Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (61): Jalal ad-Din Mingburnu, Sultan Terakhir Khwarizmia (1)

in Sejarah

Last updated on April 25th, 2019 02:45 pm


Di Bamiyan, Mutugen, cucu kesayangan Genghis Khan tewas terkena panah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Genghis Khan menangis ketakutan, marah, dan juga mengalami kesedihan yang tidak tertahankan.

Monumen Jalal ad-Din Mingburnu di Urgench, Uzbekistan di masa kini. Foto Daily Sabah

Pada artikel sebelumnya kita telah menjelaskan, bahwa setelah tewasnya Sultan Muhammad II, takhta Kesultanan Khwarizmia diserahkan kepada putranya yang bernama Jalal ad-Din Mingburnu. Kali ini kita akan melanjutkan kisahnya.

Di tengah kesulitan karena terus mengalami perburuan dari bangsa Mongol, Sultan Jalal ad-Din Mingburnu masih dapat mempertahankan takhtanya dengan cukup lama (1220-1231). Dia akan menjadi keturunan terakhir dari Anushtigin Gharchai, pendiri Kesultanan Khwarizmia, yang menjadi Sultan Khwarizmia.[1] Karena kegigihannya melawan Mongol, Genghis Khan sendiri dilaporkan menaruh kekaguman terhadap Jalal ad-Din.[2]

Jalal ad-Din sebenarnya tidak pernah memerintah Khwarizmia selain dengan waktu yang sangat singkat. Namanya, Mingburnu, dalam bahasa Turki artinya adalah “yang diberikan surga” atau “yang diberikan Tuhan”. Dalam bahasa Persia, Mingburnu juga memiliki kesetaraan dengan kata hazarmard yangartinya adalah “pemiliki ribuan pengikut.”

Setelah kematian ayahnya di sebuah pulau di lepas pantai Kaspia pada bulan Desember 1220, Jalal ad-Din dan berbagai anggota keluarganya melarikan diri melalui semenanjung Mangyshlak di sisi timur Kaspia menuju ke Gorganj (sekarang berada di Turkmenistan), kota besar Khwarizmia lainnya. Dia datang ke Gorganj tepat sebelum kota itu diserang oleh Chagatai dan Ogodei melalui pengepungan yang panjang. Gorganj akhirnya dapat dihancurkan kemudian oleh Mongol pada tahun 1221.

Di Gorganj, Jalal ad-Din mesti berhadapan dengan komandan-komandan Turki yang tidak menyukainya. Pasalnya, tadinya Gorganj akan diserahkan kepada Qutb ad-Din Uzlaq-Shah, adik Jalal ad-Din. Dengan kedatangan Jalal ad-Din yang merupakan penguasa tertinggi Khwarizmia, rencana tersebut dibatalkan. Namun Jalal ad-Din khawatir, para petinggi militer di Gorganj akan berkhianat kepadanya, sehingga dia memutuskan untuk pergi dari sana dan menuju ke selatan, ke Ghazna (sekarang berada di Afghanistan).

Ghazna dulunya merupakan wilayah Dinasti Ghurid, namun kota ini berhasil ditaklukkan oleh Muhammad II, dan sebelum meninggal, Muhammad II menjanjikan bahwa kota ini akan diserahkan kepada Jalal ad-Din. Untuk mencapai Ghazna, Jalal ad-Din mesti menghindari pasukan pengintai Mongol yang berada di Khorasan utara, dan sebelum sampai, Jalal ad-Din sempat mengalahkan pasukan kavaleri Mongol lainnya yang berada di dekat Nasa.[3]

Sesampainya di Ghazna, Jalal ad-Din disambut dengan hangat. Di sana dia dengan cepat mendirikan basis kekuatannya. Dengan dukungan dari suku-suku Ghuris, Turki, dan Khalaj, dia berhasil mengumpulkan sekitar 60.000 pasukan. Dengan kekuatan barunya ini, Jalal ad-Din berani berkonfrontasi langsung dengan pasukan Mongol. Di Parwan, dia bertempur dengan pasukan pendahulu Mongol yang dipimpin oleh Jenderal Mongol, Tekechuk dan Molghor. Jalal ad-Din berhasil mengalahkan mereka, dan bukan hanya itu, ketika pasukan Mongol lainnya yang lebih besar datang, yang dipimpin oleh Shigi-Khutukhu, adik angkat Genghis Khan dari suku Tatar, dia juga berhasil mengalahkan mereka lagi.[4]

Genghis Khan yang sedang bertempur di Talaqan (sekarang berada Afghanistan, jaraknya menuju Ghazna sekitar 500 km), ketika mendengar berita ini sangat terkejut, karena untuk pertama kalinya pasukan Mongol dapat dikalahkan oleh pasukan Khwarizmia.[5] Juvaini mengatakan, “Genghis Khan sangat ingin bertemu dengannya (Jalal ad-Din).” Namun Genghis Khan mesti menyelesaikan pertempurannya terlebih dahulu di Talaqan, dia baru bergegas menuju ke Ghazna satu bulan kemudian.[6]

Genghis Khan dan pasukan besarnya berangkat menuju ke Ghazna, namun di tengah perjalanan, mereka harus berhadapan terlebih dahulu dengan orang-orang Bamiyan, yang melakukan perlawanan dengan sengit.[7] Bamiyan adalah lembah indah yang kini berada di Afghanistan, sebuah tempat yang menjadi situs ziarah penganut Buddha dan rumah bagi patung-patung terbesar di dunia. Para penyembah kuno telah mengukir patung raksasa Buddha di lereng gunung di sana.[8]

Patung Buddha Bamiyan, foto kiri diambil pada tahun 1963. Sumber: UNESCO. Foto kanan, diambil setelah dibom oleh Taliban pada tahun 2001. Sumber: Tsui/Wikimedia. Di hadapan patung raksasa setinggi 55 m inilah pasukan Mongol Genghis Khan bertempur dengan penduduk Bamiyan pada tahun 1221.

Kedua belah pihak, baik Mongol dan Bamiyan sama-sama memiliki panah dan ketapel raksasa pelontar batu. Penduduk Bamiyan melakukan perlawanan dengan sengit, dan di tengah pertempuran, secara tiba-tiba sebuah panah menembus tubuh anak muda yang bernama Mutugen, dia adalah putra dari Chagatai, sekaligus cucu kesayangan Genghis Khan.[9] Genghis Khan sebelumnya dilaporkan pernah menangis di muka umum berkali-kali dalam hidupnya, namun emosinya tidak pernah terprovokasi lebih jauh. Tetapi kali ini, dihadapkan dengan kenyataan kematian orang yang paling dia cintai lebih dari siapapun, dia menangis ketakutan, marah, dan juga mengalami kesedihan yang tidak tertahankan.[10] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1]  Encyclopædia Iranica, “Jalāl-al-Din Ḵvārazmšāh (I) Mengübirni”, dari laman http://www.iranicaonline.org/articles/jalal-al-din-kvarazmsahi-mengbirni, diakses 24 April 2019.

[2] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 134.

[3] Encyclopædia Iranica, Op.Cit.

[4] Peter Jackson, The Mongols and The Islamic World (Yale University Press, 2017), hlm 80.

[5] Ibid.

[6] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Op.Cit., hlm 132.

[7] Ibid.

[8] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 5.

[9] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Op.Cit., hlm 132-133.

[10] Jack Weatherford, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*