Jika ada satu hal yang sangat monumental dilakukan oleh Al-Manshur selama masa pemerintahannya, itu adalah Kota Baghdad. Menurut Eammon Gaeron, berdirinya Kota Baghdad menandai salah satu titik balik dalam sejarah peradaban Islam.
Setelah berhasil mengukuhkan legitimasinya di tengah kaum Muslimin, kini Al-Manshur mulai bisa bermimpi lebih jauh tentang cara melestarikan eksistensi Dinasti Abbasiyah. Salah satu langkah besar yang diambilnya adalah membangun Kota Baghdad, di Irak.
Keputusan ini dibuat pada tahun 140 H/ 760 M. Menurut Tabari, alasan Al-Manshur mendirikan Kota Baghdad, karena dia mulai merasa tidak nyaman di pemukinannya selama ini. Sebelumnya, Al-Manshur bermukim di tempat bernama Hashimiyyah, yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman sekte Rawandiyah, sebuah aliran sesat yang sangat meresahkan. Di sisi lain, Al-Manshur juga merasa tidak yakin dengan kesetiaan masyarakat yang menghuni kota-kota di sekitar pemukimannya, dan ini membuatnya khawatir. Untuk itulah dia bermaksud mencari tempat baru, yang rencananya akan dijadikan pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sekaligus markas besar militernya.[1]
Setelah cukup lama mencari, akhirnya Al-Manshur memilih sebuah lokasi, di tepi Sungai Tigris sekitar 330 mil (530 km) dari hulu Teluk Persia, dimana dulunya, tempat ini juga merupakan jantung Mesopotamia kuno. Tempat itu bernama Baghdad. Secara strategis, menurut Al Tabari, keputusan Al-Manshur terhadap Baghdad didasarkan pada tiga hal, yaitu pertama, tempat ini cocok dijadikan sebagai basis kekuatan militer; kedua, mudahnya akses ke sungai Tigris dan Eufrat yang merupakan urat nadi ekonomi dan pelayaran masa itu; ketiga, mudahnya akses ke sektor produksi pangan. Wilayah Baghdad pada masa itu terkenal sebagai wilayah yang subur sebab ditopang oleh sistem irigasi yang baik. Sumber air dari irigasi ini adalah sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya.[2]
Kota ini dipilih dengan pertimbangan yang sangat kompleks. Rancangannya pun sudah melalui pertimbangan segala aspek. Tidak seperti banyak kota pada umumnya, Kota Baghdad dibangun di atas areal 40 Km2 dengan bentuk lingkar. Sehingga tidak ada sudut kota, yang dalam beberapa hal, kadang menjadi titik lemah dari benteng kota.[3]
Design ini sebenarnya mengikuti sejumlah design lama masyarakat persia kuno. Menurut Gaeron, dipilihnya tipe rancangan ini, agaknya juga bertujuan politis untuk menarik simpati dari simpati penduduk Persia yang sudah banyak memeluk agama Islam. Disamping itu, Dinasti Abbasiyah juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang-orang Persia.[4]
Secara geografis, posisi kota Baghdad memang sangat strategis. Ia tidak terletak di bagian timur maupun barat. Dan jaraknya tidak terlalu jauh dari jalur sutra yang merupakan urat nadi ekonomi dan komunikasi antara peradaban timur (China) dan barat (Romawi). Baghdad menjadi kaya – salah satunya – disebabkan posisi geografisnya yang berada di dekat Jalur Sutra ini. Disamping berdagang, karavan-karavan yang melintasi wilayah ini membawa juga infomasi, nilai kebudayaan dan pengetahuan dari timur dan barat.
Keuntungan strategis mampu dengan baik dimanfaatkan oleh masyarakat Islam di Persia, yang memang sejak awal dikenal memiliki pemikiran yang terbuka dan pelajar-pelajar yang haus akan ilmu. Maka jadilah Baghdad sebagai pusat peradaban dunia masa itu. Seorang ahli geografi dan sejarawan Arab abad ke-9, al-Y’qubi, menulis bahwa Baghdad “tidak ada padanannya di Bumi, baik di Timur atau di Barat” dan “tidak ada sarjana yang berpendidikan lebih baik daripada cendekiawan mereka”.[5]
Proyek pembangunan kota ini selesai pada tahun 149 H. Total dana yang digelontorkan Al-Manshur untuk membangun kota ini mencapai 4.883.000 Dirham – sebuah angka yang fantastis pada zamannya. Dia mempekerjakan sekitar 100.000 orang yang terdiri dari arsitek, pengerajin, hingga kuli kasar. Mereka didatangkan dari berbagai wilayah, seperti Suriah, Mesopotamia, dan beberapa daeran di sekitarnya. Al-Manshur kemudian menamai kota ini dengan Madinat al Salam.[6]
Segera setelah kota itu rampung, Ibu Kota Dinasti Abbasiyah pindah ke Baghdad. Pada masa selanjutnya, kota ini menjadi metropolitan kedua terbesar di dunia, menyaingi China. Di dalam kota ini berdiri bangunan-bangunan megah, mulai dari perpustakaan, lembaga penelitian (Bayt Al Hikmah),[7] hingga markas kekuatan militer Abbasiyah. Dari titik inilah Dinasti Abbasiyah memanjat puncak kejayaan melampaui semua peradaban yang pernah ada sebelumnya di muka bumi.
Pada tahun 150 H, tentara-tentara yang berasal dari Khurasan menyatakan memisahkan diri dari kekhalifahan Abbasiyah. Mereka dipimpin oleh sosok yang bernama Astadzis. Mereka berhasil menguasai sebagian besar wilayah Khurasan. Huru-hara terjadi dimana-mana, dan kejahatan pun merajarela. Al-Manshur marah sekali dibuatnya.[8]
Tidak main-main, pasukan yang memisahkan diri itu jumlahnya sekitar 300.000 orang, yang terdiri dari pasukan kavaleri dan infanteri. Al-Manshur mengirim pasukan untuk melawan mereka. Tapi pasukan ini malah kalah dan dibantai oleh mereka. Lalu Al-Manshur kembali mengirim pasukan yang lebih besar, dibawah pimpinan sosok bernama Hazim bin Khuzaimah. Maka terjadilah perang yang amat dahsyat antara dua kekuatan ini.[9]
Pada akhirnya, pertempuran ini mampu dimenangkan oleh pasukan Abbasiyah. Tapi menurut As-Suyuthi, Inilah salah satu tragedi paling memilukan dalam sejarah Islam. Bagaimana tidak, total korban yang tewas di kedua belah pihak dalam pertempuran ini mencapai 70.000 orang. Astadzis yang memimpin pasukan Khurasan akhirnya melarikan diri ke perbukitan. Sedang anak buahnya yang ditawan, berjumlah 14.000 orang, semuanya dipenggal oleh Hazim bin Khuzaimah. Astadzis akhirnya berhasil ditangkap, setelah dikepung selama beberapa waktu.[10]
Maka demikianlah, jika ada satu hal yang sangat monumental dilakukan oleh Al-Manshur selama masa pemerintahannya, itu adalah Kota Baghdad. Menurut Eammon Gaeron, berdirinya Kota Baghdad menandai salah satu titik balik sejarah peradaban Islam.[11]
Al-Manshur wafat pada bulan Dzulhijjah 158 H. Sama seperti momen pelantikannya yang dilakukan di dalam perjalanan menuju tanah suci. Al-Manshur mengalami sakit dalam perjalannya ke tanah suci, dan akhirnya wafat di tengah perjalanan. Dia dimakamkan di tempat antara Hajun dan Bi’r Ma’unah. Dia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Al-Mahdi.[12] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari, Abbasid Authority Affirmed, Volume XXVIII, Translated by Jane Dammen McAuliffe, State University of New York Press, 1995. Hal. 238
[2] Sebagaimana diriwayatkan oleh Tabari. Ketika menemukan lokasi Baghdad, Al-Manshur berkata, “Tempat ini bagus dijadikan sebagai markas militer. Di sini (Sungai) Tigris, melaluinya tidak ada satupun yang menghalangi akses kita dengan China. Dipermukaannya semua barang-barang dari seluruh lautan bisa dibawa, termasuk perlengkapan dari Jazirah, Armenia dan wilayah-wilayah sekitarnya. Lebih jauh lagi ke sebelah sana ada (Sungai) Eufrat yang membawa semua hal dari Suriah, Al-Raqqah, dan wilayah sekitarnya.” Al-Manshur kemudian membuat sketsa rencana kota dan menempatkan komandan tentara yang akan bertanggungjawab tiap kuartal. Lihat, ibid,
[3] Ulasan lebih jauh mengenai Kota Bundar Baghdad yang dibangun Al-Manshur, redaksi ganaislamika.com pernah menerbitkan artikel berjudul, “Kota Bundar Baghdad: Megapolitan Pertama Islam.” Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/kota-bundar-baghdad-megapolitan-pertama-islam/
[4] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 61
[5] Lihat, House of Wisdom: Rise and Fall of the Ancient Library at Baghdad, https://steemit.com/history/@getonthetrain/the-house-of-wisdom-the-rise-and-fall-of-the-ancient-library-of-baghdad, diakses 12 Maret 2019
[6] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 292
[7] Ulasan lebih jauh mengenai Bayt Al-Himah, yang dibangun Al-Manshur, redaksi ganaislamika.com pernah menerbitkan artikel berjudul, “Bayt Al-Hikmah: Lembaga Riset Pertama Islam.” Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/bayt-al-hikmah-lembaga-riset-pertama-islam/
[8] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 283
[9] Ibid, hal. 284
[10] Ibid
[11] Lihat, Eamonn Gaeron, Op Cit, hal. 762-813
[12] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit