Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (2): Kontestasi Identitas Arab (1)

in Studi Islam

Last updated on June 1st, 2021 01:24 pm

Jika boleh memilih identitas (selain Arab) dan itu bukan merupakan sikap menolak takdir ilahi, maka mungkin saja saya akan memilih identitas lain.

Soekarno sedang bersendau gurau dengan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) beserta sejumlah habaib lainnya. Foto: Republika

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Tiap kali ada konfrontasi di Timur Tengah, isu Arab langsung mencuat. Ada yang seperti menunggu momen itu untuk menggebah kegemaran khalayak terhadap Arab. Dan itu wajar, toh Alquran tak pernah memuji A’rab (orang-orang Arab) kecuali dalam satu ayat—seperti akan kita lihat di bagian lain tulisan ini.

Almarhum ayah saya juga (yang merupakan keturunan Yaman-red) sering berbicara kritis dan protes pedas ihwal sikap elit Arab—atau lebih tepat disebut A’rab. Saya tidak pernah tumbuh dengan kebanggaan pada identitas ini. Pengalaman hidup dan sejumput pengetahuan saya juga tak membuat saya bangga dengan identitas ini.

Nah, kalau saya yang beridentitas Arab saja sudah tidak bangga, mana mungkin orang yang tidak terkait dengan identitas ini bisa bangga. Jadi wajar bin lumrah saja bilamana ada yang mau mengubur kebanggaan Arab ini, apalagi dari khalayak non-Arab.

Jika boleh memilih identitas dan itu bukan merupakan sikap menolak takdir ilahi, maka mungkin saja saya akan memilih identitas lain. Tapi identitas itu adalah takdir sejarah yang telah dikukuhkan oleh konstruksi sosial yang panjang. Atau bisa juga ia adalah hasil kreasi sistem kekuasaan yang lebih dominan. Di sini kita tak akan membicarakan itu.

Namun demikian, ada sebuah kerancuan dalam pemahaman umum yang mengira Arab itu identik dengan A’rab. Kerancuan yang mungkin juga jamak menimpa identitas-identitas lain seperti Inggris, Bule, Londo (artinya Belanda, dari bahasa Jawa-red), dan Barat.

Atau kerancuan menyetarakan Kerajaan Arab Saudi dengan Arab. Atau mengasosiasikan Sunni dengan Arab dan Syiah dengan Persia. Semua itu jelas tidak berpijak pada fakta dan data, melainkan semata-mata syakwasangka yang timbul akibat kurang wawasan atau efek cuci-otak yang sistematis.

Sayangnya, orang yang suka bikin opini asal-asalan dan meracau di era media sosial kini lebih digandrungi. Mungkin memang karena unsur hiburan dan lelucon sudah jadi resep viral terampuh di era ini. Yang serius dan teliti selalu mudah dikalahkan oleh yang mengacau dan asal-asalan karena permintaan dan selera audiens yang merosot.

Pada serangan Israel atas Palestina baru-baru ini, kita menyaksikan beberapa orang mempertautkan agresi itu dengan konflik Arab dan Yahudi. Mereka pun berasumsi bahwa konflik itu sudah berlangsung ribuan tahun. Entah dari mana datangnya asumsi itu, tapi begitulah isu yang beredar. Itulah yang berpotensi viral.

Alih-alih menjernihkan persoalan, munculnya istilah Yahudi di sini malah kian mengeruhkan segala-galanya. Asumsi itu berperan menyebarkan ketidakpedulian. Paling tidak karena identitas Yahudi itu berbeda dengan Arab.

Bagi orang Yahudi sendiri, misalnya, ia lebih berhubungan dengan ajaran dan keturunan. Ia lebih tepat dianggap sebagai konsep etno-religi yang biasanya dipadankan dengan Jew dalam bahasa Inggris. Kini Yahudi sudah jadi identitas resmi Israel (baca: The Jewish State of Israel). Padahal mungkin mayoritas diaspora Yahudi banyak yang sudah melupakan bahasa Ibrani, dan sepenuhnya menjadi ateis, agnostik, atau sekuler.

Jelas Yahudi berbeda dengan Arab. Perbandingan Arab dan Yahudi, meminjam istilah kerennya, tidak apple-to-apple. Kalau mau lebih tepat, Arab itu lebih bisa dipersandingkan dengan Ibrani. Dan mengaitkan penjajahan Israel atas tanah Palestina dengan konflik Yahudi-Arab juga tidak ada dasarnya.

Penjajahan itu kategori kejahatan moral dan kemanusiaan, yang bisa berhubungan dan bisa juga tidak dengan keyahudian atau kearaban. Dalam bagian lain tulisan ini, saya akan menyebutkan korelasi Ibrani dan Arabi, sebagai kelompok-kelompok manusia yang telah lama berinteraksi melintasi dan mengembarai Semenanjung Arabia.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

1 Comment

  1. Salam Oh God…Mumtaz wa excelent banget your writing my best master, Mr. Musa Kazhim Habsy. Mercy

Leave a Reply to Musa Siraj Cancel reply

Your email address will not be published.

*