Dinasti Seljuk, Bangkit dan Runtuhnya Kekhalifahan (3): Kebangkitan Peradaban

in Sejarah

Last updated on April 21st, 2018 05:25 am

Para pembesar Seljuk merupakan orang-orang yang mencintai kesenian, ilmu pengetahuan, dan sastra. Madrasah pada masa Dinasti Seljuk digunakan sebagai sarana utama untuk menuntut ilmu

—Ο—

 

Dalam catatan sejarah, sebelum Bani Seljuk berkuasa, Asia Kecil berlum pernah ditaklukan. Namun saat Bani Seljuk berkuasa, maka pada tahun 451 H / 1059 M, Asia kecil yang dikuasai oleh Bizantium dapat ditaklukkan.[1] Manakala Basasari menjadi panglima Daulah Fatimiyah, wilayah Baghdad dapat dikuasainya. Oleh karena itu pada tahun 451 H / 1059 M, Taughril Beg mencoba melepaskan dari tangan Fatimiyah. Begitupula dengan wilayah-wilayah Syam seperti Syiria dan Palestina dapat diambil alih oleh Tughril Beg. Dengan demikian wilayah-wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah menjadi utuh kembali.[2] Selain itu Tughril Beg juga mengembalikan kedudukan Khalifah al-Qaim ke posisi semula.

Sebagai upaya dalam menata pemerintahan untuk membentuk Good Governance atau tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, dan dengan harapan dapat mengontrolnya. Maka secara administratif wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk dibagi menjadi 4 bagian yang masing-masingnya dipimpin oleh Gubernur dengan gelar Syaikh atau Malik.[3] Penguasa Bani Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya pernah dihapus oleh penguasa Bani Buwaih.

Pada masa pemerintahan Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan Agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan hingga pada masa Sultan Malik Syah berkuasa, dengan dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri inilah yang kemudian memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah, pembangunannya selesai pada tahun 460 H / 1065 M. Selain itu, ia juga mendirikan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir disetiap kota Irak dan Khurasan kemudian didirikan cabang Nizhamiyah.[4]

Madrasah Nizhamiyah kemudian berhasil mencetak beberapa ulama terkemuka seperti as-Sa’adi yang menyusun kitab Bustan as-Sa’adi, Imaduddin al-Isfahani bin Syadad yang menyusun kitab sejarah Shalahuddin, termasuk juga guru besar madrasah Nidzamiyah bernama Abu Hamid al-Ghazali dan Abu Ishaq asy-Syirazi.[5]

Para pembesar Seljuk merupakan orang-orang yang mencintai kesenian, ilmu pengetahuan, dan sastra. Sehingga mereka memberi penghargaan kepada orang-orang yang berilmu.[6] Maka wajarlah jika pada saat itu terjadi kebangkitan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah az-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan teologi, kemudian al-Qusyairy dalam bidang tafsir, ada juga Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi, farid al-Din al-‘Aththar dan Umar hayam dalam bidang sastra.

Madrasah pada masa Dinasti Seljuk digunakan sebagai sarana utama untuk menuntut ilmu. Ibn al-Athir menyebutkan bahwa ketika Bani Seljuk Berkuasa, khususnya pada masa Sultan Malik Syah, dibangunlah dua madrasah yang terkenal, yang pertama terletak dikota Baghdad dan yang kedia beradai di Nisapur. Pada tahun 479 H / 1086 M, Sultan Malik Syah mengunjungi sang Wazir yaitu Nizham Mulk di Baghdad, saat Malik Syah mengunjungi Madrasah Nidhamiyah dan menelaah beberapa buku diperpustakaan, lalu kemudian ia memberikan kuliah Hadits di tempat tersebut. Demikian juga dengan Perdana Menterinya, ia juga sering melakukan hal yang sama di madrasahnya di Khurasan, atau tempat-tempat yang lainnya. Oleh karena itu, Wazir Nizham Mulk dikenal sebagai ulama yang tersohor pada saat itu.[7]

Berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan pada masa itu meliputi beberapa hal antara lain:[8]

  1. Dalam bidang Kedokteran, Abu Hasan al-Mukhtar bin Buthlah dalam mengembangkan ilmunya, ia pernah mengembara dan mengunjungi Konstantinopel, Mesir, dan Syiria. Beliau menulis beberapa buku mengenai kedokteran, salah satunya berjudul Da’watul Uthaba (Dakwah Para Dokter). Muhammad bin Ali as-Samarqandi. Ia juga menulis beberapa buku kedokteran, yang salah satunya berjudul Aghdziyatul Mardla (Makanan orang sakit), dalam bukunya ia menerangkan menenai hubungan mekanan dengan penyakit.
  2. Dalam bidang Matematika dan Astronomi, beberapa diantara ahli matematik saat Malik Syah berkuasa adalah Abul-Fath Umar bin Ibrahim al-Khayyam, seseorang yang di lahirkan di Niapur antara 1038 M – 1048 M, merupakan orang yang unggul dalam bidang ilmu pasti dan ilmu perbintangan.[9]
  3. Dalam bidang Filsafat dan Tasawuf,  Abu Hamid bin Muhammad ath-Thus al-Ghazali, ia dilahirkan di Khurasan, Persia timur. Merupakan tokoh tasawuf saat itu, bahkan selain itu, ia juga seorang terbesar yang ahli dalam agama Islam, salah seorang ahli pikir Islam yang paling asli dan paling luhur budinya  dan tidak putus-putusnya ia membangkitkan semangat kesusilaan, seorang ahli hadits yang jenius dan memiliki ingatan yang sangat kuat. Karena itu ia mendapat julukan Hujjatul Islam, (Bukti Islam yang nyata)
  4. Dalam bidang Sejarah dan Geografi,  Hafidz Abi Bakr Ahmad bin ‘Ali al-Khatib al-Baghdadi merupakan salah seorang yang hidup dimasa Malik Syah berkuasa. Seorang sejarawan yang telah menulis ratusan kitab, namun yang terkenal hanya kitabnya yang berjudul Tarikh Baghdad. Kemudian ada Yakut bin Abdullah al-Hamawi, seorang ahli ilmu bumi terbesar di dunia Islam Timur, ia telang menyusun kamus ilmu bumi berjudul, Mu’jamul-Buldan.

Artikel Terkait:

Setelah Sultan Malik Syah dan Perdana Menterinya Nizham al-Mulk telah wafat. Dinasti Seljuk mulai mengalami masa kemundurannya. Perebutan kekuasaan antara anggota keluarga timbul, setiap provinsi mulai berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik yang terjadi menimbulkan peperangan antar anggota keluarga sehingga melemahkan diri mereka sendiri. (SI)

Bersambung….

Dinasti Seljuk, Bangkit dan Runtuhnya Kekhalifahan (4): Masa Kemunduran Dinasti Seljuk

Sebelumnya:

Dinasti Seljuk, Bangkit dan Runtuhnya Kekhalifahan (2): Pecahnya Perang Salib

Catatan Kaki:

[1] Lihat Syalabi Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid 3, terj. Muhammad Kabib Ahmad, Jakarta, Pustaka Alhusna, 2008, hlm 346.

[2] Ibid, hlm 36.

[3] Lihat, Hj. Muzaiyana, M.Fil. I, Sejarah dan Peradaban Islam – 2, Buku Perkuliahan Program S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, hlm 11.

[4] Ibid.

[5] Lihat, Darl al-Ilm, Atlas Sejarah Islam, Jakarta, Kaysa Media, 2011, hlm 97.

[6] Lihat, Hasan Basri Canta, Kebudayaan Islam, hlm 29.

[7] Lihat, Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Juz 4, hlm 425.

[8] Ibid. Hlm 519.

[9] Lihat, Rom Kandau, Batu Sendi Peradaban Arab, Terj. H.M. Bachrun, Jakarta, Ichktiar, t.t., hlm 102.

1 Comment

  1. Terima kasih tulisannya, alangkah bangganya umat yang besar dan betapa kaya akan pengalaman dan pelajaran dari pendahulu kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*