“Politik dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Turki Utsmani sejak masa Tanzimat membawa beberapa perubahan penting dalam hukum Islam”
—Ο—
Tanzimat pada intinya merupakan gerakan reformasi yang muncul secara resmi dalam Dinasti Turki Utsmani. Hal tersebut terjadi setelah wafatnya Sultan Mahmud II (Muhammad II) di tahun 1839. Gerakan tersebut mendominasi pemerintahan Turki Utsmani hingga tahun 1871. Era Tanzimat dapat juga berarti usaha untuk memperbaiki struktur kehidupan secara umum dan menciptakan sentralisasi pemerintahan secara efektif. Era ini berlangsung saat Eropa semakin terlibat terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Turki Utsmani.[1]
Fenomena tersebut tidak terlepas dari realitas politik yang telah berkembang pada masa pemerintahan Tanzimat. Arus deras dan tekanan kebudayaan serta kekuasaan dunia Barat terhadap dunia Islam, selain itu pergolakan-pergolakan yang terjadi dalam internal umat Islam juga respon terhadap kemunduran umat Islam yang kental mewarnai situasi politik saat itu. Dalam kondisi inilah kemudian Tanzimat merumuskan dan menjalankan kebijakan juga menerapkan politik pembinaan hukumnya.[2]
Pada umumnya, masa pemerintahan Tanzimat di Turki Utsmani ditandai dengan dua gejala umum. Pertama, semakin kencangnya pengaruh dan gelombang ekspansi Barat yang masuk ke dunia Islam, kemudian yang kedua, mulai timbulnya kesadaran umat Islam tentang ketertinggalan mereka dari peradaban Barat. Pada awalnya ekspansi Barat hanya mengincar daerah-daerah pinggiran dari wilayah yang telah dikuasai oleh Islam, kemudian langkah selanjutnya barulah disasar kepada pusat kekuasaan Islam.[3] Atas dasar rencana inilah daerah kekuasaan Turki Utsmani menjadi salah satu wilayah incara ekspansi Barat. Dinasti Turki Utsmani mulai kehilangan wilayah-wilayah kekuasaannya. Lama-kelamaan Turki Utsmani semakin banyak kehilangan wilayahnya. Daerah Laut Hitam telah jatuh ketangan Rusia pada perang Rusia-Turki yang berlangsung pada 1768-1774 dan 1787-1792.[4] Pada saat yang sama, Kesultanan Turki Utsmani kehilangan wilayah kekuasaannya di Afrika Utara, Mesir, di bawah kepemimpinan Muhammad Ali, kemudian pada tahun 1830 al-Jazair berhasil direbut oleh Prancis.[5]
Kemunduran-kemunduran tersebut juga dibarengi dengan kemunduran dalam bidang hukum, hingga pada awal abad ke-19 fikih Islam dalam dinasti Turki Utsmani mencapai puncak kemundurannya.[6] Hal tersebut tergambar dari karakteristik hukum Islam yang berkembang pada saat itu, ciri khas yang muncul pertama adalah dari segi pemikiran fikih, kedua, dari segi sistem pengajaran dan pengembangan fikih, dan ketiga, dari segi metode penulisan karya fikih. Pada ketiga hal tersebut, kesemuanya mengalami kemunduran yang cukup signifikan.[7]
Perubahan-perubahan yang terjadi pada dinamika masyarakat dan hal-hal yang baru akibat dari arus modernisasi tidak mampu dijawab oleh hukum-hukum fikih klasik pada saat itu. Menanggapi hal tersebut, kemudian muncul tiga tiga aliran pemikiran dan gerakan sebagai respon dari kemunduran hukum Islam dan masuknya pengaruh Barat. Aliran pertama diwakili oleh kelompok Islam konservatif yang menginginkan untuk mempertahankan status quo hukum Islam yang sudah ada pada saat itu. Kemudian yang kedua, adalah kelompok yang berpendapat bahwa jalan keluar dari persoalan hukum yang ada dalam Dinasti Turki Utsmani adalah dengan melakukan reformasi dan reformulasi hukum Islam secara parsial. Hukum Islam terbagi atas hukum yang bersifat absolut dan hukum yang bersifat relatif kebenarannya. Kemudian aliran ketiga yang diwaliki oleh westernis-sekularis berpendapat bahwa hukum Islam di Turki Utsmani yang telah dipraktekan berabad-abad lamanya sudah ridak relevan serta tidak mampu lagi memecahkan persoalan-persoalan baru yang muncul akibat dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, solusinya adalah dengan mengganti hukum Islam dengan hukum-hukum yang berasal dari Barat, karena telah tebukti membawa dan mengatur masyarakat dengan baik kearah kemajuan yang gemilang.[8]
Pertarungan ketiga aliran tersebut dalam mensosialisasikan dan mencoba menerapkan ide-ide mereka berlangsung sejak masuknya pengaruh Barat secara intensif kedalam Turki Utsmani, baik sebelum, pada saat, hingga pasca Tanzimat. Ketiga aliran yang saling bertarung ini berimplikasi pada keributan dalam membuat kebijakan pembinaan hukum dalam dinasti Turki Utsmani umumnya, dan perkembangan hukum Islam pada Khususnya.[9]
Tanzimat termasuk kedalam kelompok yang menginginkan penggantian perangkat hukum yang berasal dari sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Hal tersebut terlihat dari kebijakan hukum yang dilaksanakan Tanzimat yang mengacu pada maserplan pengganti hukum Islam dengan hukum Barat, namun ada usaha dari Tanzimat yang diarahkan untuk memajukan hukum Islam. Sebuah karya yang lahir dimasa Tanzimat dalam bidang hukum Islam dengan judul Majallah al Ahkam al’Adliyyah merupakan pengundangan dan kondifikasi hukum Islam, karya tersebut dapat disingkat dengan sebutan Majallah.[10]
Politik dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Turki Utsmani sejak masa Tanzimat membawa beberapa perubahan penting dalam hukum Islam. Pengundangan Majallah al Ahkam al’Adliyyah merupakan kondifikasi hukum bermaterikan hukum Islam tersebut terlihat janggal karena berorientasi kepada hukum Barat. Kebijakan kondifikasi hukum dan pengundangan hukum Islam dalam Majallah tersebut dapat dikatakan sebagai upaya Tanzimat menciptakan keseimbangan antar hukum Barat dan hukum Islam, namun dapat pula dicurigai sebagai manuver politik Tanzimat dalam rangka menarik dukungan dari kalangan Islam, mengingat kekuatan Tanzimat yang sudah melemah dan berada dipenghujung masa kekuasaanya dalam pemerintahan Turki Utsmani.[11](SI)
Bersambung…
Dinasti Utsmaniyah, Aura kebangkitan Turki Utsmani (6): Penghapusan Sistem Kekhalifahan
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat Dudung Abdurrahman, dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Jogjakarta , LESFL, 2002, hlm 145.
[2] Lihat, DR Ikhwan, Reformasi Hukum di Turki Utsmani Era Tanzimat, Inovvatio, Vol 6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007, hlm 338
[3] Ibid.
[4] Lihat, Erik J. Zurcher, Turkey a Modern History, London New York, Taris & Co.Ltd, 1994, hlm 35
[5] Lihat, Philiph K. Hitti, History of the Arabs, Edisi ke-10, New York, Mac Milan, 1976, hlm 722.
[6] Lihat, Satria Efendi M.Zein, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nafis, dkk (Ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun, Jakarta, IPHI Paramadina, 1995, hlm 287.
[7] Lihat, DR Ikhwan, Reformasi Hukum di Turki Utsmani Era Tanzimat, Inovvatio, Vol 6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007, hlm 339.
[8] Op Cit, hlm 288-289.
[9] Ibid, hlm 341.
[10] Lihat Manna’ al Qaththan, al Tasyri’ wa al Fiqh al Islam wa Taqnin al Ahkam, Kairo, TP.,TT, hlm 246.
[11] Op Cit, hlm 346.