya.
Selain membawa pasukan, Jalal ad-Din juga membawa anggota keluarganya yang tersisa, termasuk putra-putranya. Dari kejauhan, Jalal ad-Din melihat Genghis Khan dengan pose tensi berperang yang tinggi. Selain karena telah kehilangan cucu kesayangannya, Genghis Khan juga telah dipermalukan oleh Jalal ad-Din, karena untuk pertama kalinya pasukan Mongol telah dikalahkan olehnya. Dengan situasi seperti ini Jalal ad-Din tidak melihat pilihan lain selain mesti menghadapi Genghis Khan dengan peperangan.[10] (PH)
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 5.
[2] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 133.
[3] Ibid.
[4] Jack Weatherford, Loc.Cit.
[5] Khaled Hosseini, The Kite Runner (Riverhead Books, 2005), hlm 8, 9, 11.
[6] John Ford Shroder, “Afghanistan” (Microsoft Encarta Encyclopedia, 2009).
[7] Frank McLynn, Genghis Khan: His Conquests, His Empire, His Legacy (Da Capo press, 2015), hlm 305-306.
[8] Ibid., hlm 306-307.
[9] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Loc.Cit.
[10] Frank McLynn, Op.Cit., hlm 308.