Mozaik Peradaban Islam

Invasi Napoleon ke Mesir (4): Ali Bonaparte, Khalifah dari Eropa

in Monumental

Last updated on June 29th, 2018 01:12 pm

“Kepada warga Mesir, Napoleon mengaku bahwa orang-orang Prancis adalah muslim juga. Meskipun pada awalnya sempat mendapat penolakan, pada akhirnya dia diterima juga dan mendapat julukan ‘Ali Bonaparte’.”

–O–

Lukisan pertemuan Napoleon dengan Diwan Mesir. Photo: napoleon.org

Meskipun Prancis mengalami kekalahan yang pahit dalam Pertempuran Sungai Nil ketika melawan Inggris, namun mereka masih dapat mengamankan posisinya di Mesir tanpa masalah yang terlampau serius. Di Mesir Napoleon mulai memperkenalkan struktur masyarakat sipil negara modern.[1]

Menurutnya dia perlu untuk memperkenalkan “pencerahan” (enlightenment) khas Eropa ke Mesir yang masih terbelakang. Sebagai penguasa de facto dia datang ke masjid dan mengadakan pertemuan dengan pemerintah Kairo yang disebut dengan Diwan – meskipun pada bulan-bulan pertama terjadi pemberontakan berdarah-darah terhadap penguasaan Prancis.

Napoleon memberikan penawaran yang sangat menarik untuk Mesir, yaitu:

  1. Menghapuskan kekuasaan Ottoman (Ustmaniyah) di Mesir secara utuh.
  2. Memperkenalkan struktur politik yang ditujukan untuk mengatur persoalan-persoalan internal.
  3. Mempertahankan dan menghormati tradisi-tradisi Islam.
  4. Menjanjikan kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik.

Untuk dapat mewujudkannya Napoleon harus meminta bantuan dari para Syekh yang berkuasa, dan mendorong mereka untuk mengambil posisi sebagai pemerintah, agar mereka dapat membawa Mesir ke arah yang diinginkan. Selain itu, Napoleon juga mesti melibatkan orang-orang Kristen Koptik, karena mereka sangat ahli dalam birokrasi, dan selama berabad-abad telah menyatu dalam struktur permanen pemerintahan Mesir.

Orang-orang Kristen Koptik adalah ahli tafsir Taurat dari sejak zaman Mesir Kuno. Mereka juga terkenal handal akan ilmu akuntansinya. Mesir telah seringkali berganti kepemimpinan dari sejak era kekhalifahan, jadi, baik itu Khalifah, Gubernur, Amir, Mamluk, ataupun Pasha Turki, tidak ada satupun yang dapat bertahan tanpa bantuan dari Orang-orang Kristen Koptik.[2]

 

Propaganda

Karena tertarik pada pendapat orang lokal, Napoleon memutuskan untuk membuat propaganda tentang agenda yang dibawanya untuk Mesir. Dia memanfaatkan mesin cetak yang dibawanya dari Prancis. Untuk membuat tulisan berbahasa Arab, Napoleon sangat bergantung kepada sarjana Katolik dari Malta yang dibawanya. Namun, hasil terjemahan orang Malta ini ternyata bermasalah, dia memahami bahasa Arab dengan dialek yang sangat jauh dengan dialek Arab Mesir. Maka, makna positif yang hendak disampaikan oleh Napoleon malah menjadi bias karena adanya kerancuan bahasa.

Napoleon adalah seorang ahli dari teknik propaganda yang sekarang kita sebut dengan spin, sebuah teknik yang memanipulasi pembacanya agar terbujuk. Namun sayangnya Napoleon tidak tahu bagaimana betapa buruknya terjemahan bahasa Arab tersebut, dan dia bahkan menganggap bahwa propaganda tersebut merupakan kunci untuk mewujudkan tujuannya. Pada 7 Juli 1798 dia telah mengeluarkan perintah untuk publikasi. Dia mecetak sebanyak 4.000 eksemplar propaganda.

Masalah pertama adalah ketika kata “muslim” dia tuliskan dengan huruf “m” kecil, yang mana secara tata bahasa Arab semestinya ditulis dengan “M” besar. Selain dari segi kerancuan bahasa, masalah lainnya datang dari segi isi yang disampaikan dalam propaganda tersebut. Napoleon mengklaim bahwa orang-orang Prancis adalah muslim juga karena mereka menolak konsep Trinitas dan memusuhi Paus. Napoleon mengatakan bahwa Prancis adalah penganut Monotheisme, namun dia sama sekali tidak menyinggung tentang ajaran Islam lainnya seperti mengakui Muhammad sebagai Nabi.

Ulama dan sejarawan Kairo, Abdurrahman al-Jabarti, adalah salah satu di antara sekian banyak orang yang menerima propaganda Napoleon dengan campuran rasa ingin tertawa, bingung, atau bahkan marah. Dia menulis komentar singkat tentangnya, sebuah bentuk tulisan yang menunjukkan unsur sindiran, karena orang-orang terpelajar seperti al-Jabarti biasanya hanya menulis tulisan yang berhubungan dengan al-Qur’an, bukan pamflet propaganda Prancis.

“Mereka setuju dengan Muslim dalam menggunakan frasa ‘atas nama Tuhan, Yang Maha Penyayang, Yang Berbelaskasihan,’ dan menyangkal bahwa Tuhan memiliki putra atau sekutu,” kata al-Jabarti. Dia menambahkan, bahwa Prancis juga berbeda dengan Muslim, karena mereka tidak mengucapkan kesaksian Muslim tentang iman, yang menegaskan kenabian Muhammad, juga tidak menerima gagasan bahwa Nabi, yang ucapan dan perbuatannya memiliki kekuatan normatif dan hukum dalam Islam, dan dia diutus oleh Tuhan.

Orang Prancis, menurutnya, setuju dengan orang-orang Kristen dalam sebagian besar kata-kata dan perbuatan mereka, mereka hanya berbeda dalam masalah Trinitas, dan, sekali lagi, mereka menolak gagasan bahwa Allah mengirimkan wahyu kepada umat manusia. Mereka juga menolak hierarki gereja, membunuh para pendeta, dan menghancurkan gereja-gereja. Selain menolak konsep ‘muslim’ versi Prancis, al-Jabarti juga mempertanyakan konsep “Republik” dan “Revolusi Prancis” yang menurutnya banyak ketidakcocokan dengan tradisi Islam.[3]

 

Pendekatan Napoleon terhadap Islam

Meskipun pada awalnya ide-ide Napoleon mendapat penolakan, namun pada akhirnya dalam tahap tertentu dia berhasil juga mewujudkan ambisinya untuk memperkenalkan konsep sistem kenegaraan baru terhadap Mesir, dan dia juga mencoba lebih kompromistis terhadap konsep-konsep di dalam Islam.

Pendekatan kompromistis Napoleon terhadap Islam terdokumentasikan dengan baik. Dia berhasil membangun opini bahwa dia mengagumi Nabi Muhammad SAW – dia bahkan mempelajari beberapa surat dalam al-Quran dengan serius. Sementara itu hubungannya dengan orang-orang Kristen Koptik hanya sebatas hubungan sesama negarawan. Menurut Napoleon agama berguna selama itu dapat diterima oleh masyarakat, tetapi juga dapat berbahaya apabila mengarah ke fanatisme.

Napoleon membuktikan sikapnya dalam mendukung tradisi agama Islam ketika dia menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan di daratan di sekitar Sungai Nil. Napoleon bahkan menggunakan pakaian lokal. Dia menyaksikan tarian Sufi, sementara itu prajurit Prancis turut berpartisipasi dengan menyalakan kembang api dan memainkan marching band. Pada saat itu dia menjadi tamu dari Syekh al-Bakri.[4]

Sejarah mencatat bahwa Napoleon menjadi penyandang dana dari acara peringatan Maulid Nabi yang meriah tersebut. Pada awalnya para Syekh tidak berniat menyelenggarakan Maulid pada tahun itu karena ekonomi sedang sulit. Napoleon dengan jeli melihat peluang tersebut, dia menyumbang dana sebesar 3.000 franc Prancis. Dan karena saking puasnya warga Mesir dengan acara tersebut, mereka menjuluki Napoleon dengan sebutan “Ali Bonaparte”, yang mengacu kepada Khalifah keempat Islam, Ali bin Abu Thalib.[5] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Napoleon ke Mesir (5): Pengaruh Invasi bagi Dunia

Sebelumnya:

Invasi Napoleon ke Mesir (3): Pertempuran dengan Inggris

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 237.

[2] “Napoleon in Egypt”, dari laman https://www.napoleon.org/en/history-of-the-two-empires/articles/napoleon-in-egypt/, diakses 27 Juni 2018.

[3] Juan Cole, Napoleon’s Egypt: Invading The Middle East (Palgrave Macmillan: New York, 2007), hlm 31-35

[4] “Napoleon in Egypt”, Ibid.

[5] Juan Cole, Ibid., hlm 123-126

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*