Di bawah Shah Jahan, Dinasti Mughal mencapai puncak peradabannya. Taj Mahal dan Masjid Agung Delhi, bersama monumen-monumen lainnya, didirikan oleh Shah Jahan.
Di antara seluruh kaisar dari Dinasti Mughal, Akbar dikenal sebagai kaisar terbesar dan yang paling cakap dalam memimpin. Di bawah Akbar, Dinasti Mughal dibangun dan dikonsolidasikan kembali. Melalui peperangan tanpa henti, dia mampu menganeksasi semua bagian utara dan tengah dari India tengah. Tetapi setelahnya, dia mengadopsi kebijakan perdamaian terhadap rakyat Hindu dan berusaha mendaftarkan mereka dalam pasukan dan dinas pemerintahannya.[1]
Struktur politik, administrasi, dan militer yang dia ciptakan untuk memerintah kekaisaran adalah faktor utama di balik kelangsungan Dinasti Mughal selama satu setengah abad. Pada kematian Akbar tahun 1605, wilayah kekuasaan Dinasti Mughal telah meluas sampai Afghanistan hingga ke Teluk Benggala dan ke selatan ke tempat yang sekarang menjadi negara bagian Gujarat dan wilayah Deccan utara (semenanjung India).[2]
Putra Akbar, Kaisar Jahangir (memerintah pada 1605–1627), melanjutkan sistem administrasi ayahnya dan kebijakannya yang toleran terhadap agama Hindu. Dengan cara yang sama dia mampu melanjutkan kesuksesan ayahnya. Kekuasaan Jahangir kemudian dilanjutkan oleh putranya, Shah Jahan (memerintah tahun 1628–1658). Shah Jahan memiliki hasrat yang begitu besar untuk membangun, dan di bawah pemerintahannya Taj Mahal dan Masjid Agung Delhi, bersama monumen-monumen lainnya, didirikan.[3]
Benteng Merah Agra, yang dibangun oleh kakeknya, direnovasi secara signifikan, dan bentuknya tetap bertahan sampai dengan yang dapat kita lihat pada hari ini. Shah Jahan menghancurkan beberapa bangunan di dalam benteng dan membangunnya kembali sesuai dengan selera arsitekturnya sendiri. Di bawah Shah Jahan, Dinasti Mughal mencapai puncak peradabannya.[4] Sayangnya, generasi penerus Shah Jahan tidak memiliki kecakapakan sebagaimana para pendahulunya. Sistem administrasi yang mempekerjakan orang-orang non-Muslim dihapuskan, situs-situs agama Hindu dihancurkan, dan pengikut-pengikut agama minoritas dipersekusi. Cara-cara seperti ini ternyata berujung fatal, Dinasti Mughal sedang menggali sendiri kehancurannya.[5]
Selama abad ke-18, Dinasti Mughal terus-menerus diganggu oleh berbagai pemberontakan dan juga serangan dari dinasti lainnya. Selama periode ini, Benteng Agra beberapa kali terus berganti kepemilikan. Benteng ini telah menjadi saksi bisu kehidupan kaisar dari berbagai macam dinasti, di antaranya kaisar dari Dinasti Mughal itu sendiri, Kerajaan Iran di bawah Nadir Shah, Dinasti Durani, dan Dinasti Maratha.[6]
Di bawah kekuasaan Muḥammad Shah (memerintah pada 1719–1748), Dinasti Mughal benar-benar sedang menuju kehancurannya. Setelah kematian Muḥammad Shah pada tahun 1748, Dinasti Maratha menyerbu dan menguasai hampir seluruh India utara. Dinasti Mughal terdesak dan hanya menguasai sebagian kecil wilayah Delhi.[7] Pada tahun 1761, Dinasti Maratha mengalami kekalahan besar di tangan Ahmad Shah Durrani, pendiri Dinasti Durrani. Kaisar dinasti Durrani menjadikan Benteng Merah Agra sebagai kediaman mereka sampai tahun 1785. Pada tahun 1785, benteng tersebut direbut kembali oleh Dinasti Maratha di bawah pemerintahan Mahadji Shinde.[8]
East India Company
Pada tahun 1600, sekelompok saudagar di London yang dipimpin oleh Sir Thomas Smythe mengajukan petisi kepada Ratu Elizabeth I untuk memberi mereka piagam kerajaan. Piagam ini berfungsi sebagai izin agar mereka dapat melakukan perdagangan dengan negara-negara dunia di belahan timur. Ratu Elizabeth pun memberikan mereka izin dengan menerbitkan piagam kerajaan. Melalui piagam ini, maka pada tanggal 31 Desember 1600 The British East India Company resmi berdiri.[9]
East India Company memperdagangkan banyak barang, di antaranya teh, sutra, kapas, garam, potassium nitrat (yang digunakan untuk membuat bahan peledak), dan opium. Pada waktunya mereka akan tumbuh menjadi perusahaan terbesar di dunia dan bertanggung jawab atas separuh perdagangan global Inggris.[10]
Di antara negara-negara di dunia tempat mereka berdagang, pada pertengahan tahun 1740-an, East India Company juga beroperasi di India. Di sana mereka mesti bersaing dengan perusahaan dagang Eropa lainnya, dan juga para penguasa lokal, sehingga mereka merasa perlu untuk mendirikan kekuatan militer untuk melindungi kepentingan dagang mereka. Pada fase ini, perusahaan telah berkembang dari yang tadinya perusahaan komersial murni menjadi terjun ke wilayah politik dan militer.[11]
Meskipun secara administratif pada waktu itu India masih dikuasai oleh Dinasti Mughal, namun secara de facto, East India Company mampu menyusup ke dalam relung-relung kekuasaan Dinasti Mughal yang sedang sakit. Pada tahun 1756, East India Company telah mengambil alih Bombay dan dengan segera mereka juga menguasai sebagian besar anak benua dari ibu kota Mughal, Delhi, sampai ke wilayah pesisir selatan. Kaisar Dinasti Mughal pada waktu itu adalah Shah Alam, namun sepenuhnya, melalui tekanan ekonomi dia telah dikendalikan oleh Gubernur East India Company.[12] Terlebih pada waktu itu Dinasti Mughal sedang berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya dari serangan-serangan dinasti lainnya.[13]
Pada periode 1785–1800-an awal, dengan melemahnya Dinasti Mughal, Dinasti Maratha telah menjadi satu-satunya kekuatan besar di India. Bagaimanapun, oleh East India Company Dinasti Maratha dianggap sebagai sebuah hambatan yang dapat menghalangi mereka untuk menguasai India sepenuhnya. Peperangan pun tidak terelakkan, pada September 1803 Dinasti Maratha berperang melawan East India Company.[14] Pada akhirnya Dinasti Maratha menyerah, dan Benteng Merah Agra mesti diserahkan kepada East India Company.[15]
Adapun mengenai Dinasti Mughal sendiri, dinasti ini benar-benar diruntuhkan pada tahun 1857. Kaisar terakhirnya, Bahadur Shah II (memerintah pada 1837–1857), diasingkan ke Yangon, Myanmar (Rangoon, Burma) oleh Inggris setelah dituduh terlibat dalam Pemberontakan India terhadap Inggris pada tahun 1857-1988.[16] Dari sejak tahun 1803, setelah mengalahkan Dinasti Maratha, Inggris menjadi pemilik Benteng Merah Agra sampai diserahkan kembali kepada pemerintah India pada tahun 1947 setelah kemerdekaannya.[17] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Benteng Merah Agra (1): Jejak Peradaban Mongol-Islam di India
Catatan Kaki:
[1] “Mughal dynasty”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Mughal-dynasty, diakses 27 Januari 2019.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Cultural India, “Agra Fort”, dari laman https://www.culturalindia.net/indian-forts/agra-fort.html, diakses 27 Januari 2019.
[5] “Mughal dynasty”, Ibid.
[6] Cultural India, Ibid.
[7] “Mughal dynasty”, Ibid.
[8] Cultural India, Ibid.
[9] Andrea Major, “The East India Company: How a trading corporation became an imperial ruler”, dari laman https://www.historyextra.com/period/tudor/the-east-india-company-how-a-trading-corporation-became-an-imperial-ruler/, diakses 20 Juli 2018.
[10] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 257.
[11] Margaret Makepeace, “A Brief History of the English East India Company 1600–1858”, dari laman https://www.qdl.qa/en/brief-history-english-east-india-company-1600%E2%80%931858, diakses 20 Juli 2018.
[12] William Dalrymple, “The East India Company: The original corporate raiders”, dari laman https://www.theguardian.com/world/2015/mar/04/east-india-company-original-corporate-raiders, diakses 20 Juli 2018.
[13] “Mughal dynasty”, Ibid.
[14] Monica Roy, “Rise and Fall of the Maratha Power | Indian History”, dari laman http://www.historydiscussion.net/history-of-india/rise-and-fall-of-the-maratha-power-indian-history/6345, diakses 27 Januari 2019.
[15] Cultural India, Ibid.
[16] “Mughal dynasty”, Ibid.
[17] Cultural India, Ibid.