Mozaik Peradaban Islam

Invasi Napoleon ke Mesir (5): Pengaruh Invasi bagi Dunia

in Monumental

“Selain memberikan hasil yang signifikan bagi ilmu pengetahuan – dengan berhasil diterjemahkannya hieroglif Mesir, namun invasi juga melemahkan kekaisaran Ustmaniyah (Ottoman)”

–O–

Napoleon bersama pasukannya di Mesir. Lukisan karya Jéan-Leon Gérôme (1824-1904).

Setelah mendirikan Direktorat bergaya Prancis di Kairo, Napoleon merasa dia suduh cukup untuk tinggal di Mesir. Dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada teman-temannya di Prancis, dia mengatakan akan segera kembali pulang. Meskipun dia mengeluh tentang miskinnya Mesir dan tidak banyak yang bisa diambil dari sana, namun sebenarnya ada hal lain yang membuat dia ingin segera kembali ke Prancis. Sebuah berita telah sampai kepadanya, dia mendapat kabar bahwa Josephine, istrinya, telah kedapatan berselingkuh.

Terkait kepulangannya, Napoleon mengumumkan bahwa dia hanya akan melakukan perjalanan ke Delta Sungai Nil. Napoleon mulai berlayar dari Mesir pada Agustus 1799. Dia hanya memberitahukan perihal kepulangannya kepada sahabat terdekatnya, Jenderal Kleber. Selain itu Napoleon juga menyerahkan kekuasaan kepadanya, sekutu yang sangat dia percaya. Setelah enam minggu berlayar di laut, Napoleon tiba di Prancis, dan langsung menuju ke Paris. Pada bulan November 1799 — dalam waktu sebulan setelah dia kembali — hal yang paling ditakutkan oleh Direktorat Prancis terjadi, Napoleon merebut kekuasaan, mendeklarasikan dirinya menjadi Konsul Pertama Prancis.[1]

 

Ilmuwan Prancis

Dengan perginya seorang Napoleon dari Mesir, bukan berarti pendudukan Prancis berakhir. Prancis bertahan di Mesir selama dua tahun lagi, dan dalam masa-masa itu mereka mengerjakan hal yang paling menarik dari sudut pandang keilmuan. Perjalanan Napoleon ke Prancis nyatanya tidak hanya membawa pasukan tempur saja, dia juga membawa 167 ilmuwan dan sarjana – seniman, naturalis, kartografer, dan insinyur – yang ditugaskan untuk membuat catatan lengkap tentang semua yang mereka saksikan.

Para ilmuwan dan sarjana Prancis menempuh perjalanan yang panjang dan juga jauh selama di Mesir ke berbagai tempat. Setelah penelitian itu selesai, mereka kemudian menghasilkan karya ilmiah terbesar di masa itu, sebuah karya yang paling komprehensif sepanjang zaman. Antara tahun 1809 sampai 1829, mereka telah menerbitkan buku yang menggambarkan tentang Mesir yang terdiri sampai 23 volume: 10 teks, 12 cetakan, dan 1 peta. Karya tersebut telah melahirkan bidang ilmu baru yang disebut dengan Egyptology (ilmu tentang Mesir).

Landasan lain dari Egyptology juga didapat secara kebetulan dalam misi invasi Prancis. Ketika membangun  pertahanan di kota Rashid, seorang perwira teknik muda yang bernama Pierre-François Bouchard melihat sebuah batu hitam dengan tulisan di salah satu sisinya. Batu tersebut berukuran 114 x 71 cm, batu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Rosetta Stone (Batu Rashid).[2]

Batu Rosetta, ditemukan oleh Pierre-François Bouchard, kunci penerjemahan hieroglif Mesir. Sekarang menjadi koleksi milik The British Museum. Photo: Mendy

Tulisan yang ada dalam Batu Rosetta  ditulis oleh sekelompok pendeta Mesir untuk menghormati Firaun. Isinya adalah daftar semua hal kebaikan yang telah dilakukan Firaun untuk para pendeta dan orang-orang Mesir, di antaranya mengenai pemberian hadiah ke kuil, kebijakan pengurangan pajak, dan pemulihan perdamaian. Firaun yang dimaksud adalah Ptolemy IV Philopator (238-205 SM).[3]

Ditulis pada tahun 196 SM, batu itu mengandung informasi dalam tiga bahasa, yaitu hieroglif Mesir kuno, Demotik — bahasa Mesir yang mengikuti hieroglif — dan bahasa Yunani kuno. Dengan memiliki teks yang sama dalam tiga bahasa, batu tersebut menjadi kunci dari penerjemahan hieroglif Mesir yang selama ini sulit untuk dipahami.

Namun Prancis kurang beruntung, pada tahun 1801, dalam rangka untuk mendapatkan izin untuk meninggalkan Mesir, mereka harus menyerahkan Batu Rosetta dan lebih dari 5.000 barang antik lainnya yang mereka temukan kepada Inggris.

Invasi Prancis ke Mesir memiliki tiga tujuan, yaitu untuk memutus dominasi militer dan perdagangan Inggris di Mediterania timur dan India; mengamankan Mesir demi tujuan militer dan perdagangan Prancis; dan untuk menghindari peperangan langsung dengan pasukan Inggris. Dari ketiga tujuan tersebut semuanya gagal. Walaupun Prancis pada awalnya memperoleh kemenangan telak dari Mamluk, namun selang tiga tahun kemudian yang tersisa tinggal para prajurit yang terisolir yang putus asa ingin segera pulang. Ribuan orang tewas, baik pada saat pertempuran ataupun karena penyakit. Dan untuk menambahkan penghinaan terhadap pihak yang kalah, mereka harus memohon perdamaian kepada Inggris agar untuk dapat tetap hidup.[4]

 

Pengaruh Invasi Prancis bagi Dunia Muslim

Pada masa sebelumnya, kekaisaran Ottoman (Ustmaniyah) merupakan kerajaan yang paling dominan dan berkuasa di Dunia Muslim dan Timur Tengah, sampai tahapan tertentu mereka bahkan telah berhasil menjamah Eropa.[5] Invasi Prancis ke Mesir benar-benar menjadi titik balik dalam sejarah Timur Tengah dan Dunia Muslim. Meskipun Kekaisaran Ottoman sudah melemah pada saat itu, namun kedatangan Napoleon meningkatkan laju gangguan dan perubahan di seluruh tubuh kekaisaran.

Mulai dari daerah pinggiran wilayah kekuasaan Ottoman, berbagai kelompok mulai berani memberontak dan menantang dominasi struktur kekuasaan. Kekaisaran Ottoman pada waktu itu jelas-jelas sedang menuju keruntuhan. Mereka yang sebelumnya sangat ditakuti, kini dikenal sebagai penguasa yang “sakit” dengan segala macam permasalahannya.

Di Mesir, invasi Perancis secara radikal memperlemah kekuasaan Mamluk, sementara itu, dengan mundurnya Prancis dari Mesir, kekuasaan menjadi kosong. Pria yang mengakhiri pasang surutnya kekuasaan Mamluk di Mesir selama lebih dari 600 tahun adalah Muhammad Ali, seorang Ottoman keturunan Albania. Dia menggunakan pasukan Albania untuk menghabisi orang-orang Mamluk yang masih tersisa.[6] (PH)

Seri Invasi Napoleon ke Mesir selesai.

Sebelumnya:

Invasi Napoleon ke Mesir (4): Ali Bonaparte, Khalifah dari Eropa

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 237.

[2] Ibid., hlm 237-238.

[3] “What Does the Rosetta Stone Say?”, dari laman https://www.britannica.com/story/what-does-the-rosetta-stone-say, diakses 29 Juni 2018.

[4] Eamon Gearon, Ibid., hlm 238.

[5] Roger Bigelow Merriman, Suleiman The Magnificent 1520-1566, (Harvard University Press: Massachusetts, 1944), hlm 211-212.

[6] Eamon Gearon, Ibid., hlm 238-239.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*