Mozaik Peradaban Islam

Dinasti Utsmaniyah, Aura kebangkitan Turki Utsmani (4): al-Qanuni, Kebijakan Politik dan Reformasi Administrasi

in Sejarah

Last updated on May 31st, 2018 03:23 pm

“ Sultan merupakan penguasa tertinggi baik dalam bidang politik, agama, pemerintahan, bahkan hingga urusan ekonomi, pada mulanya Sultan merupakan para Amir yang menjadi tuan tanah pada masa Dinasti Seljuk yang berpusat di Konya”

–O–

 

Al-Qanuni berarti sang pemberi hukum merupakan gelar yang didapat karena Sultan Sulaiman mewajibkan rakyat Muslim untuk melakukan shalat 5 waktu, dan berpuasa Ramadhan. Apabila seseorang melanggarnya, maka selain dikenakan denda materi, namun juga mendapat hukuman fisik.[1] Selain itu, Sulaiman didukung oleh Mufti Agung Ebussud, berupaya mereformasi Undang-undang Utsmaniyah. Kepiawaiannya mengatur pemerintah dan menyusun kitab Undang-undang yang disebut Multaqa al Abhur yang menjadi dasar hukum untuk Dinasti Utsmaniyah hingga abad ke-19.[2]

Bentuk pemerintahan Dinasti Utsmaniyah adalah Feodal. Sultan merupakan penguasa tertinggi dengan pelantikannya yang mengikuti sistem feodal. Sultan merupakan penguasa tertinggi baik dalam bidang politik, agama, pemerintahan, bahkan hingga urusan ekonomi. Pada mulanya Sultan merupakan para Amir yang menjadi tuan tanah pada masa Dinasti Seljuk yang berpusat di Konya. Orang kedua setelah Sultan adalah Wazir, ia merupakan ketua badan penasehat kesultanan. Pada saat Sultan Sulaiman berkuasa, ia membentuk Majelis Syaikhul al-Islami (Mufti) yang berkedudukan di Istanbul, tugas utamanya adalah memberikan fatwa dalam semua permasalahan keagamaan, termasuk pada keputusan perang terhadap sesama muslim. Selain itu ia juga diberi hak untuk melantik para pegawai isana di ibu kota Istanbul.[3]

Sultan Sulaiman dalam menjalankan politik kekuasaannya, ia memilih gubernur yang berkualitas menurut pandangannya. Tujuannya agar popularitas dan status sosial tidak menjadi syarat dalam mencari kandidat gubernur. Gubernur yang dipilih secara langsung ini bertujuan untuk menyeimbangkan struktur pemerintahan, sebab hal itu dinilai sangat penting dalam stabilisasi daerah-daerah kekuasaannya. Dapat disimpulkan bahwa suatu ekspansi akan menjadi sempurna jika dikuatkan dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur.

Undang-undang yang mengatur tentang pertanahan juga diterbitkan yang disebut dengan Undang-undang Agraria Utsmani yang mengatur masalah pertanahan dalam beberapa kategori seperti al-Iqta’ al-Asgar atau timar, yang diberikan kepada para tuan tanah, zi’mah, pemiliknya adalah orang-orang yang telah berjasa kepada negara.[4]

Hal-hal tersebut di atas merupakan salah satu yang menjadi inspirasi lahirnya sebuah gagasan terbentuknya sistem pemerintah kerajaan seperti sekarang, sistem pemerintahan yang kepala negaranya adalah Raja atau Presiden, namun kepala pemerintahannya adalah perdana menteri, dan adanya Majelis Ulama (Majelis Syaikhul al-Islam), serta adanya sebuah peraturan untuk mengatur  sistem pemerintahan / Undang-undang dan peraturan lainnya.

Hukum utama Kesultanan adalah Syariah, Sultan tidak memiliki kewenangan dalam mengubah hukum Islam. Hukum lain selain itu, bergantung kepada kehendak Sulaiman sendiri yang meliputi bidang kriminal, kepemilikan tanah, dan perpajakan. Keputusan yang telah dikeluarkan oleh sembilan Sultan sebelumnya kemudian menghilangkan duplikasi dan memilih pernyataan yang saling berkontradiksi, Sulaiman mengeluarkan Undang-undang.[5]

Sejarah Islam mencatat bahwa para pemimpin dinasti Utsmaniyah pada masa-masa awal merupakan orang-orang yang kuat, hingga mengantar dinasti Utsmaniyah mampu melakukan ekspansi secara besar-besaran dengan cepat. Walaupun demikian, kemajuan dinasti Utsmaniyah, semata-mata bukan karena keunggulan politik para pemimpinnya, masih terdapat faktor-faktor lain yang menjadi pendukung dalam suksesnya ekpansi tersebut. Faktor yang terpenting adalah kekuatan militer yang sanggup bertempur kapan saja, keberanian, ketangguhan dan keterampilan, selan itu strategi dan pengorganisasian militer Utsmani yang berlangsung dengan baik.[6]

Sultan juga mengatur rayah (masyarakat kelas bawah yang membayar pajak), dan orang Kristen yang mengurusi tanah para Sipahi (nama beberapa korps kavaleri). Undang-undang raya retribusi dan pajang yang telah dibayarkan oleh rayah, dan kemudian menaikkan status mereka ke atas perhambaan mereka, sehingga para hamba Kristen banyak yang pendah ke wilayah Turki dan mengambil keuntungan dari reformasi.[7]

Sultan Sulaiman juga membentuk Undang-undang baru, yaitu dengan ditetapkannya Undang-undang kriminal dan polisi baru, dan juga menetapkan denda hukuman. Sedangkan dalam bidang perpajakan, ia menetapkan pajak pada berbagai barang, seperti barang tambang, hewan, eksport-import. Selain itu, apabila ada pejabat yang mencoreng nama Kesultanan dan membuat namanya sendiri menjadi tidak baik, maka tanah dan propertinya akan disita oleh Sultan.[8]

Sulaiman I, Sumber gambar https://static.viva.co.id/thumbs3/2016/06/18/5764ab3157404-suleiman-i-sultan-terhebat-kerajaan-islam-ottoman-yang-dikagumi-dunia_665_374.jpg

Saat Sultan Sulaiman I digantikan, Dinasti Turki Utsmani tidak lagi mempunyai Sultan-sultan yang dapat diunggulkan, Kerajaan Utsmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian, watak kepemimpinan yang tidak sesuai dengan tuntutan pada masa itu. Selain itu juga kurangnya keterlibatan dalam sistem administrasi negara, dan dalam peperangan melawan musuh-musihnya, mereka banyak larut dalam kehidupan mewah istana.[9](SI)

Bersambung..

Dinasti Utsmaniyah, Aura kebangkitan Turki Utsmani (5): Tanzimat, Reformasi Hukum

Sebelumnya:

Dinasti Utsmaniyah, Aura kebangkitan Turki Utsmani (3): al-Qanuni The Magnificent

Catatan Kaki:

[1] Lihat, M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, cet. II, 2009, hlm 314.

[2] Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, London, The Macmillan Press Ltd, 1970, hlm 714.

[3] Lihat, Ajid THOHIR, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm 186.

[4] Lihat, Taufik Abdullah, rt all, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, cet. I, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, hlm 23.

[5] Lihat, Suleiman I, https://id.wikipedia.org/wiki/S%C3%BCleyman_I, diakses pada tanggal 8 April 2018.

[6] Lihat, Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hlm 201.

[7] Op Cit.

[8] Ibid.

[9] Lihat, Akbar S. Ahmad, Citra Muslim, Jakarta, Erlangga,1992, hlm 73.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*