Mozaik Peradaban Islam

Imam Abu Hanifah (3): Menolak Jabatan

in Tokoh

Last updated on September 28th, 2019 02:20 pm

Abu Hanifah diminta untuk menjadi bendahara negara oleh Khalifah Umayyah, Yazid. Dia menolaknya karena takut terhadap Allah. Hakim bin Hashim berkata, “Dia lebih menyukai hukuman raja ketimbang hukuman Allah.”

Foto Ilustrasi: alayam

Setelah berurusan dengan Kaum Khawarij, Abu Hanifah meninggalkan studi ilmu kalamnya dan mendedikasikan dirinya untuk mempelajari hukum Islam karena dia yakin memiliki keunggulan di bidang ini. Kemungkinan dia memang pernah mempelajari hukum Islam sebelumnya, karena dia mengatakan bahwa dia “memutuskan untuk kembali ke (ilmu) hukum.”

Dia kemudian menjadi murid dari fakih terkemuka di Kufah, Hammad bin Abi Sulaiman (wafat 120/737). Dia adalah murid dari fakih tekemuka lainnya, Ibrahim al-Nakhai (wafat 96 H /715 M), sewaktu dia masih hidup. Abu Hanifah, menurut catatan dalam otobiografinya, selama dalam pengajaran Hammad, memiliki ikatan yang sangat kuat dengannya. Dia mencintai Hammad layaknya seorang ayah, dan tentu saja, nama putra Abu Hanifah yang tertua dan paling ternama, Hammad bin Abu Hanifah, tampaknya diambil dari nama Hammad bin Abi Sulaiman.

Setelah bertahun-tahun belajar di bawah bimbingan Hammad, Abu Hanifah dilaporkan menjadi tidak sabar untuk memiliki lingkaran studi miliknya sendiri, namun dia tidak dapat melepaskan diri dari Hammad, yang mana sama-sama memiliki keterikatan yang begitu besar kepadanya.

Kemudian, suatu waktu Hammad mendapatkan kabar tentang kematian seorang kerabat dekatnya, yang tidak meninggalkan ahli waris siapapun selain dirinya. Karena hal ini, Hammad mesti meninggalkan Kufah dan pergi ke Basra menyelesaikan urusannya di sana. Selama Hammad pergi, Abu Hanifah diberi kepercayaan untuk mengurus lingkaran studi Hammad.

Di tengah situasi seperti ini, Abu Hanifah mengeluarkan pernyataan dengan nada canda, dia mengatakan, tidak lama setelah Hammad pergi, tampaknya dia akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hukum yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Dan benar saja, Abu Hanifah kemudian mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit.

Dua bulan kemudian, Hammad kembali, Abu Hanifah lalu menyerahkan laporan yang isinya adalah tentang tanggapan-tanggapannnya atas pertanyaan-pertanyaan yang datang selama Hammad pergi. Dari enam puluh pertanyaan yang masuk, Hammad dikatakan menyetujui dua pertiganya, sementara sisanya dianggap salah.

Setelah kejadian ini, Abu Hanifah memutuskan untuk tidak pernah berpisah dari lingkaran studi Hammad selama gurunya itu masih hidup. Dengan demikian Abu Hanifah dilaporkan tetap berada di bawah bimbingan Hammad selama delapan belas tahun, dia baru mengambil alih lingkaran studi Hammad setelah kematiannya.[1]

Menolak Jabatan dari Khalifah Umayyah

Ulama besar Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, atau terkenal dengan sebutan Imam al-Ghazali, dalam kitabnya, Ihya Ulum al-Din, menggambarkan karakter dari Abu Hanifah. Berikut ini adalah pemaparannya:

Dia adalah seorang Imam besar, dan seorang zuhud ternama, dan takut terhadap Allah. Dia mencari keridhaan Allah dengan ilmunya, Ibnu Mubarak mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah memiliki karakter dan perilaku yang baik, dan melaksanakan salat dan puasa terlalu sering.

Hammad bin Abi Sulaiman (guru Abu Hanifah) mengatakan, bahwa dia (Abu Hanifah) memiliki kebiasaan salat sepanjang malam, dan dalam riwayat lain (dikatakan) setengah malam.

Suatu waktu Abu Hanifah sedang berjalan di jalanan, lalu orang-orang membicarakan tentangnya, berkata, “Orang ini menghabiskan waktu sepanjang malam dalam salat.”

Dia berkata, “Aku malu di hadapan Allah, bahwa aku digambarkan oleh sesuatu yang tidak kulakukan.”

Mengenai kezuhudannya, Rabi bin Asim berkata, “Khalifah Yazid (dilihat dari tahun Abu Hanifah hidup, kemungkinan Yazid yang dimaksud adalah Yazid bin Abdul Malik [berkuasa 720-724 M] atau Yazid bin al-Walid [berkuasa April-Oktober 744 M], keduanya adalah khalifah dari Dinasti Umayyah-pen) mengutusku suatu waktu kepada Abu Hanifah, dan dia ingin mengangkatnya menjadi bendahara harta negara.

“Karena penolakannya untuk menerima jabatan itu, dia diberikan dua puluh garis (kemungkinan hukum cambuk-pen). Sekarang lihatlah bagaimana dia melarikan diri dari jabatan berharga, dan sebagai hasilnya dia menerima hukuman.”

Hakim bin Hashim berkata, “Aku mendengar tentang Abu Hanifah di Suriah, bahwa dia adalah orang yang paling terpercaya yang diinginkan khalifah untuk diangkat sebagai Bendahara harta negara dan mengancamnya dengan hukuman jika dia tidak mau menerimanya. Dia lebih menyukai hukuman raja ketimbang hukuman Allah.”[2] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] U. F. ʿAbd-Allāh, “Abū Ḥanīfa” (Encyclopædia Iranica), dari laman http://www.iranicaonline.org/articles/abu-hanifa-noman-b, diakses 26 September 2019.

[2] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Vol.1 (Karachi: Darul-Ishaat, 1993), hlm 38-39.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*