Mozaik Peradaban Islam

Hamzah bin Abdul Muthalib (18): Di Dalam Perut Burung Hijau

in Tokoh

Last updated on January 7th, 2021 12:51 pm

Rasulullah bersabda, “Allah menjadikan ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau yang mendatangi sunga-sungai di surga, memakan buah-buahannya dan bertengger di lentera-lentera dari emas yang tergantung di bawah naungan ‘Arsy.”

Foto ilustrasi: blogs.uajy.ac.id

Setelah wafatnya Hamzah bin Abdul Muthalib, Rasulullah saw bersabda, “Hamzah adalah sayyid (pemimpin) para syuhada di hari Kiamat.”[1] Menurut Syaikh Mahmud al-Mishri, hadis ini bahkan sudah pernah disampaikan lansung oleh Rasulullah saw sendiri kepada Hamzah semasa dia masih hidup.[2]

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw juga disebutkan bersabda di depan jenazah Hamzah, “Melimpahlah atasmu rahmat ar-Rahim. Akulah saksi bagimu di hadapan al-Hakim. Engkaulah pendekar penyambung silaturahmi, berbuat kebaikan, pembela yang dizalimi.”[3]

Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa setelah Perang Uhud usai, Rasulullah saw bersabda:

Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam Perang Uhud, Allah menjadikan ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau yang mendatangi sunga-sungai di surga, memakan buah-buahannya dan bertengger di lentera-lentera dari emas yang tergantung di bawah naungan ‘Arsy.

Ketika mereka mendapatkan makanan, minuman, dan tempat tinggal yang baik, mereka berkata, “Siapa yang menyampaikan kepada saudara-saudara kami bahwa kami saat ini hidup di surga dalam keadaan diberi rizki, agar mereka tidak menolak untuk berangkat berperang dan bersikap menahan diri dari jihad.”

Allah berfirman, “Aku yang menyampaikan untuk kalian kepada mereka.”

(Periwayat berkata: Maka turunlah ayat):

“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali Imran [3]: 169)[4]

Dalam kesempatan lain, seseorang bertanya kepada Abdullah bin Masud:

Kami bertanya kepada Abdullah bin Masud rentang ayat ini (yaitu QS Ali Imran [3]: 169). Maka dia berkata, “Kami juga pernah bertanya tentang hal itu kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, ‘Ruh-ruh mereka di dalam perut burung berwarna hijau. Ia mempunyai lentera-lentera yang bergantungan di ‘Arsy. Ia hilir-mudik di dalam surga sesuka-sukanya, kemudian ia bertengger di lentera-lentera tersebut.’

‘Lalu Rabb mereka melongok kepada mereka lalu berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’

‘Mereka menjawab,’Apa yang kami inginkan (lagi), sementara kami hilir mudik di surga sesuka kami?’

‘Lalu Allah melakukan hal itu kepada mereka sebanyak tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka akan terus ditanya, mereka berkata, ‘Ya Rabbi, kami ingin Engkau mengembalikan ruh kami ke jasad kami sehingga kami terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.’

‘Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak lagi memendam hajat, maka mereka dibiarkan.’.”[5]

Pulang ke Madinah

Rasulullah saw dan para sahabat kemudian pulang ke Madinah. Di tengah perjalanan Rasulullah saw mendengar tangisan dari para wanita. Ibnu Ishaq meriwayatkan:

Rasulullah melewati salah satu permukiman Ansar, Bani Abdul-Asyhal dan Zafar, dan dia mendengar suara tangisan dan ratapan atas orang-orang yang wafat. Mata Rasulullah berkaca-kaca, dan beliau menangis dan berkata, “Tetapi tidak ada wanita yang menangisi Hamzah.”

Ketika Saad bin Muadz dan Usaid bin Hudair kembali ke permukiman, mereka memerintahkan wanita mereka untuk bergegas dan pergi dan menangisi paman Rasulullah (Hamzah).

Hakim bin Hakim bin Abbad bin Hunaif, yaitu seseorang dari Bani Abdul-Asyhal, mengatakan kepadaku, “Ketika Rasulullah mendengar mereka menangis untuk Hamzah di pintu masjidnya, beliau berkata, ‘Pulanglah; semoga Allah merahmati kalian; kalian telah benar-benar membantu dengan kehadiran kalian.’.”[6]

Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa seorang wanita dari Bani Dinar yang telah kehilangan suami, ayah, dan saudaranya sedang duduk di antara kaum wanita sambil meneteskan air mata, sementara yang lain-lain meratap.

Kebetulan Rasulullah bersama para sahabat lewat tak jauh dari kelompok wanita itu. Wanita yang sedang dilanda musibah itu menanyakan kepada orang-orang yang di dekatnya tentang keadaan Rasulullah.

Semuanya menjawab, “Alhamdulillah, beliau baik-baik saja,” sambil menunjukkan Rasulullah kepadanya.

Ketika melihat wajah Rasulullah, wanita itu segera melupakan musibah yang menimpanya seraya mengatakan sesuatu dari lubuk hatinya, yang menciptakan suatu revolusi dalam pikiran orang-orang yang hadir di situ.

Dia berkata, “Wahai Nabi Allah! Segala kesulitan dan kesusahan menjadi mudah dijalanmu (yakni, apabila engkau masih hidup, kami menganggap setiap malapetaka yang menimpa kami tak berarti, dan kami mengabaikannya-pen).”

Terpujilah ketabahan ini, dan terpujilah iman yang menyelamatkan orang dari kegoyahan sebagaimana jangkar mempertahankan kapal dari gelombang laut.[7] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (Vol 3, hlm 195) dan asy-Syairazi dalam al-Alqaab dari Jabir. Disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahiihul Jaami’ (no. 3158) dan as-Shahiihah (no.374). Dikutip kembali dalam Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 286.

[2] Syaikh Mahmud al-Mishri, Ibid., hlm 285-286.

[3] Diriwayatkan tanpa sanad dalam Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 212.

[4] HR Sunan Abu Dawud (No. 2520) dan al-Hakim (Vol 2, hlm 88, 297), dikutip oleh Syaikh Mahmud al-Mishri, Op.Cit., hlm 289.

[5] Diriwayatkan oleh Muslim (No. 1887) dari jalan al-A’masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq, dikutip oleh Adz-Dzahabi, Siyar A’laamin Nubalaa  (Vol 1, hlm 179), dalam Syaikh Mahmud al-Mishri, Ibid., hlm 289-290.

[6] Ibnu Ishaq, Sirat Rasul Allah, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A Guillaume, The Life of Muhammad (Oxford University Press: Karachi, 1967), hlm 389.

[7] Sirah Ibnu Hisyam (Vol 2, hlm 99), dalam Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 391.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*