Mozaik Peradaban Islam

Ayuba Suleiman Diallo (9): Pulang ke Afrika

in Tokoh

Last updated on November 29th, 2019 02:03 pm

Ketika Ayuba pulang ke kotanya, dalam sebuah selebrasi, dia menembakkan senjatanya ke udara dan memacu kudanya berputar-putar dengan kencang. Ayuba adalah budak Afrika kedua yang dapat kembali pulang ke rumahnya.

Foto ilustrasi, seorang kepala suku Fulani mengendarai kuda untuk memberi hormat kepada Amir di Katsina pada akhir festival Muslim Ramadaan di Nigeria utara. Foto: Ken Heyman — Rapho/Photo Researchers

Setelah sekian lama tinggal di Inggris, pada tahun 1734 Ayuba Suleiman Diallo akhirnya berlayar pulang ke negaranya dengan bantuan dari Royal African Company, sebuah perusahaan asal Inggris yang memiliki bisnis utama perdagangan emas, perak, dan budak dari Afrika Barat.[1]

Seperti yang telah diduga oleh Ayuba sebelumnya, bahwa kebebasan yang dia peroleh – yang dibantu oleh orang-orang Royal African Company – bukanlah sesuatunya yang gratis. Sebelum kepulangannya, di London, para kolonialis Royal African Company meminta Ayuba bekerja untuk mereka.

Mereka berharap koneksi Ayuba di Afrika Barat dapat membantu mereka dalam membangun hubungan yang lebih kuat untuk perdagangan di wilayah Senegambia, khususnya perdagangan gading, getah pohon karet, dan emas. Ayuba memenuhi permintaan mereka.[2]

Ayuba pulang ke tanah kelahirannya dengan membawa surat-surat dari Royal African Company yang merekomendasikan kepada para petugas mereka di Gambia untuk mendampingi Ayuba “dengan rasa hormat terbesar dan segala keramahan yang mungkin kalian bisa.”[3]

Ayuba menapakkan kakinya dengan selamat di Afrika pada 8 Agustus 1734 di Fort James, Gambia. “Atas izin Allah,” tulis Ayuba. Dari sana dia memulai perjalanannya kembali ke kota asalnya di Bundu, Senegal. Dia ditemani oleh Francis Moore, seorang Inggris, petugas Royal African Company.[4]

Dalam suatu ketidaksengajaan yang luar biasa, pada malam pertama perjalanan mereka, Ayuba bertemu dengan orang-orang yang telah menculiknya tiga tahun sebelumnya. Francis Moore memberikan kesaksiannya ketika peristiwa ini terjadi.

“Job (panggilan Ayuba ketika di Amerika dan Inggris), seseorang yang sangat tenang pada waktu-waktu lain, tidak bisa menahan diri ketika melihat mereka, tetapi jatuh ke dalam hasrat yang paling mengerikan, dan hendak membunuh mereka dengan pedang lebar dan pistolnya, yang mana selalu dia bawa untuk menjaga dirinya,” tulis Moore.

Namun Ayuba urung melakukannya, dia malah berbicara kepada bekas para penculiknya itu. Dia bertanya tentang raja mereka dan dari sana dia mengetahui bahwa “di antara barang-barang dari hasil penjualan Job kepada Kapten Pyke terdapat sebuah pistol, yang biasa dikenakan oleh sang Raja dengan cara digantung di lehernya memakai seutas tali…., suatu hari (pistol) ini tidak sengaja meletus, dan pelurunya bersarang di tenggorokannya, dia tewas seketika.”

Ayuba kemudian berlutut dan “mengembalikan rasa syukurnya kepada Mahomet (pelafalan orang barat pada masa itu untuk menyebut Nabi Muhammad) karena telah membuat orang ini mati oleh barang-barang dari hasil penjualannya ke dalam perbudakan.”

Ada banyak yang harus disyukuri, karena Ayuba hanyalah orang kedua, seperti yang dikatakan oleh seorang Pulo (Fulani) kepada Moore, “yang pernah diketahui kembali ke negara ini, setelah dibawa menjadi budak oleh orang kulit putih,” demikianlah menurut laporan Moore.

Sewaktu masih di Inggris, Ayuba mengirim surat kepada ayahnya, memberitahunya bahwa dia masih hidup dan kini telah merdeka dari perbudakan, dan dalam waktu dekat dia akan segera pulang. Surat ini sampai kepada ayahnya dan keluarganya tahu bahwa Ayuba akan pulang dalam waktu yang telah ditentukan.[5]

Kini, setelah tiba di tanah Afrika, karena ada beberapa urusan terkait pekerjaannya di Royal African Company, Ayuba dan Moore harus mengurus beberapa hal terlebih dahulu di sekitar Sungai Gambia, sebelum dia sampai di rumahnya, dia mengirim kurir untuk menyampaikan pesan bahwa dia sudah tiba di Afrika.

Ketika kurir itu kembali, Ayuba menerima berita menyedihkan dari keluarganya, mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal saat dia masih di Inggris, dan Bundu telah hancur lebur karena perang mengerikan yang bahkan tidak menyisakan “seekor sapi pun.”[6]

Mendengar berita ini, Ayuba menangis sedih. Tetapi paling tidak, dia juga menerima berita baik, bahwa keempat anaknya baik-baik saja.[7]

Meskipun dikelilingi oleh bahaya peperangan dan perampokan, pada tahun 1735, Ayuba ditemani oleh teman Inggrisnya akhirnya tiba di kota kelahirannya. Ketika Ayuba tiba di sana, dalam sebuah selebrasi, dia menembakkan senjatanya ke udara dan memacu kudanya berputar-putar dengan kencang.

Ayuba mendapatkan semua anak-anaknya sehat, dan dia berpuasa dari fajar hingga senja selama sebulan penuh, mungkin untuk memenuhi sumpah yang telah dia buat jika suatu waktu dia dapat bebas kembali ketika pertama kali ditangkap pada tahun 1730 atau 1731.[8] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Sarah Pruitt, “What was the Royal African Company?”, dari laman https://www.history.com/news/what-was-the-royal-african-company, diakses 27 November 2019.

[2] Lowcountry Digital History Initiative, “Ayyuba Suleiman Diallo (Job Ben Solomon) (1701-1773)”, dari laman https://ldhi.library.cofc.edu/exhibits/show/african-muslims-in-the-south/five-african-muslims/ayyuba-suleiman-diallo, diakses 27 November 2019.

[3] Sylviane A. Diouf, Servants of Allah: African Muslims Enslaved in the Americas (New York University Press, 2013), hlm 233.

[4] Edward E. Curtis IV, Muslims in America (Oxford University Press, 2009), hlm 3.

[5] Sylviane A. Diouf, Loc.Cit.

[6] Edward E. Curtis IV, Op.Cit., hlm 3-4.

[7] Sylviane A. Diouf, Loc.Cit.

[8] Edward E. Curtis IV, Op.Cit., hlm 4.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*