Mozaik Peradaban Islam

Pedang Zulfiqar (3)

in Monumental

Last updated on July 9th, 2018 09:16 am

Legenda tentang Ali bin Abi Thalib dengan pedang Zulfiqar berkembang dalam berbagai pertempuran yang dihadapi kaum Muslimin.”

—Ο—

 

Dalam perang Khandaq, selain Salman Al Farisi yang mengusulkan untuk membangun parit mengelilingi kota Madinah – bisa dikatakan Ali bin Abi Thalib dengan Pedang Zulfiqar-lah yang menjadi bintang dalam pertempuran ini.

Sebagaimana tradisi Arab jahiliah ketika itu, sebelum melakukan perang sesungguhnya, biasanya mereka akan menantang duel satu lawan satu atau perang tanding antara para jagoan dari kedua belah pihak. Sebagaimana dikisahkan sebelumnya, Amr bin Abdi Wadd tiba-tiba datang dan berhasil melintasi parit besar bersama enam orang jagoan lainnya, dan tiba-tiba berdiri menantang kaum Muslimin untuk perang tanding.[1] Tapi sebagaimana tradisi masa itu, meski mereka datang hanya berenam, pasukan kaum Muslimin tidak mengeroyoknya. Sebab bagi mereka itu adalah aib. Sehingga masing-masing dari mereka menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Sekilas kita gambarkan tentang Amr bin Abdi Wadd. Ia adalah pendekar pilih tanding pada masanya. Namanya demikian terkenal dan ditakuti. Ini jugalah yang menjadikan situasi saat itu semakin mencekam. Ditambah lagi, ia membawa serta para pendekar lain bersamanya. Terkait namanya, “Abdi Wadd” atau hamba cinta. Jangan dibayangkan bahwa ia merupakan sosok yang penuh cinta dan welas asih. Sebaliknya, sosok ini sangat terkenal sebagai pembunuh nomor wahid dan jago perang tanding pada masanya. Menurut O. Hashem, Wadd di sini maksudnya adalah berhala yang disembah oleh klan Kalb di Najad. Ini adalah salah satu dari 27 berhala yang disembah oleh kaum jahiliyah masa itu.[2]

Dalam kondisi genting seperti ini, tak ada yang berani menyambut tantang tersebut. Tiba-tiba Ali bin Abi Thalib angkat bicara. “Izinkan aku berduel dengannya ya Rasulullah.” Rasullullah kemudian mengizinkannya sambil bersabda: ‘Allahumma Ya Allah, bantulah Ali’. Kemudian dengan gagah berani Ali maju bersama pedang Zulfiqar di tangannya dan menyambut tantangan Abdi Wadd. Tapi sebagaimana dikisahkan oleh sebagian sejarawan, ketika melihat yang maju adalah seorang anak muda, Abdi Wadd merasa tidak sebanding, lalu berkata kepada Ali, “Oh kemenakan ku! Aku tak ingin membunuhmu.” Lalu Ali menjawab, “tapi aku ingin membunuhmu”.[3]

Maka dimulailah pertarungan tersebut. Awalnya pertarungan tersebut tampak tidak seimbang. Namun setelah pertarungan di mulai, semua sangkaan tersebut benar-benar terbalik. Ali dengan ketangkasan dan kecepatan yang luar biasa, dapat membuat pedang Zulfiqar melesat dengan gerakan yang tidak terbedaung. Dalam waktu singkat, tebasan pedang Zulfiqar berhasil memisahkan kepala Abdi Wadd dari badannya. Melihat kejadian ini, Rasulullah SAW langsung mengucapkan takbir. Adapun para pendekar lainnya yang bersama Abdi Wadd langsung lari tungang langgang, dan tak pernah lagi kembali.

Kematian Abdi Wadd sudah benar-benar membuat pasukan raksasa yang dibawa Abu Sufyan kehilangan semangat juang. Seperti gerombolan yang tersesat, mereka terkatung-katung di tengah gurun yang panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari. Angin kencang datang membubarkan tenda-tenda mereka, dan menurunkan suhu di malam hari menjadi sangat minim. Perbekalan mereka menipis, sedang ahli strategi mereka kehabisan cara untuk menembus parit yang mengelilingi kota Madinah.

Alhasil, perang Khandaq pun berakhir dengan kekalahan yang memalukan di pihak kaum kafir Quraisy. Kontak senjata yang sesungguhnya hanya terjadi antara Ali dengan Abdi Wadd, sisanya hanya pertarungan psikologis yang menguras kesabaran dan semangat kedua belah pihak. Perang ini meningalkan kesan mendalam di ingatan kaum muslimin tentang kecerdikan Salman Al Farisi, dan tentu saja keberanian Ali bin Abi Thalib dengan pedang Zulfiqar.

Selain di perang Khandaq, legenda tentang Ali dan pedang Zulfiqar juga masyur pada peristiwa perang Khaibar. Kebalikan dari perang Khandaq, dalam perang Khaibar, justru pasukan kaum Muslimin yang melakukan pengepungan. Khaibar sendiri adalah sebuah lembah di timur laut Madinah. Terdapat oasis subur yang dijadikan ladang-ladang pertanian dan kurma yang menghasilkan panen raya setiap tahun. Dari hasil pertanian disinilah orang-orang Yahudi menyuplai logistic kepada para kaum kafir Mekah ketika perang Khandaq, serta masih terus menyalurkan dana bagi klan Ghathafan untuk mengganggu kaum Muslimin. Sehingga, meski perang Khandaq sudah berakhir, kehidupan kaum Muslimin di Madihan tidak kunjung tenang. Karena terror dan ancaman akan datangnya lagi serangan raksasa dari tentara gabungan Arab, terus disiarkan. Adapun sumber dana untuk melakukan propaganda ini, adalah lumbung ekonomi Yahudi di Khaibar.

Kata Kaibar sendiri dalam Bahasa Yahudi berarti Bentang. Di tempat ini didirikan cukup banyak benteng. Karena selain sebagai pusat ekonomi kaum Yahudi, tempat ini juga merupakan markas besar dan garnisun terakhir kaum Yahudi di seluruh Jazirah Arab. Seperti sangat mengerti nilai strategis Khaibar, kaum Yahudi ini membuat banyak benteng untuk menjaganya. Terdapat setidak 7 buah benteng yang berdiri di wilayah ini.[4] Dan masing-masingnya dilengkapi dengan pasukan pemanah, pasukan beratribut lengkap, dan ketapel. Berbeda dengan kaum Yahudi di Madinah, kaum Yahudi di Khaibar adalah orang yang berani, dan lebih cerdik.

Dengan demikian bisa dibayangkan bahwa ini adalah perang penentuan bagi kedua belah pihak. Bagi kaum Muslimin, tempat ini harus ditaklukkan, karena dari sinilah sumber dana orang-orang Yahudi untuk menyewa klan-klan Arab jahiliyah sekitarnya memerangi Nabi SAW. Sedang disisi lain, bagi kaum Yahudi, ini tempatlah perlindungan terakhir bagi mereka di seluruh jazirah Arab.

Pertempuran ini adalah salah satu pertempuran terberat, bahkan bisa dikatakan sebuah misi yang tidak mungkin. Sebagai gambaran, di tempat bermukim sekitar 24.000 penduduk Yahudi, yang artinya mereka setidaknya memiliki sekitar 3000-5000 pasukan yang siap dikerahkan. Sedang kaum Muslimin, menurut catatan Ibn Abbas, pada saat itu hanya berjumlah 1525 orang. belum lagi ditambah dengan 7 benteng Khaibar yang kokoh dan terlindung secara baik.

Singkat cerita, dalam pengepungan ini, Rasulullah SAW sempat mengutus beberapa kelompok pasukan yang dipimpin oleh nama-nama beken, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Namun setelah berlangsung upaya penaklukan selama berhari-hari, tak satupun benteng tersebut yang bisa ditembus. Hingga akhirnya Rasulullah SAW mengutus Ali bin Abi Thalib sebagai komandan untuk menaklukkan benteng-bentang tersebut. (AL)

Bersambung…

Pedang Zulfiqar (4)

Sebelumnya:

Pedang Zulfiqar (2)

Catatan kaki:

[1] Menurut O. Hashem nama-nama mereka berenam tersebut adalah; Amr bin Abdi Wadd, Ikrimah bin Abi Jahal, Haufal bin Abdullah, Dharrar bin Khaththab, Hubairah bin Abi Wahab, dan Amru bin Abdi Wadd. Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail, Jakarta, Ufuk Press, 2007, hal. 200

[2] Ibid, hal. 201

[3] Lihat, Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husein, Jakarta, Lentera AntarNusa, 2003, hal. 55-56

[4] Ketujuh benteng tersebut masing-masing bernama: Na’im, Qamush, Syaqq, Nathah, Sulalim, Wathih, dan Katibah. Lihat, O. Hashem, Op Cit, hal. 220

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*