Mozaik Peradaban Islam

Ideologisasi Sejarah Islam (1)

in Studi Islam

Last updated on August 30th, 2018 10:46 am

 

Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan[1]

“Terlepas apa motivasi sejarawan Barat atau non-Muslim dalam mempelajari sejarah Islam, ada satu hal penting yang dapat diteladani, yaitu mereka mengaktualisasikan kebutuhan untuk mengetahui (need to know) dan mengusahakan kepentingannya atas sejarah Islam.”

–O–

Photo ilustrasi: alevelpolitics

Sejarah Islam – tepatnya sejarah kaum Muslim – adalah salah satu khazanah sejarah peradaban dunia yang menarik untuk diteliti, dipelajari, dielaborasi, dan dipublikasikan, bukan hanya oleh dan bagi sejarawan muslim, tetapi juga oleh dan bagi sejarawan Barat atau non-Muslim. Oleh karena itu, tidak aneh jika sampai sekarang bertebaran historiografi (karya tulis sejarah) peradaban Islam, baik di Timur maupun Barat.

Dari kalangan sejarawan muslim muncul Tarikh al-Islam Wa Thabaqat Masyahir al-A’lam karya Al-Dzahabi, Tarikh Baghdad karya Khatib al-Baghdadi, An-Nawadir al-Sulthaniyah Wa al-Mahasin al-Yusufiyah karya Bahauddin Abu-l-Mahasin Yusuf bin Rafi’, Nasb Quraisy karya Al-Zubair ibn Bakkar ibn ‘Abdullah, dan Akhbar al-‘Arab karya Abu al-Mundzir Hisyam ibn Muhammad Ibnu Al-Saib ibn Basyar al-Kalbi.

Selain itu, ada pula Muqaddimah karya Ibn Khaldun, Fakhri karya Ibn Al-Tiqtaqa’, Tarikh Thabaristan karya Ibn Isfandiar, Aja’ib al-Athar karya Abdul Rahman al-Jabarti, Tarikh al-Tamaddun al-Islami karya Jurji Zaidan, trilogi Fajr al-Islam, Duha al-Islam, dan Zuhr al-Islam karya Ahmad Amin, Al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Asir, Mu’jam al-Buldan karya Yaqut al-Hamawi, dan al-Bidayahwa al-Nihayah karya Ibn Khathir.

Selanjutnya, Tarikh al-Umam Wa al-Mulk karya Ibn Jarier al-Tabari, Tarikh al-Islam Wa Thabaqat Masyahir al-A’lam karya Al-Dzahabi, Tarikh Baghdad karya Khatib al-Baghdadi, Irshad al-Arib Ila Ma’rifat al-Abid karya Yaqut, Ujun al-Anba’ fi Tabagat al-Atibba karya Abu Usayibah, Wafayat al-A’yun karya Ibn Khallikan, Ar-Rakhiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, dan Sirah Nabawiyah karya Ibn Hisyam.

Kemudian, Al-Ishaabah Fi Tamyiizi Shahaabah karya Ibn al-Hajar Al-Asqalani, Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haikal, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda karya Hamid Al-Gadri, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia karya Azyumardi Azra, dan masih banyak lagi.

Dari kalangan sejarawan Barat atau non-muslim muncul Preaching of Islam karya T.W. Arnold, Saladin dan Moors In Spain karya Stanley Lane, History of the Arabs dan Islam and the West karya Philip K. Hitti, Islam in Modern History karya Wilfred Cantwell Smith, dan Ibn Batuta (1304-1377) dan Mohammedanism: An Historical Survey serta Shorter Encyclopedia of Islam juga Studies on the Civilization of Islam karya Hamilton Alexander Rosskeen Gibb.

Kemudian, Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina serta Muhammad: Prophet and Statesman karya W. Montgomery Watt, Het Mecca anche Feest dan De Atjehers karya C. Snouck Hurgronje, La Passion de’ al-Hallaj dan Martyr Mystique de l’Islam karya Louis Massignon, Histoire de la Litterature Arabe dan Dans les pas de Mahomet karya Blachere, Turkey: A Past and a Future karya Arnold Joseph Toynbee, dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu, karya-karya tersebut terkesan mengulangi dan mengumpulkan belaka jika hanya mengurai fokus, lokus, dan perspektif sejarah yang serupa. Kecuali, selain menyaring dan menyampaikan berbagai informasi relevan yang tersebar dari berbagai karya itu, ditawarkan pula perspektif baru, atau setidaknya informasi yang masih jarang diungkap sekaligus diberi tekanan pesan pengambilan inspirasi atau pelajaran tertentu.

Dengan kata lain, tidak melulu dan sekadar memposisikan sejarah Islam dengan pandangan retrospektif yaitu mengenang kembali, memandang balik, atau melihat ke masa silam, tetapi juga menjadikannya inspirasi. Artinya, melihat sejarah menurut sudut pandang prospektif yang bertitik tekan kepada prospeknya atau kemungkinan mewujudkan torehan masa lampau yang gemilang itu di masa kini dan masa mendatang.

Selain itu, sebenarnya para sejarawan masih dapat mengungkap fokus, lokus, dan perspektif sejarah Islam yang berbeda dengan karya-karya historiografi sebelumnya. Sebab, sulit dipungkiri, alih-alih yang sudah terungkap, bagian-bagian dan rincian sejarah Islam justru masih lebih banyak yang belum dikuak. Bagaimanapun, sejarah Islam merupakan salah satu khazanah kesejarahan yang kaya yang dimiliki dunia.

 

Al-Qur’an dan Sejarah

Satu hal yang menarik dari sejumlah karya historiografi sejarah Islam itu adalah fakta bahwa para sejarawan Barat atau non-Muslim turut meneliti, mempelajari, mengelaborasi, dan mempublikasikan sejarah Islam. Artinya, bukan hanya sejarah Islam dianggap menarik, tetapi terutama mereka berkepentingan atas sejarah Islam. Menurut As-Siba’ie, terdapat beberapa hal yang mendorong mereka untuk menuliskannya, yaitu karena: keagamaan, penjajahan, perniagaan dan ekonomi, politik, dan ilmiah.[2]

Philip K. Hitti, misalnya, dalam bukunya yang berjudul Islam and the West menyatakan bahwa Nabi Muhammad merupakan seorang penipu yang lihai. Menurutnya, Islam tidak lebih daripada warisan orang Yahudi dan Kristen yang diarabisasikan dan dinasionalisasikan. Jadi, selain menuturkan sejarah Islam secara deskriptif, dalam karya historiografinya itu pun Hitti menyodorkan penafsiran bahkan penilaian yang bersifat ideologis yang sangat subjektif.[3]

Namun, terlepas pro-kontra atas motivasi sejarawan Barat atau non-Muslim dalam mempelajari sejarah Islam, ada satu hal penting yang dapat diteladani, yaitu mereka mengaktualisasikan kebutuhan untuk mengetahui (need to know) dan mengusahakan kepentingannya atas sejarah Islam. Dalam dunia ilmu pengetahuan, rasa ingin tahu adalah modal untuk berpengetahuan, sedangkan dalam dunia politik, mengusahakan kepentingan adalah modal tercapainya tujuan.

Oleh sebab itu, mudah dimengerti jika Barat digdaya di Abad Modern. Sebab, mereka bukan hanya berusaha menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga berusaha untuk mengetahui pihak lain (the other) dan mengetahui kepentingannya atas pihak lain – dalam konteks ini atas umat Islam. Dengan pengetahuan dan kepentingan ini, mereka berlaku sebagai subyek dan memperlakukan umat Islam sebagai obyek.

Dengan demikian, umat Islam maka bukan hanya harus mengetahui pihak lain dan sejarahnya, tetapi juga – terutama – harus mengetahui dirinya terlebih dahulu, termasuk sejarah dirinya sendiri. Jangan sampai alih-alih kaum Muslim, justru yang lebih mengetahui sejarah Islam adalah para sejarawan Barat atau non-Muslim.

Kalau saja kaum muslim membaca dan memahami al-Qur’an, tentu akan paham bahwa dua pertiga Kitab Suci disajikan dalam bentuk kisah (sejarah). Dengan kata lain, kisah sejarah digunakan oleh Allah SWT untuk menerangkan dan menyampaikan banyak hal. Selain itu – baik tersurat maupun tersirat, al-Qur’an menyerukan keharusan untuk mempelajari sejarah.

Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Qur’an yang menyatakan hal itu: Kesatu, “Maka kisahkanlah kisah-kisah agar mereka berpikir” (Q.S. Al-A’raf: 176). Kedua, “Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah (umat) yang telah lalu, dan sungguh, telah Kami berikan kepadamu suatu peringatan (Al-Qur’an) dari sisi Kami” (Q.S. At-Thaaha: 99). Ketiga, “Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang bagi orang-orang yang memahaminya” (Q.S. Yusuf: 111).

Keempat, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar-Rum: 41). Kelima, “Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi kemudian lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka ialah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”” (Q.S. Ar-Rum: 42).

Keenam, “Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat (pelajaran) dan peringatan bagi orang yang beriman” (Q.S. Hud: 120). Ketujuh, “Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu” (Q.S. Al-Hasyr: 18).

Bersambung ke:

Ideologisasi Sejarah Islam (2)

Catatan Kaki:

[1] Ketua Bidang Litbang KAHMI Cianjur, Sejarawan UPI Bandung, dan Penulis essay-essay tentang Keislaman di berbagai media Nasional.

[2]     Lihat Musthafa as-Siba’ie. 1983. Akar-akar Orientalisme. Surabaya: Bina Ilmu.

[3]     Silakan periksa Philip K. Hitti. 1963. Islam and the West. Van Nostrand Reinhold Inc., U.S.

4 Comments

Leave a Reply to Mi'raj Dodi Kurniawan Cancel reply

Your email address will not be published.

*