Dinasti Abbasiyah (18): Abdullah Abu Ja’far (Al-Manshur) (3)

in Sejarah

Last updated on March 16th, 2019 01:11 pm

Setelah wafatnya Abu Muslim, para pengikutnya melakukan pemberontakan kepada Al-Manshur. Tapi yang tak disangka, ideologi politik gerakan-gerakan ini kemudian bertranformasi menjadi paham-paham baru, yang justru bertentangan, bahkan berbalik menentang ajaran Islam.

Gambar ilustrasi. Sumber:
steemit.com

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi sebelumnya. Abu Muslim al Khurasani telah dibunuh secara licik oleh Al-Manshur. Di satu sisi, hal ini membuat Dinasti Abbasiyah terbebas dari ancaman pesaing terberatnya. Tapi di sisi lain, yang mungkin tidak terlalu diperhitungkan oleh Al-Manshur, kematian Abu Muslim memicu lahirnya sejumlah pemberontakan, khususnya di daerah Khurasan yang merupakan basis pendukung Abu Muslim.

Salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin sosok bernama Sinbad. Nama aslinya adalah Fairoz. Sebelumnya, dia adalah pengikut setia Abu Muslim dan masuk Islam di bawah bimbingannya. Ketika mendengar berita kematian Abu Muslim, dia langsung bereaksi dan menuntut kompensasi dari Al-Manshur atas pembunuhan tersebut. Karena tuntutannya ditolak, dia menggalang kekuatan di Khurasan dan menyerang wilayah-wilayah kekuasaan Abbasiyah. Dalam waktu cepat, dia berhasil menaklukkan beberapa kota seperti Nishapur dan Rayy (sekarang Iran). Di tempat-tempat taklukkannya, dia menjarah harta penduduk tersebut dan memperbudak mereka.[1]

Tapi pada tahap selanjutnya, gerakan Sinbad mulai kehilangan fokus. Dia bahkan menjadi murtad dan berencana menyerang Ka’bah. Ketika Al-Manshur melihat gerakan ini semakin berbahaya, dia lalu mengirim pasukannya yang dipimpin sosok bernama Jamhur bin Murad. Keduanya bertempur di sebuah tempat antara Hamadari dan Rayy. Singkat cerita, Jamhur berhasil mengalahkan Sinbad, dan Sinbad melarikan diri ke Tabaristan. Tapi malang, di Tabaristan, dia justru dibunuh oleh gubernurnya. Al-Manshur meminta gubernur Tabaristan untuk mengirim kekayaan Sinbad, tetapi dia menolak dan melarikan diri ke Dailama.[2]

Di sisi lain, Jamhur yang semula berhasil mengalahkan Sinbad, sekarang justru membelot. Dia mengambil semua semua harta peninggalan Abu Muslim yang sebelumnya dikuasai Sinbad, dan melarikan diri ke Rayy. Di tempat ini, dia melepaskan sumpahnya dari Al-Manshur dan mendeklarasikan pemberontakan. Alhasil, Al-Manshur meminta Muhammad bin Ashath untuk memerangi Jamhur. Tak kuat menghadapi tekanan, Jamhur melarikan diri ke Isfahan, dan kemudian ke Azerbaijan. Akhirnya, Jamhur dibunuh oleh teman-temannya sendiri, dan kepalanya diserahkan kepada Khalifah Mansur.[3]

Secara umum, pada tahun pertama pemerintahannya, Al-Manshur dipaksa melalui turbulensi politik yang luar biasa. Dan gerakan-gerakan pemberontakan di awal pemerintahannya, terus berevolusi dalam beragam bentuk. Pada masa ini juga dunia Islam menyaksikan fenomena baru dalam sikap keberagamaannya. Al-Maududi menyebutkan bahwa pada masa ini lahir banyak gerakan kaum Zindiq. Dimana gerakan-gerakan politik yang muncul di awal pemerintahan Al-Manshur kemudian bersintesis dengan paham dan nilai dari berbagai kepercayaan lama, lalu membentuk ajaran dan aliran baru yang menyimpang dari Islam. Adapun landasan berdirinya paham-paham baru ini, menurut Al-Maududi adalah paham Shu’ubiyah (Chauvinisme anti-Arab).[4]

Sebagaimana sudah kita bicarakan pada edisi terdahulu, paham shu’ubiyah ini lahir sebagai efek samping dari kuatnya paham ashobiyah bangsa Arab pada masa Dinasti Umayyah. Penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan Bani Umayyah kepada masyarakat dengan mengatasnamakan superioritas bangsa Arab, telah melahirkan bibit-bibit kebencian di hati masyarakat non-Arab. Adalah Abu Muslim al Khurasani orang yang pertama memanfaatkan kebencian tersebut menjadi bahan bakar revolusi Abbasiyah. Tak disangka, setelah wafatnya Abu Muslim, semangat shu’ubiyah tersebut bertransformasi menjadi paham yang menyimpang, bahkan melawan norma-norma agama itu sendiri.[5]

Al-Maududi mengutip Al-Jahidh, yang menulis pendapatnya mengenai hal ini sebagai berikut, “Mungkin kebencian mereka terhadap Islam datang dari arah ashabiyah kesukuan. Sebab pada umumnya mereka bimbang terhadap Islam disebabkan karena mereka menganut paham shu’ubiyah dan berlarut-larut dalam perdebatan yang mengarah pada perkelahian. Sebab bila seseorang telah membenci sesuatu, dia akan membenci pula orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan bila dia membenci bahasa mereka, dia pun akan membenci tanah air mereka. Demikianlah, keadaan-keadaan seperti itu berpindah-pindah dari suatu tingkatan ke tingkatan lainnya, sehingga pada akhirnya dia akan melepaskan diri sama sekali dari Islam, karena bangsa Arablah yang telah datang membawanya.”[6]

Meluasnya paham shu’ubiyah ini, ternyata juga mewarnai corak pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Sebagaimana Al-Maududi mengutip Al-Jahidh, bahwa pemerintahan Bani Abbas telah menjadi sebuah pemerintahan yang dikuasai oleh oranng-orang Khurasan. Dan di masa pemerintahan Al-Manshur, orang-orang non-Arab telah diangkat untuk menduduki sebagian jabatan sebagai panglima-panglima tentara dan wali-wali negeri, dengan demikian mengerutlah kepemimpinan bangsa Arab.[7]

Sebagai catatan, bertepatan tahun 138 H – atau tahun pertama Al-Manshur menjabat sebagai khalifah – di Andalusia bangkit satu kekuatan baru di bawah kepemimpinan Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Marwan bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.[8] Dia adalah salah satu anak keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari upaya pembantaian yang dilakukan oleh Bani Abbas ketika revolusi pada 132 H di Damaskus. Dia kemudian melarikan diri ke Palestina, lalu ke Mesir, dan setelah kekuatan Bani Abbas terus meningkat di Mesir dan Afrika Utara, dia pun kembali berlari ke Andalusia. Di sana, dia sudah ditunggu oleh kaum Bani Umayyah yang lain. Dalam waktu singkat, dia berhasil memanjat puncak kepimpinan, dan mendirikan Dinasti Umayyah II di Andalusia. Dinasti ini kelak bertahan hingga lebih dari 400 tahun.[9]

Akan tetapi, Al-Manshur tidak terlalu ambil pusing dengan berdirinya Dinasti Umayyah II ini. Lagi pula, Abdurrahman ketika itu tidak menunjukkan dirinya sebagai ancaman bagi Dinasti Abbasiyah. Dia dengan tau diri menyebut posisinya sebagai “Amir”, layaknya panggilan bagi seorang gubernur suatu wilayah. Sedang Al-Manshur mendapuk dirinya sebagai “Amuril Mukminin”.  (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Huzaifa Aliyu Jangebe, The Legendary Hero of Abbasid Propaganda, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19, Issue 1, Ver. III (Jan. 2014), www.iosrjournals.org, hal. 12

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Lihat, Abul A’la Al-Maududi, “Khalifah dan Kerajaan; Konsep Pemerintahan Islam serta Studi Kritis terhadap ‘Kerajaan’ Bani Umayyah dan Abbasiyah.” Bandung, Kharisma, 2007, hal. 231

[5] Ibid, hal. 232

[6] Ibid, hal. 234

[7] Ibid, hal. 235

[8] Terkait kisah penaklukkan Andalusia oleh kaum Muslimin, redaksi ganaislamika pernah memuat seriat tulisan berjudul, “Penaklukan Andalusia” (Seri 1-6). Untuk membaca bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/penaklukan-andalusia-1/

[9] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Three, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 62

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*