Dinasti Abbasiyah (43): Akhir Hayat Harun Al-Rasyid (14)

in Sejarah

Last updated on May 21st, 2019 02:28 pm

Imam Al-Suyuthi mengatakan, “Harun adalah pangeran para khalifah dan raja paling agung. Dia dikenal sebagai khalifah yang paling sering memimpin perang secara langsung dan sering menunaikan ibadah haji.”


Gambar ilustrasi. Sumber: youtube.com

Pada tahun 192 H, Harun Al Rasyid berencana berangkat ke Khurasan untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Rafi bin Laith. Pemberontakan ini terhitung besar, karena Rafi berhasil meraup dukungan dari sebagian wilayah Khurasan, Transoxania, dan suku-suku di Asia Tengah lainnya.

Harun Al Rasyid berjalan dari Raqqah, yang ketika itu menjadi pusat pemerintahannya, dengan menggunakan perahu. Setelah itu dia sempat mampir terlebih dahulu di Bahgdad. Di Raqqah, Harun mempercayakan pemerintahan pada putranya yang bernama Al-Qasim atau yang bergelar Al-Muktaman. Lalu ketika tiba di Baghdad, Harun menunjuk putra mahkotanya, Muhammad Al-Amin sebagai penanggungjawab kota tersebut.

Menurut Tabari, ketika melihat dua putra mahkota pengganti Harun Al-Rasyid ditunjuk memerintah, ada yang membisikan pada Al-Makmun,[1] “Anda tidak tahu apa yang akan terjadi pada Al-Rasyid saat dia sedang dalam perjalanan menuju Khurasan, yang mana itu adalah wilayah kekuasaan anda;[2] Muhammad (Al-Amin) adalah kakak anda (putra mahkota pertama) dan tampaknya dia ingin menggeser anda dari urutan pewaris tahta setelahnya. Karena dia adalah seorang putra dari Zubaidah, paman-pamannya dari pihak ibu adalah trah Bani Hasyim, dan Zubaidah dengan segenap harta kekayaannya akan lebih mensupportnya (Al-Amin).[3] Maka mintalah pada Harun Al-Rasyid agar engkau menemaninya dalam ekspedisi kali ini.”[4]

Maka usulan itupun disampaiklan Al-Makmun kepada ayahnya, namun usulan itu ditolak. Lalu Al-Makmun kembali kepada orang tersebut. Tapi orang tersebut mengatakan, sekarang katakan padanya (Harun Al-Rasyid), “Kamu sekarang sakit, dan aku hanya ingin melayani mu. Aku berjanji tidak akan membebani mu dengan cara apapun.” Mendengar alasan ini, Harun pun memperbolahkan Al-Makmun ikut bersamanya.[5]

Muhammad bin Al-Sabbah Al-Tabari mengisahkan pengalaman ayahnya yang ketika itu mengantarkan rombongan Harun yang akan berangkat ke Khurasan. Ketika itu ayahnya berbincang-bincang dengan khalifah di sepanjang jalan sampai wilayah Nahrawan. Di antara yang dikatakan Harun ketika itu, adalah;[6] “Wahai Sabbah, engkau tidak akan melihat ku lagi setelah ini!”

Sabbah berkata, “Semoga Allah mengembalikan mu dalam keadaan selamat.” Harun berkata lagi, “Ku kira engkau tidak tahu apa yang terjadi pada diriku.”

Sabbah berkata, “Ya. Demi Allah, aku memang tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu.”

Harun kemudian berkata, “Mendekatlah kemari supaya aku bisa memperlihatkan apa yang terjadi pada ku.” Lalu dia menepi dan memberi isyarat kepada para pengiringnya untuk menyingkir dari situ. Harun berkata, “Ini adalah amanah Allah, Sabbah. Kuminta kau tidak memberitahukannya pada siapapun mengenai hal ini.”

Setelah itu Harun memperlihatkan perutnya yang dibebat dengan kain sutra. Dia berkata, “ini adalah penyakit yang kusembunyikan dari siapapun. Semua anakku menunggu-nunggu kematianku. Masing-masing mereka memiliki intel yang terus mengamatiku, Masrus intelnya Al-Makmun, sedang Jibril bin Bakhtaisyu intelnya Al-Amin, (dan ada satu orang lagi yang disebutnya, tapi aku lupa siapa). Masing-masing dari mereka hanya menghitung-hitung helaan napasku dari hari-hari ku. Mereka merasa bahwa tahun-tahun kehidupan ku terlalu panjang. Kalau engkau ingin bukti, akan kusuruh mereka mendatangkan kuda tunggangan yang gemuk padaku, tetapi mereka pasti akan mendatangkan kuda yang kurus kering agar penyakitku makin parah.”

Muhammad bin Al-Sabbah Al-Tabari melanjutkan kisahnya; “Harun pun memerintahkan sebagaimana yang dikatakannya. Ternyata memang benar. Mereka mendatangkan seekor kuda kurus yang bisa memperpayah sakitnya. Dia menatapku sejenak kemudian menunggangi kuda kurus itu. Setelah mengucapkan selamat tinggal, dia pun berangkat ke Jurjan.”

Pada bulan Safar 193 H, Harun Al-Rasyid memutuskan untuk memimpin ekspedisi militer ke Thus, sebuah daerah di propinsi Khurasan. Tapi di tengah peperangan, sakitnya bertambah parah, sehingga harus dirawat. Perawatnya ketika itu bernama Jibril bin Bakhtaisyu, yang disebut Harun sebagai intelnya Al-Amin. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Jibril telah melakukan malpraktik dalam mengobati Harun. Dia seharusnya melakukan operasi secepatnya dan mengamputasi bagian tubuh yang menyebabkan sakit Harun Al-Rasyid. Tapi dia justru mengatakan, “beri saya waktu sampai besok, karena sebenarnya engkau bisa sehat kembali.” Tapi nyatanya, Harun Al-Rasyid menginggal keesokan harinya.[7]

Maka demikianlah, Harun Al-Rasyid wafat pada tanggal 3 Jumadil Akhir 193 H, diusia 45 tahun. Dia memerintah Dinasti Abbasiyah selama 23 tahun (170-193 H).[8] Di era pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah menjadi sebuah imperium terbesar di muka bumi. Namanya terkenal baik dikalangan para raja, maupun di antara rakyat biasa. Rakyat mengenangnya melalui sebuah anekdot yang dikenal dengan kisah 1001 malam. Hingga sekarang kisahnya masih terus dibacakan di hampir semua belahan dunia.

Al-Jahizah berkata. “Banyak hal yang terkumpul pada diri Harun yang tidak dimiliki khalifah lain. Beberapa di antaranya bahwa wazir-wazirnya berasal dari keluarga Barmaki (orang-orang Persia yang sering dijuluki sebagai ahli kalam karena keahliannya dalam tulis menulis); Hakim Agung nya adalah Abu Yusuf (murid Abu Hanifah); penyairnya adalah Marwan bin Abi Gafsah; teman dan penasehatnya adalah Abbas bin Muhammad, paman ayahnya; pengawalnya adalah Fadl bin Rabi yang merupakan orang yang tangkas dan cerdik, penyanyinya adalah Ibrahim Al-Maushili, dan Istrinya adalah Zubiadah.”[9]

Adz-Dzahabi berkata, “Kisah tentang Al-Rasyid sangat panjang karena banyak hal baik yang ada pada pemerintahnya. Begitu juga dengan cerita tentang dirinya berkaitan dengan permaiannya, hiburan-hiburan yang dilarang, serta nyanyian-nyanyian. Semoga Allah mengampuninya.”[10]

Imam Al-Suyuthi mengatakan, “Harun adalah pangeran para khalifah dan raja paling agung. Dia dikenal sebagai khalifah yang paling sering memimpin perang secara langsung dan sering menunaikan ibadah haji.”[11] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Sebagaimaan sudah dikisahkan dalam edisi terdahulu, bahwa Harun Al-Rasyid mengangkat ketiga putranya secara berturut-turut sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya. Mereka adalah Muhammad Al-Amin, Al-Makmun, dan Al-Qasim yang bergelar Al-Muktamin. Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-38-harun-al-rasyid-9/

[2] Setelah menentukan urutan penggantinya, Harun juga menetapkan putra-putranya sejumlah wilayah untuk diperintah. Al-Qasim mendapat jatah memerintah wilayah Suriah hingga Mesir; Al-Amin menguasai ibu kota Baghdad; dan Al-Makmun menguasai Khurasan.

[3] Al-Makmun adalah putra pertama Harun Al-Rasyid dari selir Persia. Dia lahir bertepatan dengan dilantiknya Harun sebagai Khalifah. Sedang Muhammad Al-Amin adalah putra kedua Harun dari permaisuri yang bernama Zubaidah. Dia adalah seorang ningrat Bani Hasyim dan putri dari Al-Manshur, khalifah kedua Abbasiyah. Atas determinasinya, Zubaidah berhasil menempatkan putranya menjadi putra mahkota di urutan pertama. Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-33-harun-al-rasyid-4/

[4] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (USA: State University of New York Press, 1995), hal. 292

[5] Ibid

[6] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 309-310

[7] Ibid, hal.10

[8] Ibid

[9] Ibid, hal. 307

[10] Ibid

[11] Ibid, hal. 304 d

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*