(Dengan tubuh kekar yang tertutup debu) dia tampak seperti unta coklat, menghantam orang-orang dengan pedangnya dengan sangat keras sehingga tidak ada yang bisa bertahan di hadapannya.
Ada dua riwayat yang mengisahkan bagaimana Wahsyi bin Harb, pembunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, pada akhirnya memeluk Islam.
Riwayat yang pertama menggambarkan bahwa Wahsyi masuk Islam atas dasar keterpaksaan, karena pada waktu itu Islam sudah sedemikian kuat sehingga banyak wilayah di sekitar Makkah dan Madinah pun orang-orangnya sudah berbondong-bondong masuk Islam.
Atas dasar saran seseorang, Wahsyi yang sudah kebingungan untuk lari ke mana lagi, akhirnya masuk Islam karena tahu bahwa Rasulullah tidak akan membunuh orang yang telah masuk Islam.
Sementara itu riwayat yang kedua menyatakan bahwa, justru Wahsyi masuk Islam atas ajakan Rasulullah kepadanya secara langsung.
Riwayat pertama, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Ishaq, selengkapnya dapat disimak di bawah ini:
Ja’far bin Amr bin Umayyah Dhamri mengatakan, bahwa pada masa Khilafah Muawiyah (bin Abu Sufyan) dia dan Abdullah bin Adi bin Khiyar pergi keluar.
Dia kemudian melanjutkan dengan menyampaikan riwayat panjang, di mana dia menyatakan bahwa ketika mereka berdua duduk di hadapan Wahsyi, mereka bertanya, “Kami datang ke sini agar engkau dapat menceritakan kepada kami bagaimana engkau dapat membunuh Hamzah.”
Dia menjawab dengan mengatakan:
Aku akan menceritakan kejadian itu kepada kalian karena aku telah menceritakannya kepada Rasulullah saat beliau bertanya kepadaku tentang hal itu.
Aku pernah menjadi budak Jubair bin Mutham, yang mana pamannya, Thuaimah bin Adi, terbunuh dalam Perang Badar. Ketika kaum Quraisy berangkat ke Uhud, Jubair berkata kepadaku, “Engkau akan menjadi orang bebas jika engkau berhasil membunuh Hamzah, paman Rasulullah, untuk membalas kematian pamanku.”
Aku adalah orang Ethiopia yang mampu melempar lembing dengan ketepatan orang-orang Ethiopia (yang pada waktu itu terkenal dengan kemahiran mereka dalam memainkan lembing). (Ketika melempar lembing) aku jarang meleset dari sasaran.
Oleh karena itu aku pergi dengan yang lain, dan ketika kami melawan Muslim dalam pertempuran aku bergegas untuk mencari Hamzah.
Aku mencari dia sampai akhirnya aku melihatnya di salah satu ujung pasukan. (Dengan tubuh kekar yang tertutup debu) dia tampak seperti unta coklat, menghantam orang-orang dengan pedangnya dengan sangat keras sehingga tidak ada yang bisa bertahan di hadapannya.
Demi Allah! Aku mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapinya dan menyembunyikan diriku di balik pohon atau batu sampai dia mendekat ke arahku. Namun, Siba bin Abdul Uzza mendahuluiku kepadanya.
Ketika Hamzah melihat Siba, dia menyerunya, “Kemarilah padaku, wahai putra wanita tukang sunat!” Hamzah kemudian menebas Siba dengan sangat kuat hingga kepalanya lepas seolah-olah jatuh begitu saja.
Aku kemudian menggoyang-goyangkan lembingku (mengambil ancang-ancang) sampai aku yakin (bahwa itu akan mengenai sasaran) dan kemudian melepaskannya untuk terbang. Lembing itu menghantamnya di bawah pusar dan menembus tubuhnya sampai keluar dari selangkangannya.
Dia mulai mendatangiku, tetapi jatuh pingsan. Aku kemudian membiarkan dia seperti itu sampai dia wafat. Aku kemudian kembali (ke jenazah Hamzah), mengambil lembingku, dan kembali ke kamp. Aku kemudian duduk di sana karena aku tidak memiliki urusan lain.
Aku telah membunuh Hamzah hanya untuk mendapatkan kebebasanku. Aku kemudian kembali ke Makkah dan dibebaskan.
Aku menetap di sana sampai Rasulullah menaklukkan Makkah, setelah itu aku melarikan diri ke Taif. Aku tinggal di sana sampai saat utusan dari Taif menemui Rasulullah untuk masuk Islam.
Semua jalan kemudian tertutup untukku dan aku berpikir, “Haruskah aku pergi ke Syam, ke Yaman, atau tempat lain?”
Demi Allah! Aku masih terpaku dengan pemikiran ini, ketika seseorang berkata kepadaku, “Betapa bodohnya engkau! (Apakah engkau masih belum tahu bahwa) Muhammad tidak pernah membunuh siapapun yang masuk ke agamanya dan mengucapkan kebenaran syahadat?”
Aku kemudian berangkat sampai aku menemui Rasulullah di Madinah. (Rasulullah tidak tahu tentang kedatanganku dan) tidak ada yang memberitahunya tentang kehadiranku sementara aku berdiri di hadapannya mengucapkan kebenaran syahadat.
Ketika beliau melihatku, Rasulullah bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?”
“Ya, wahai Rasulullah,” jawabku.
Beliau kemudian berkata kepadaku, “Duduklah dan katakan kepadaku bagaimana engkau dapat membunuh Hamzah.”
Aku kemudian menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah sebagaimana aku telah menceritakannya kepada kalian.
Setelah aku menyelesaikan kisahnya, Rasulullah berkata kepadaku, “Sembunyikan wajahmu dariku agar aku tidak harus melihatmu (jangan biarkan aku melihatmu karena itu mengingatkanku pada kematian pamanku).”
Aku kemudian terus menghindari tempat-tempat di mana Rasulullah berada sehingga beliau tidak perlu melihatku. Aku terus melakukan hal itu sampai Allah mencabut nyawa Rasulullah.
Ketika kaum Muslim berbaris untuk melawan Musailamah al-Kazzab (si pembohong besar) dari Yamamah, aku pergi bersama mereka. Aku membawa serta lembing yang sama yang aku gunakan untuk membunuh Hamzah.
Pertempuran kemudian dimulai. Meskipun aku (sebelumnya) tidak pernah mengenalnya, aku mengetahui Musailamah yang sedang berdiri dengan pedang di tangan. Saat aku bersiap untuk membunuhnya, seseorang dari Ansar juga bersiap untuk membunuhnya dari arah lain.
Aku kemudian menggoyang-goyangkan lembingku (mengambil ancang-ancang) sampai aku yakin (bahwa itu akan mengenai sasaran) dan kemudian melepaskannya untuk terbang. Saat lembingku menghantamnya, orang Ansar itu menyerangnya dan menebasnya dengan pedangnya.
Hanya Rabb-mu yang tahu siapa di antara kami yang telah membunuhnya. Jika aku yang telah membunuhnya, maka meskipun aku telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah (yaitu Hamzah), aku juga telah membunuh manusia terburuk (yaitu Musailamah).[1] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (Vol 4, hlm 18), dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 532-534.