Mozaik Peradaban Islam

Pedang Zulfiqar (2)

in Monumental

Last updated on July 8th, 2018 09:22 am

Setiap kali Ali berhasil membunuh musuh, maka Rasulullah SAW berteriak, “Allahu Akbar!” demikian seterusnya. Dalam momen-momen inilah kemudian Rasulullah bersabda, “Aku dari Ali dan Ali dariku”. Kemudian Jibril menjawab, dan “aku dari kalian”. Kemudian mereka mendengar suara, “Tidak ada pedang selain Zulfikar, dan tidak ada pemuda selain Ali.”

—Ο—

 

Sebagaimana namanya, kisah awal kemunculan pedang Zulfiqar pun cukup sulit dipastikan. Tidak diketahui secara pasti siapa pembuatnya, dari mana asalnya, dan bagaimana ia bisa sampai ke tangan Rasulullah SAW? Tapi kisah yang cukup masyhur mengatakan bahwa pedang ini adalah rampasan Perang Badr yang dimenangi oleh kaum Muslimin. Rasulullah SAW sangat menyukai pedang ini, dan menjadikannya sebagai miliknya. Akan tetapi pedang ini kemudian diberikan oleh Rasulullah SAW kepada sepupunya, yaitu Ali bin Abi Thalib dalam Perang Uhud.[1]

Ketika itu, dalam Parang Uhud, posisi kaum Muslimin terdesak. Paman Rasulullah, Sayidina Hamzah ra., terbunuh, dan Rasulullah terluka di wajahnya. Banyak sahabat yang melarikan diri karena beredar isu bahwa Rasulullah berhasil dibunuh oleh kaum kafir Quraisy. Dikisahkan oleh O. Hasem dari riwayat Imam Ahmad, bahwa pada akhirnya yang bertahan di samping Rasulullah SAW hanya tinggal satu orang dari kalangan kaum Muhajirin dan tujuh orang dari sahabat Anshar. Ketujuh orang Anshar akhirnya terbunuh, sehingga yang tinggal terakhir di sisi Rasulullah SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Dalam perang inilah Rasulullah SAW kemudian memberikan Pedang Zulfiqar kepada Ali.[2] Dan sejak itu, Ali dan pedang tersebut tidak pernah berpisah hingga wafatnya Ali bin Abi Thalib.

Dalam kondisi genting di bawah tekanan kaum kafir Quraisy, Rasulullah SAW menjadi sasaran utama. Sebagaimana Tabari mengisahkan, bahwa ketika itu serombongan pasukan musuh datang secara bergelombang ke arah Rasulullah SAW. Pada saat datang satu pasukan, maka Rasul SAW memerintakan Ali untuk menghadapinya. Ali bin Abi Thalib bertempur dengan gagah berani bersama pedang Zulfikar di tangannya. Dan setiap kali Ali berhasil membunuh musuh, maka Rasulullah SAW berteriak, “Allahu Akbar!” demikian seterusnya. Dalam momen-momen inilah kemudian Rasulullah bersabda, “Aku dari Ali dan Ali dariku”. Kemudian Jibril menjawab, dan “aku dari kalian”. Kemudian mereka mendengar suara, “Tidak ada pedang selain Zulfikar, dan tidak ada pemuda selain Ali.”[3]

Selain dalam perang Uhud, pertempuran legendaris lainnya di masa Rasulullah yang paling dikenang oleh sejarah tentang Ali bin Abi Thalib dengan Pedang Zulfiqar, adalah dalam perang perang Khandaq. Perang ini lebih tepat disebut sebagai perang psikologis daripada perang fisik dalam arti sesungguhnya. Allah SWT merekam kondisi kaum Muslimin ketika itu dalam Al Quran:

“Hai orang-orangyang beriman, ingatlah nikmat Allah kepada kamu ketika datang kepada kamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin kencang dan tentara-tentara yang tidak kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Ketika itu, mereka datang kepada kamu dari atas dan dari bawah kamu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan dan hati telah melonjak naik sampai ke tenggorokan-tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan dengan goncangan yang dahsyat.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 9-11)

Dari ayat ini pula kemudian Perang Khandaq kerap disebut juga sebagai Perang al-Ahzab. Demikian mencekamnya perang tersebut, hingga sebagaian sahabat ada yang terlambat sholat tepat waktu teralihkan perhatiannya pada situasi yang sangat tidak menentu tersebut.[4]

Ketika itu, berkat ide brilian dari Salman Al Farisi, seorang sahabat dari Persia yang baru masuk Islam, kaum Muslimin membangun parit mengelilingi kota Madinah. Tujuannya adalah untuk menghalau pasukan raksasa yang dipimpin oleh Abu Sufyan agar tidak sampai menghancurkan kota Madinah. Konon, pasukan yang dibawa oleh Abu Sufyan ini adalah pasukan koalisi terbesar dalam sejarah bangsa Arab.

O. Hasem menyebutkan bahwa kedalaman parit tersebut mencapai 3,2 meter (7 hasta) sampai 4,6 meter (10 hasta); dan lebarnya paling sedikit 4,1 meter (9 hasta). Parit ini memanjang sejauh 1,5 Km di sebelah utara Masjid Nabawi. Dalam riwayat Muhammad bin Ahmad Basyamil, melalui observasi terhadap bekas parit yang tersisa sekarang, kemungkinan parit tersebut panjangnya mencapai 5000 hasta.[5]

Alhasil, pasukan koalisi Arab pimpinan Abu Sufyan sangat terkejut melihat parit yang membentang di depan mereka. Pasukan raksasa dengan energi melimpah itu mendadak ngadat di tepi parit. Tidak bisa maju, mundur pun tidak mungkin. Seperti merasa dilecehkan, akhirnya mereka berteriak-teriak mengejek kaum Muslimin sebagai pengecut dan tidak ksatria. Mereka menganggap semua yang dilakukan ini bertentangan dengan muru’ah atau sifat-sifat yang diagungkan oleh bangsa Arab. Tapi provokasi ini ditanggapi dingin oleh kaum Muslimin.

Lalu tanpa diduga, tiba-tiba beberapa orang berkuda yang dipimpin oleh Amr bin Abdi Wadd berhasil melompati parit tersebut. dan kejadian ini membuat bergidik kaum Muslimin. Bagaimana mungkin mereka bisa melompati parit tersebut? padahal jaraknya sudah dibuat sedemikian rupa agar tidak bisa dilalui pasukan musuh. Yang terpikir kemudian, apakah mungkin ada satu celah yang terlewat, dan lupa digali oleh mereka? bagaimana bila celah tersebut kemudian dimanfaatkan oleh musuh untuk menyerang? (AL)

Bersambung…

Pedang Zulfiqar (3)

Sebelumnya:

Pedang Zulfiqar (1)

Catatan kaki:

[1] Menurut O. Hasem, Pedang Zulfiqar mulanya milik Ash bin Munabbah bin Hajjaj. Pedang tersebut kemudian jatuh ke tangan Rasulullah SAW sebagai barang rampasan dalam Perang Badr. Lihat, O. Hashem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail, Jakarta, Ufuk Press, 2007, hal. 178

[2] Ibid

[3] Dalam riwayat Tabari, kalimat tersebut mendahulukan kalimat “Tidak ada pedang selain Zulfiqar”, baru kemudian disusul dengan “dan tidak ada pemuda selain Ali”, Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa ‘l-muluk), VOLUME VII, The Foundation of The Community, translated and annotated by W. Montgomery Watt and M. V. McDonald, State University of New York Press, 1997, Hal. 119-120

[4] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 11, Jakarta, Lentera Hati, 2005, hal. 232

[5] Lihat, O. Hasem, Op Cit, hal. 195

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*