Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (20): Abdul Qadir (17)

in Monumental

Last updated on January 7th, 2019 01:32 pm

Abdul Qadir telah menyelamatkan 11.000-12.000 orang Kristen dalam kerusuhan Damaskus. Sementara itu, Gubernur Ottoman, Ahmad Pasha dihukum tembak mati karena dianggap membiarkan kerusuhan.

Lukisan Abdul Qadir karya pelukis Aljazair, dibuat tahun 1984. Koleksi milik Museum Pusat Angkatan Darat, Aljir. Photo: ziani.eu

Dengan berpindahnya orang-orang Kristen ke benteng, kini sebagian besar rumah Abdul Qadir yang luas menjadi kosong. Dari benteng, Abdul Qadir segera kembali ke rumahnya untuk menyelamatkan lebih banyak orang Kristen. Kali ini dia menggunakan strategi yang berbeda, dia menjanjikan kepada siapapun yang dapat membawa orang Kristen dengan aman ke rumahnya, akan mendapatkan uang. Cara ini berhasil, selama beberapa hari ke depan Abdul Qadir membagikan uang kepada mereka yang membawa orang Kristen. Setiap kali jumlahnya mencapai seratus orang, mereka dipindahkan ke benteng.[1]

Setelah satu minggu, api kerusuhan sudah mulai meredup. Rentetan kekerasan dari peristiwa ini – konflik sektarian terburuk yang pernah dialami Damaskus atau kota Arab lainnya – hampir berakhir. Jumlah akurat dari mereka yang terbunuh tidak dapat dipastikan, tetapi diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan, termasuk orang-orang yang meninggal belakangan karena luka atau sakit. Tidak diragukan lagi, jumlah korban akan jauh lebih tinggi apabila Abdul Qadir dan orang-orang Aljazairnya tidak membantu. Perkiraan umumnya adalah bahwa 11.000-12.000 orang Kristen telah diselamatkan oleh Abdul Qadir.[2]

Meskipun pelaku kerusuhan kebanyakan adalah Muslim – yang dibantu oleh orang Darzi (Druze)­ — tetapi faktanya mayoritas Muslim Damaskus justru tidak bergabung dan menyetujui kerusuhan itu.  Sebelumnya, banyak Muslim yang lebih terpelajar telah mencoba meredakan ketegangan yang meningkat. Sekarang, setelah sadar akan kengerian dari kekerasan itu, mereka mulai mengamankan tetangga Kristen mereka, yang mana cukup berisiko bagi diri mereka sendiri. Pembantaian, pembakaran, dan penghancuran sebenarnya hanya terjadi di wilayah pemukiman Kristen yang luasnya tidak terlalu besar. Di bagian lain kota, di mana minoritas Kristen hidup bersama di antara umat Islam, hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada masalah sama sekali. Berkat kepemimpinan yang baik oleh umat Islam dan perilaku yang toleran dari pihak Kristen, pertikaian di antara mereka tidak pernah terjadi.[3]

 

Setelah Kerusuhan

Bagaimana dengan nasib ribuan orang-orang Kristen yang rumahnya telah benar-benar hancur? Beberapa pemuka masyarakat Kristen sempat tinggal sebentar dengan Abdul Qadir atau dengan keluarga Aljazair lainnya. Sementara yang lainnya mengungsi ke rumah keluarga Kristen mereka di bagian lain Damaskus atau di desa-desa terpencil. Namun juga, banyak sekali orang yang harus tinggal selama berminggu-minggu di benteng dalam kondisi suram. Untungnya, pejabat Ustmaniyah (Ottoman) yang bertugas di sana adalah orang yang berbelas kasih dan melakukan yang terbaik yang dia bisa.[4]

Karena di Damaskus sudah tidak ada lagi yang dapat membantu mereka, banyak dari pengungsi tersebut yang berangkat ke Beirut, Lebanon. Setidaknya tiga ribu orang, dikawal secara berkelompok-kelompok oleh orang Aljazair, pergi melintasi dua pegunungan ke arah pesisir dengan berjalan kaki. Di Beirut, kapal perang asing telah tiba sebagai tanggapan atas kerusuhan di Gunung Lebanon, dan mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapat perhatian dan perlindungan internasional. Kelompok-kelompok amal seperti misionaris Amerika, Inggris, dan lainnya juga dapat menawarkan bantuan, walaupun sumber daya mereka kini sangat terbatas karena sudah terlebih dahulu digunakan untuk pengungsi dari Gunung Lebanon.[5]

Adapun Gubernur Ottoman untuk Damaskus, Ahmad Pasha, dicopot posisinya dengan cepat. Pada 16 Juli 1860, hanya satu minggu setelah kerusuhan dimulai, gubernur yang baru telah tiba dan mencoba memulihkan ketertiban. Situasi masih sangat mencekam dan berbahaya.[6]

Pada paruh kedua Juli, berita tentang kerusuhan dan pembantaian telah mencapai surat kabar di Eropa dan Amerika Serikat. Reaksi internasional berlangsung cepat. Prancis dan negara-negara Eropa lainnya mengusulkan untuk mengirim pasukan militernya ke Damaskus — tidak diragukan lagi, mereka memiliki alasan kemanusiaan, tetapi sebenarnya ada unsur politisnya juga. Pemerintah Ottoman tahu bahwa ekspedisi semacam itu akan mengarah pada tekanan internasional lebih lanjut dan mungkin bahkan pendudukan, sehingga mereka bergegas untuk bergerak lebih awal.[7]

Seorang diplomat Turki yang sangat disegani, Fuad Pasha, telah dikirim untuk menyelesaikan persoalan di Gunung Lebanon. Pada saat dia tiba di Beirut, kerusuhan di Damaskus ternyata memberinya masalah yang lebih besar. Pada 29 Juli 1860, diiringi oleh tiga ribu tentara Ottoman, dia memasuki Damaskus untuk unjuk kekuatan. Dia bermaksud untuk meyakinkan rakyat Damaskus dan kekuatan internasional bahwa dia sepenuhnya sedang bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan.[8]

Fuad Pasha secara efisien berkonsultasi dengan para konsul dan perwira militer Eropa, dan juga dengan Abdul Qadir. Dia kemudian membentuk pengadilan khusus untuk menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku kekerasan – sebagian besar berdasarkan ingatan para korban. Pengadilan kemudian membuat sekitar 4.600 daftar nama pelaku dan akhirnya mempersempitnya menjadi 350 orang. Dari sana, sebanyak 338 orang dinyatakan bersalah. Tidak mengherankan, sebagian besar dari 181 orang yang dihukum gantung di depan umum berasal dari kelas bawah. Sementara 157 orang lainnya, yang merupakan orang-orang penting, dijatuhi hukuman pengasingan.[9]

Ahmad Pasha, yang menjabat sebagai gubernur Damaskus hanya selama enam bulan yang bermasalah, dihukum tembak mati. Tingkat dan jenis kesalahannya tidak pasti, tetapi apa pun peran aktualnya dalam plot kerusuhan, dia jelas-jelas tidak melakukan tindakan apa pun untuk mencegah atau mencoba mengendalikan peristiwa “pembunuhan, kekacauan, penjarahan, dan penjarahan” tersebut.[10]

Memasuki musim gugur, kehidupan perlahan mulai kembali normal. Pengungsi terakhir meninggalkan benteng pada akhir September, dan pemukiman Kristen sudah dibersihkan untuk pembangunan kembali yang akan dimulai pada Januari 1861. Fuad Pasha juga mencoba menangani masalah yang sangat rumit dalam mengevaluasi kerugian umat Kristen dan menentukan kompensasinya — dan dalam waktu yang bersamaan dia mesti mencegah datangnya kritik dan intervensi internasional.[11] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (21): Abdul Qadir (18)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (19): Abdul Qadir (16)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 90.

[2] Ibid., hlm 90-91.

[3] Ibid., hlm 91.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid., hlm 91-92.

[7] Ibid., hlm 92.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid., hlm 92-93.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*