Mozaik Peradaban Islam

Imam Abu Hanifah (2): Pedagang Sutra yang Berselisih dengan Khawarij

in Tokoh

Last updated on September 26th, 2019 01:28 pm

Abu Hanifah adalah pedagang sutra yang kaya raya. Ketika telah mendalami ilmu kalam, dia melakukan lebih dari 20 kali perjalanan ke Basra hanya untuk berdebat dengan Kaum Khawarij, yang mana membuat namanya melambung.

Foto Ilustrasi, lukisan karya Alberto Rosati yang berjudul “The Carpet Merchants”. Sumber: Oil Paintings & Art Reproduction

Secara keseluruhan, Abu Hanifah hidup selama 70 tahun dalam hitungan kalender Hijriyah. Dia hidup di masa transisi dua kekuatan besar dalam Dunia Islam, yakni dari Dinasti Umayyah menuju Dinasti Abbasiyah. Pada 52 tahun awal kehidupannya, Abu Hanifah hidup di masa pemerintahan Dinasti Umayyah, dan dia menyaksikan bagaimana dinasti ini mengalami kemunduran dan akhirnya jatuh.

Pada 18 tahun sisa hidupnya, dia hidup di era Abbasiyah, yakni di masa pemerintahan dua khalifah, Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad as-Saffah (berkuasa 132-136 H / 750-754 M), Khalifah Abbasiyah pertama; dan Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al Mansur (berkuasa 136-158 H / 754-775 M), Khalifah Abbasiyah kedua.

Semasa hidupnya, Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang memiliki kesadaran sosial yang mendalam. Dia juga menunjukkan simpati yang mencolok terhadap kelompok oposisi, sehingga membuatnya terseret ke dalam konflik dengan pihak penguasa, baik dengan Umayyah maupun dengan Abbasiyah. Dia juga terkenal sebagai seorang kritikus keras bagi para hakim dan ahli hukum Islam yang melakukan kesalahan ketika membuat keputusan.[1]

Perjalanan Hidup

Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah (sekarang berada di Irak bagian selatan) yang pada saat itu sedang berkembang pesat. Waktu itu Kufah merupakan kota yang menjadi pusat pembelajaran ilmu hukum Islam. Abu Hanifah tumbuh besar di bawah pemerintahan gubernur Umayyah yang kuat, al-Hajjaj bin Yusuf (meninggal 95 H / 714 M).

Ayah Abu Hanifah, Tsabit bin Zuta, kemungkinan adalah seorang pedagang asal Kabul. Sementara itu, Zuta, kakek Abu Hanifah, yang juga seorang pedagang, adalah orang Persia yang terbiasa melakukan praktik jual beli dengan Muslim. Namun, laporan-laporan lain menyatakan bahwa salah satu leluhur Abu Hanifah adalah seorang kepala penjara militer di salah satu provinsi Dinasti Persia Sasaniyah, dia ditempatkan di Anbar (Mesopotamia tengah).

Ketika Abu Hanifah mencapai usia dewasa, dia tumbuh menjadi pedagang sutra yang kaya raya (khazzaz). Dia memiliki sebuah bangunan besar untuk pembuatan sutra dan mempekerjakan sejumlah besar pekerja dan pengrajin. Dengan latar belakang seperti ini, maka dia memiliki pengalaman praktis yang luas dalam dunia bisnis, perdagangan, dan keuangan – sebuah keahlian yang tidak dimiliki oleh kebanyakan ahli hukum lainnya. Sepanjang hidupnya, dia diketahui seringkali memberikan kekayaannya begitu saja kepada murid-muridnya yang kurang berkemampuan dan juga kepada para ulama miskin.

Abu Hanifah memulai karirnya sebagai intelektual Muslim ketika mendedikasikan dirinya untuk mendalami ilmu teologi dialektik (kalam), dan dengan cepat dia tampil menonjol di bidang ini. Dia kemudian melakukan lebih dari dua puluh kali perjalanan ke Basra hanya untuk berdebat dengan Kaum Khawarij.[2]

Kaum Khawarij adalah sekte pertama di dalam Islam yang dapat teridentifikasi. Identitas mereka pertama kali muncul ketika para pengikut Nabi Muhammad SAW berusaha menentukan sejauh mana seseorang dapat dikatakan mengalami penyimpangan dari norma-norma ideal Islam sehingga mereka dapat dinyatakan telah keluar dari Islam.

Pada titik ekstrem, Kaum Khawarij menilai, bahwa ketika seorang Muslim melakukan dosa besar, maka mereka dapat dianggap sudah menolak ajaran Islam, menjadi golongan orang murtad, dan karenanya pantas dihukum mati. Bagi sebagian besar Muslim, dan bahkan oleh golongan Khawarij moderat itu sendiri, pandangan seperti ini dianggap sangat mengekang apabila diterapkan.

Sebagian besar Muslim pada akhirnya memiliki pendapat, bahwa selama seseorang mengaku dirinya sebagai seorang Muslim, maka dia tidak dapat dinyatakan sebagai orang kafir.  

Kaum Khawarij percaya, bahwa mereka terlarang untuk hidup di lingkungan yang berbeda pandangan dengan mereka. Karena sikapnya yang memisahkan diri inilah maka mereka disebuat sebagai khawarij, yang mana artinya secara harfiah adalah “memisahkan diri”, atau “mereka yang keluar dari komunitas.”

Kaum Khawarij radikal, pada sisi lain, menyatakan, barang siapa ada yang tidak setuju dengan pandangan mereka, maka dia dapat dianggap murtad. Mereka bahkan melancarkan serangan-serangan militer secara berkala terhadap pusat-pusat komunitas Muslim arus utama.

Kelompok Khawarij radikal baru dianggap tidak lagi menjadi ancaman militer pada akhir abad ke-8 M. Kaum Khawarij juga kadang dikenal sebagai Haruriyah (diambil dari nama sebuah tempat, Harura, salah satu kamp utama mereka di Irak), atau secara umum, mereka juga bisa disebut sebagai ghulat (ekstremis).

Reputasi terburuk Kaum Khawarij adalah ketika mereka melancarkan pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-4 Islam, atau imam pertama dalam mazhab Syiah. Pada awalnya Khawarij justru mendukung Ali ketika berseteru dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Damaskus pada waktu itu yang di kemudian hari akan menjadi khalifah pertama Dinasti Umayyah. Mereka bahkan menganggap Muawiyah adalah seorang murtad, dan oleh karenanya dia mesti ditumpas.

Namun di tengah perjalanan, ketika Ali melakukan perjanjian arbitrase dengan Muawiyah, Kaum Khawarij menilai bahwa Ali telah melanggar ketentuan ilahi. Oleh mereka Ali, karena telah melakukan perjanjian dengan orang kafir, maka dapat dianggap sebagai orang kafir juga. Pada puncaknya Ali dibunuh oleh salah seorang Khawarij – yaitu Abdurrahman bin Muljam – pada tahun 661 M di Masjid Agung Kufah.[3]

Kembali kepada kisah Abu Hanifah, karena perselisihannya dengan Kaum Khawarij, dia menjadi sangat dihormati di seluruh Kufah. Namun pada akhirnya, Abu Hanifah malah menjadi kecewa terhadap polemik yang telah ditimbulkannya. Dia menilai, bahwa seharusnya tidak ada toleransi bagi Kaum Khawarij, dia kemudian memandang mereka sebagai sumber perpecahan dan, karenanya, mereka dapat dianggap sebagai kelompok yang telah bertentangan dengan Sunah Nabi dan para Sahabatnya.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Karim D. Crow, Abū Ḥanīfa Nu‘mān ibn Thābit, dalam Alexander Wain dan Mohammad Hashim Kamali (ed), The Architects of Islamic Civilisation (International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia, 2017), hlm 40.

[2] Ibid.

[3] Tamara Sonn dan Adam Farrar, “Kharijites” (Oxford University Press), dari laman https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195390155/obo-9780195390155-0047.xml, diakses 25 September 2019.

[4] Karim D. Crow, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*