Mozaik Peradaban Islam

Ibrahim bin Adham (2): Pertemuan dengan Nabi Khidr AS (1)

in Tasawuf

Last updated on February 7th, 2021 02:26 pm

Suatu malam Ibrahim tertidur di istananya. Tengah malam atap bederak, seseorang berjalan di atas. “Siapa di sana?” dia berteriak. “Seorang sahabat,” jawabnya.

Foto: Lukisan tentang Nabi Khidr, peninggalan dari Dinasti Mughal pada abad ke-17

Ibrahim bin Adham di dalam legenda dikenal luas sebagai penguasa Balkh, Khurasan (daerah ini sekarang meliputi sebagian Iran, Afghanistan, dan Asia Tengah), yang turun takhta untuk menjalani kehidupan zuhud.

Namun menurut N. Hanif, penulis buku Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, status Ibrahim sebagai raja ini tidak memiliki dasar historis. N. Hanif melakukan penelusuran sejarah yang berujung kepada kesimpulan, bahwa orang pertama yang menyematkan status raja kepada Ibrahim adalah al-Sulami (wafat 412 H/1021 M).

Al-Sulami menggambarkan bahwa Ibrahim adalah seorang raja yang pernah bertemu dengan Nabi Khidr yang hidupnya abadi, dan kemudian setelahnya legenda ini seterusnya menjadi berakar kuat dalam kisah kehidupan Ibrahim yang ditulis pada masa-masa selanjutnya.

Anekdot-anekdot ini pada umumnya mengaitkan bahwa mundurnya Ibrahim dari takhta kekuasaan adalah karena pertobatan: kisah-kisah ini dapat dikelompokkan ke dalam sekitar sepuluh tema berbeda, misalnya bahwa dia bertobat setelah menyaksikan kebahagiaan sempurna seorang pengemis yang dia lihat sedang duduk di bawah naungan istana; atau bahwa dia telah diperingatkan oleh Khidr, yang menyamar sebagai seorang fakir, tentang sifat fana dunia ini.[1]

N. Hanif dan juga A. J. Arberry (penerjemah Tadhkirat al-Awliya karya Farid al-Din Attar) bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa legenda Ibrahim bin Adham adalah tiruan atau modifikasi dari kisah kehidupan Siddhartha Gautama, yang kelak menjadi Sang Buddha.[2]

Tetapi bagaimanapun memang kisah para sufi selalu dipenuhi oleh kisah-kisah yang dipenuhi dengan karamah (kejadian-kejadian luar biasa/keajaiban). Seolah-olah menjawab keraguan orang-orang, Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi wanita terkemuka, ketika ditanya mengapa dia memiliki karamah, dia berkata, “Siapa pun yang mengikuti jejak Nabi dapat memiliki setitik kenabian.”[3]

Terlepas dari perdebatan bahwa kisah-kisah tentang sufi ini sebatas khayalan atau kenyataan, tidak ada salahnya kita menyimak kisah-kisah tersebut, karena banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dari sana.

Kisah pertobatan Ibrahim ini di antaranya dituliskan oleh Farid al-Din Attar (wafat 1220 M), seorang penyair Persia yang juga dianggap sebagai salah satu sufi mistik terbesar, dalam Tadhkirat al-Awliya (Kisah Hidup para Manusia Suci) pada tahun 1177 M.[4]

Berikut ini adalah kisah pertobatan Ibrahim bin Adham yang ditulis oleh Farid al-Din Attar:

Perjalanan kesucian Ibrahim bin Adham dimulai dengan cara berikut ini. Dia adalah Raja Balkh, dan seluruh dunia berada di bawah perintahnya; empat puluh pedang emas dan empat puluh tongkat kebesaran dari emas digotong di hadapan dan di belakangnya.

Suatu malam dia tertidur di ranjang istananya. Pada tengah malam atap bangunannya bederak, seolah-olah seseorang sedang berjalan di atas atap.

“Siapa di sana?” dia berteriak.

“Seorang sahabat,” jawabnya. “Aku kehilangan seekor unta, dan sedang mencarinya di atas atap ini.”

“Bodoh, bagaimana engkau mencari unta di atas atap?” teriak Ibrahim.

“Orang yang lalai,” jawab suara itu, “apakah engkau mencari Allah dengan pakaian yang terbuat dari sutra, tertidur di atas ranjang emas?”

Kata-kata ini memenuhi hatinya, terus terngiang-ngiang. Api berkobar dalam dirinya, dan dia tidak bisa tidur lagi.

Ketika siang tiba dia kembali ke mimbar dan duduk di singgasananya, tenggelam dalam perenungan, bingung dan banyak pikiran. Para menteri kenegaraan masing-masing berdiri di tempatnya; para budaknya diposisikan dalam barisan yang berdempetan. Protokoler istana diserukan.

Tiba-tiba seorang pria dengan wajah yang penuh kekaguman memasuki aula, begitu mengherankan untuk dilihat sehingga tidak ada rombongan dan pelayan kerajaan yang sempat untuk menanyakan namanya; lidah semua orang tercekat sampai ke tenggorokan mereka. Dia jalan ke depan dengan keanggunan sampai dia berdiri di depan singgasana.

“Apa yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.

“Aku baru saja tiba di karvansaray (bahasa Persia, artinya adalah: penginapan untuk para musafir atau pedagang) ini,” kata orang itu.

“Ini bukan karvansaray. Ini istanaku. Engkau gila!” seru Ibrahim.

“Siapa yang memiliki istana ini sebelum engkau?” tanya orang itu.

“Ayahku,” jawab Ibrahim.

“Dan sebelum dia?”

“Kakekku.”

“Dan sebelum dia?”

“Si fulan dan si fulan dan seterusnya.”

“Dan sebelum dia?”

“Ayah dari si fulan dan si fulan, dan seterusnya.”

“Kemana mereka semua pergi?” tanya orang itu.

“Mereka telah pergi. Mereka sudah mati,” jawab Ibrahim.

“Kalau begitu, bukankah ini karvansaray yang dimasuki seseorang dan pergi, begitu pula yang lainnya?”

Melalui kata-kata tersebut orang asing itu menghilang. Dia adalah Khidr alaihi salam. Api berkobar lebih dahsyat di dalam jiwa Ibrahim, dan penderitaan di dalam dirinya bertambah dengan begitu cepat. Penglihatan di siang hari diikuti oleh terdengarnya suara-suara di malam hari, sama-sama misterius dan tidak dapat dipahami. [5] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis (South Asia), (Sarup & Sons: New Delhi, 2000), hlm 153.

[2] Pengantar oleh  A. J. Arberry dalam Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 65.

[3] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 38-39.

[4] Encyclopaedia Britannica, “Farīd al-Dīn ʿAṭṭār”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Farid-al-Din-Attar, diakses 22 Januari 2020.

[5] Farid al-Din Attar, Op.Cit., hlm 65-67.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*